Ilustrasi Perumahan. - Freepik
Harianjogja.com, JOGJA—BestBrokers menempatkan Indonesia dalam peringkat ke-4 sebagai negara yang warganya susah mendapatkan rumah. Musababnya, pendapatan versus harga rumah yang tidak merata.
BestBrokers merupakan media yang banyak menginformasikan instrumen keuangan utama. Dalam rentang waktu tertentu, mereka memberikan hasil survei dan riset dengan beragam tema, termasuk salah satunya tentang rumah. Laporan menyatakan dalam kepemilikan rumah, kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang perlu diperhatikan bagi mereka yang ingin membeli rumah pada tahun 2024. Hal ini terutama melihat harga properti yang sebenarnya menjadi lebih penting saat memutuskan apakah akan menutup transaksi atau tidak.
Untuk membandingkan harga rumah di berbagai negara, BestBrokers melihat harga per meter persegi (dan per kaki persegi) dalam dolar AS per 10 September 2024 yang diterbitkan oleh Numbeo. BestBrokers juga menghimpun data pendapatan dari beberapa sumber untuk mengidentifikasi negara-negara dengan harga rumah yang paling murah dan paling terjangkau dibandingkan dengan gaji rata-rata orang yang bekerja.
BestBrokers menghitung rasio harga rumah riil terhadap gaji tahunan riil. "Kami menemukan bahwa beberapa properti hunian termahal tidak berada di negara maju dengan standar hidup tinggi, tetapi di negara dengan ekonomi lebih kecil yang biaya rumah mungkin rendah, tetapi pendapatan rata-rata penduduknya juga rendah," tulis dalam laporan yang rilis Februari 2025.
Dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan sebesar 81,45%, Turki adalah negara yang paling tidak terjangkau untuk membeli rumah pada tahun 2024. Setelah Turki, urutan selanjutnya yaitu Nepal, India, Indonesia, Armenia, Korea Selatan, Peru, Republik Dominik, Brazil, dan Chile. Peringkat teratas sebagian besar disebabkan oleh tingkat inflasi yang diproyeksikan sangat tinggi sebesar 55% dari tahun ke tahun.
Hal ini tidak mengherankan mengingat pada bulan Juni 2024, inflasi tahunan naik menjadi 61,78%. Upah bulanan rata-rata di negara tersebut diperkirakan sebesar $549, yang berarti gaji tahunan sekitar $6.588. Namun, karena inflasi yang diharapkan tinggi untuk periode yang sama, gaji riil turun menjadi hanya $2.965.
Menariknya, Korea Selatan muncul di antara negara-negara yang harga rumahnya paling tidak terjangkau. Negara ini berada di peringkat ke-9 dalam metrik ini, tetapi bukan karena inflasi yang tinggi. "Alasan di balik posisi negara ini adalah harga properti riil yang sangat tinggi ($10.318,46 per meter persegi) dibandingkan dengan pendapatan riil penduduknya, yang hanya $2.221 per bulan atau $26.653 per tahun secara rata-rata," tulisnya.
Sebaliknya, negara-negara yang paling terjangkau dalam membeli rumah, Amerika Serikat (AS) secara mengejutkan berada di posisi kedua. Posisi ini hanya kalah dari Afrika Selatan. Rasio harga rumah terhadap pendapatan di AS hanya 6,50%. Lantaran gaji tahunan rata-rata yang tinggi sekitar $49.525 (dalam nilai riil), tertinggi keempat dalam daftar kami setelah Swiss, Denmark, dan Australia, pembeli rumah AS memiliki akses ke perumahan yang terjangkau dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
"Sementara itu, AS berada di peringkat ke-29 dalam hal harga rumah riil, dengan rata-rata $3.220,11 per meter persegi, atau $302,30 per kaki persegi," tulis dalam laporan.
Adapun urutan sepuluh besar negara dengan keterjangkauan membeli rumah yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Bahrain, Denmark, Irlandia, Swedia, Spanyol, Belgia, Siprus, dan Norwegia. Negara-negara yang masuk dalam daftar tempat yang terjangkau bagi pembeli rumah sebagian besar adalah negara-negara ekonomi besar atau negara-negara kaya dengan PDB tinggi.
Afrika Selatan berada di posisi teratas dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan sebesar 6,22%, diikuti oleh AS dengan 6,50%, Bahrain dengan 8,34%, dan Denmark dengan 9,91%. "Kami memutuskan untuk tidak memasukkan Argentina dalam peringkat ini karena hiperinflasi. Akibatnya, upah bulanan riil menjadi negatif (-$460) dan rasio harga terhadap pendapatan properti riil menjadi tidak normal -101%," tulisnya.
Perbedaan Suku Bunga KPR di Seluruh Eropa
Kredit pemilikan rumah (KPR) bervariasi dari satu negara ke negara lain, bahkan jika kita melihat negara-negara Eropa. Didorong oleh pandemi Covid-19, pemerintah Rusia memperkenalkan program KPR preferensial dengan suku bunga hingga 8% pada tahun 2020. Program satu tahun tersebut tidak hanya mendukung pasar real estat selama pandemi, tetapi juga menjadi populer di kalangan pembeli rumah dan diperpanjang hingga tahun 2024. Setelah invasi Ukraina, suku bunga pinjaman bank di Rusia melonjak hingga persentase dua digit, mencapai 17,31% pada bulan Mei 2024.
Sementara itu, pada tanggal 1 Juli, program hipotek yang didukung negara berakhir; pada bulan Agustus, Sberbank, bank terbesar di negara itu, mengumumkan bahwa suku bunga hipotek pasarnya akan dinaikkan. Peminjam sekarang dapat mengharapkan suku bunga minimum sebesar 20%.
"Sebagai perbandingan, kami mengambil suku bunga hipotek nominal sebesar 20,3%, meskipun suku bunga riil yang ditawarkan oleh bank pada bulan September mungkin sudah jauh lebih tinggi. Pada proyeksi inflasi sebesar 8% untuk kuartal ketiga tahun 2024, suku bunga hipotek riil sekarang berada pada angka 12,3%," tulis dalam laporan tersebut.
BACA JUGA: Bacaan Niat Puasa Dzulhijjah dan Waktu Puasa Dzulhijjah 2025
Negara-negara Eropa lainnya dengan suku bunga hipotek riil yang tinggi termasuk Latvia sebesar 6,65% dan Polandia sebesar 5,1%, sementara suku bunga berkisar sekitar 1% di Austria (1,28%), Slowakia (1,14%), Prancis (1,13%), Italia (0,99%), Belanda (0,96%), dan Makedonia Utara (0,95%). Di tengah-tengah daftar, tetapi memiliki suku bunga hipotek riil yang cukup rendah, kita melihat Luksemburg (1,78%), Inggris (1,77%), Yunani (1,62%), Denmark (1,55%), dan Portugal (1,50%).
Butuh Berapa Gaji Bulanan untuk Beli Rumah
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Afrika Selatan dan Amerika Serikat (AS) muncul sebagai negara yang paling terjangkau untuk membeli rumah dari 62 negara yang dianalisis. Namun, dengan harga real estat saat ini, banyak warga AS merasa bahwa mereka tidak akan pernah mampu membeli rumah.
Meskipun di beberapa lokasi Afrika Selatan dan AS harga rumah terjangkau, di pasar tertentu terdapat permintaan rumah yang tinggi. Hal ini tidak berlaku secara umum di kota-kota kecil. Kenyataannya, harga properti sangat bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya.
"Jadi, jika kita melihat keterjangkauan harga rumah dalam hal pendapatan bulanan, angka-angka menunjukkan bahwa rumah seluas 100 meter persegi (1.076 kaki persegi) di Afrika Selatan hanya berharga 71 upah bulanan riil, sedangkan di AS sekitar 76 upah bulanan rata-rata. Ini setara dengan sekitar 6 tahun gaji tahunan dan merupakan hasil terbaik dari semua negara yang kami lihat," tulisnya.
Peta tersebut menunjukkan bahwa di tempat lain, harga properti hunian seluas 100 meter persegi jauh lebih mahal. Bahrain berada di peringkat ketiga dengan harga rumah 99 kali upah, diikuti oleh Denmark di mana penduduknya harus menabung pendapatan mereka selama sekitar 114 bulan untuk dapat membeli rumah sebesar ini.
Di ujung spektrum yang lain, Bestbroker melihat Nepal dan Turki, saat rumah dengan 100 meter persegi masing-masing berharga 684 dan 631 kali gaji rata-rata riil. Ini berarti bahwa di Nepal, seseorang memerlukan pendapatan rata-rata selama 57 tahun untuk membeli rumah sebesar ini.
"Di Turki, diperlukan 52 tahun dan enam bulan gaji yang diperoleh dengan susah payah. Namun, jangan lupa bahwa perhitungan ini didasarkan pada estimasi riil untuk pendapatan dan harga properti (jika inflasi diperhitungkan). Selain itu, variasi yang sangat besar dapat terjadi karena penggunaan nilai rata-rata," tulis dalam laporan.
Gen Z Indonesia Susah Dapat Rumah
Kondisi Indonesia yang semakin berubah memberikan tantangan tersendiri bagi setiap generasinya. Dosen Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Novita Ratna Satiti, memberikan gambaran adanya perbedaan signifikan antara tantangan yang dihadapi oleh generasi Z dan generasi milenial dalam membeli rumah. Salah satunya terdapat pada faktor gaji.
Ia menjelaskan jika kenaikan gaji generasi milenial jauh lebih stabil dibandingkan dengan Gen Z. Umumnya, Gen Z harus menghadapi stagnasi upah. Di samping itu, generasi milenial dinilai lebih mudah mendapat kredit atau pinjaman pada masanya.
"Sedangkan Gen Z kini dihadapkan pada persyaratan yang lebih ketat dan suku bunga yang lebih tinggi," katanya, beberapa waktu lalu.
Situasi ekonomi pasca pandemi Covid-19 juga memengaruhi kemampuan Gen Z untuk memiliki rumah sendiri. Tidak sedikit Gen Z yang bekerja di sektor informal dengan label gig economy atau perekrutan sistem kerja dengan jangka pendek yang tidak memiliki tunjangan kesehatan, pendidikan anak, dan jaminan hari tua.
Meski demikian, Novita mengakui jika Gen Z cenderung lebih melek terhadap teknologi. Gen Z juga lebih sadar akan pentingnya investasi sejak dini. Namun, pengetahuan dan kemampuan menggunakan teknologi juga harus dibarengi dengan locus of control dan behavioral finance yang baik.
Locus of control adalah kendali atas keputusan finansial dan tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, seperti tekanan gaya hidup dan adanya kemudahan dari aplikasi Pay Later. "Sementara itu, pemahaman tentang behavioral finance juga dapat membantu mereka mengenali dan menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan keuangan, seperti kecenderungan untuk berbelanja impulsif atau mengambil risiko yang tidak perlu," katanya.
Hal yang dapat dilakukan oleh Gen Z adalah dengan meningkatkan keterampilan dan pendidikannya. Pendekatan ini dapat membuka peluang pekerjaan yang lebih baik dan stabil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News