Cikal Bakal Desa Mendak Klaten dan Rutinitas Warga Gelar Tradisi Kenduri

11 hours ago 4

Cikal Bakal Desa Mendak Klaten dan Rutinitas Warga Gelar Tradisi Kenduri Warga mengusung lincak berisi aneka makanan saat digelar tradisi Kenduri Ruwah Rasul di Dukuh/Desa Mendak, Kecamatan Delanggu, Klaten, Jumat (14/2/2025) sore. - Solopos/Taufiq Sidik Prakoso.

Harianjogja, KLATEN—Kegiatan tradisi sadranan digelar di Desa Mendak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Tradisi ini digelar setiap memasuki Bulan Ruwah pada kalender Jawa. Aneka makanan itu dibawa warga menggunakan lincak. Tujuannya agar bisa membawa makanan dalam jumlah banyak.

Seperti yang terlihat saat tradisi sadranan digelar, Jumat (14/2/2025). Warga membawa aneka makanan mulai dari nasi tumpeng, ingkung, buah-buahan hingga jajanan pasar menggunakan lincak dengan digotong bersama-sama. Tradisi itu digelar di kompleks makam setempat yang terdapat makam leluhur. Warga setempat mengungkapkan leluhur mereka bernama Nyai Ageng Samirah.

Warga setempat mengenal Nyai Ageng Samirah sebagai leluhur yang babat alas atau kali pertama tinggal di wilayah yang kini bernama Mendak. “Beliau yang pertama kali datang ke sini punya suami namanya Mentoyudo,” kata salah satu perangkat Desa Mendak, Sambodo, dilansir Espos Sabtu (22/2/2025).

BACA JUGA : Pesta Apam Ruwahan hingga Musik Jazz, Cek Disini Jadwal Detail Sarkem Fest 2025

Sambodo mengungkapkan Nyai Ageng Samirah berasal dari Kerajaan Majapahit. Seiring perkembangan, keturunan Nyai Ageng Samirah terus bertambah dan mendiami salah satu wilayah di sisi timur Klaten tersebut.

Leluhur desa itu dikenal kesopanannya kesabarannya. Setiap kali bertemu orang lain sosok leluhur itu selalu menunduk sebagai bentuk penghormatan dengan siapapun yang dia temui. “Oleh karena itu kemudian oleh sesepuh dinamai Desa Mendak. Dalam artian mendak [menunduk] itu sebagai bentuk kesopanan,” kata Sambodo.

Sambodo mengungkapkan saban tradisi sadranan digelar, warga berziarah ke makam leluhur desa tersebut selain ke makam keluarga yang sudah tiada. Sosok leluhur itu dihormati secara turun temurun dan sifat kesopanannya menjadi teladan bagi warga setempat.

Salah satu tokoh masyarakat Dukuh Mendak, Badrun, 62, mengungkapkan sadranan rutin digelar warga saban tanggal 15 dan 25 Ruwah. tradisi itu digelar untuk melestarikan warisan leluhur. 

Badrun mengungkapkan pilihan wadah makanan menggunakan lincak sudah dilakukan warga sejak dulu. Alasannya, agar bisa membawa makanan dalam jumlah banyak.

BACA JUGA : Kenduri Sura Keparakan Jadi Upaya Nguri-Uri Budaya Sekaligus Daya Tarik Wisata

“Karena tempat kenduri yang dulunya tenongan itu enggak muat, akhirnya menggunakan lincak itu yang dipikul dibawa ke sini. Kalau pakai tenong wadahnya terbatas. Kalau pakai ini bisa muat dua ingkung dan tumpengnya bisa agak besar,” kata Badrun.

Tradisi tersebut bakal terus dilestarikan warga setempat. Warga berharap kegiatan itu semakin menambah keakraban di dukuh yang dihuni sekitar 350 jiwa. “Melalui tradisi ini kami memohon kepada Allah agar masyarakat mendak makmur dan dijauhkan dari segala mara bahaya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news