Anggota dan kegiatan PLJ DIY. - Instagram.
Harianjogja.com, JOGJA—Orang tuli punya hak komunikasi yang setara dalam urusan kesehatan hingga hukum. Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat DIY berupaya menjembatani kebutuhan akses tersebut.
"Aku tuli sejak kecil, bahasa ibu sejak kecilku adalah bahasa isyarat," kata Muhammad Diki Prasetyo dalam bahasa isyarat, Kamis (20/3/2025).
Sore itu, di tempat makan Sapa Seduh, Jogja, Diki bercerita dia tergolong beruntung, bisa mendapat akses untuk belajar bahasa isyarat sejak kecil. Tidak semua orang tua yang memiliki anak tuli memiliki kesadaran, bahwa penting untuk memberikan akses belajar bahasa isyarat.
Pemahaman yang terbatas juga terjadi pada masyarakat umum. Semisal ingin menggunakan juru bahasa isyarat untuk acara tertentu, tidak ada rujukan yang pasti untuk mencarinya. Alhasil, banyak orang yang mengaku bisa bahasa isyarat. Padahal tidak jelas cara dia belajar, atau kualitas skill bahasa isyaratnya.
Menurut Diki, keresahan ini yang kemudian Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) bawa dalam kongres tahunan secara nasional. Hasilnya, mereka sepakat membentuk pusat layanan juru bahasa isyarat.
"Sebelumnya, [juru bahasa isyarat berasal] dari volunter. Banyak keluhan dan hambatan, banyak yang belajar bahasa isyarat tapi tidak mendalami banget, tentang etika dan sebagainya," kata Diki, yang bahasa isyaratnya diterjemahkan secara verbal oleh rekannya, Firda Nur Syahida.
Pusat layanan pertama lahir di Jakarta pada 2015. Empat tahun kemudian, tepatnya pada 3 September 2019, Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) DIY lahir. "Sekarang tidak ada lagi orang-orang yang mengaku sebagai juru bahasa isyarat untuk mencari keuntungan pribadi. Sudah jelas dia anggota atau bukan," kata Diki, yang kini menjadi Koordinator PLJ DIY.
Segala Ruang
Setelah lahir, PLJ DIY perlahan mengenalkan diri pada masyarakat. Muncul komitmen kerja sama dengan beberapa lembaga, seperti rumah sakit, kementerian agama, radio budaya, hingga kepolisian. Juru bahasa isyarat bisa mendampingi klien dalam banyak sektor.
Misalnya PLJ DIY bisa mendampingi tuli yang hendak menikah, komunikasi dengan polisi saat menjadi korban kejahatan, urusan pengadilan, hingga urusan kesehatan. Bahkan juru bahasa isyarat juga masuk ke ranah televisi dan konser.
Semakin panjang perjalanan PLJ DIY, semakin banyak juga jumlah dan jenis permintaan. Namun tidak semua permintaan bisa terlayani. Ini kaitannya dengan kapasitas dan jumlah sumber daya manusia (SDM) di PLJ DIY.
"SDM PLJ DIY enggak banyak, total 30-an. Ada yang bekerja lainnya juga," kata Diki. "Bahasanya juga beda-beda, misalnya ada kebutuhan bahasa Jawa, tapi SDM yang tersedia dari Sunda."
Bahasa isyarat berbeda-beda untuk setiap bahasa, misal Inggris, Indonesia, hingga bahasa daerah. Untuk mengakses layanan di PLJ DIY, masyarakat perlu membayar Rp225.000 per jam. Untuk kondisi khusus, harga bisa dikomunikasikan, semisal konteksnya kerelawanan atau sejenisnya.
Jaga Kualitas
Pendampingan juru bahasa isyarat memiliki tanggung jawab yang besar. Terdapat kode etik yang memastikan pekerjaan berjalan profesional dan untuk kebaikan bersama. Sehingga saat menerima anggota, PLJ DIY juga cukup selektif.
Orang yang hendak menjadi anggota PLJ DIY perlu berada di level tertentu dalam penggunaan bahasa isyarat. Ada seleksinya.
PLJ DIY belum menerima orang yang baru mulai belajar bahasa isyarat. "[Calon anggota juga] harus mengamati juru bahasa isyarat lainnya dulu, terkait sikap hingga cara menerjemahkannya. Harus dilihat keseriusannya," kata Diki, yang saat ini berusia 31 tahun.
Kualitas ini agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik. Dengan menyediakan juru bahasa isyarat yang baik, PLJ DIY berupaya memberikan akses pada teman tuli. Tanpa adanya juru bahasa isyarat, mereka akan terhambat dalam menerima informasi hingga penyampaian aspirasi.
BACA JUGA: Bentuk Unit Layanan Disabilitas, UAJY Komitmen Jadi kampus Inklusif
Diki berharap, PLJ DIY ke depannya semakin baik. Kerja sama juga semakin meluas. "[Semoga semakin] banyak teman tuli yang akan nyaman mendapatkan informasi, hambatan berkurang, dan banyak perubahan. Semoga teman tuli bisa setara dalam mendapatkan informasi, informasi semakin cepat, dan berjalan beriringan bersama dalam mendapatkan akses itu," katanya.
Membangun Kesadaran
Pemahaman orang tua yang memiliki anak tuli cukup krusial. Orang tua, sebagai orang yang paling dekat dengan anak, menjadi salah satu penentu jalan hidupnya. Tidak semua orang tua memberikan keleluasaan pada anak, bahkan untuk sebatas keluar rumah.
Koordinator PLJ DIY, Muhammad Diki Prasetyo, mengatakan tidak jarang orang tua tersebut malu dengan kondisi anaknya. Sehingga dia 'mengurung' anaknya di rumah. Sementara bagi orang tua yang bisa membiarkan anak tulinya keluar rumah, belum semuanya memberikan akses pendidikan yang layak.
BACA JUGA: Berdayakan Difabel, Pemkot Jogja Resmikan Z Coffee
Akses pendidikan termasuk dalam pelajaran bahasa isyarat. "Masih perlu adanya peningkatan kesadaran untuk berusaha mencari tahu tentang tuli," katanya. "Kalau orang tuaku membebaskan [untuk keluar rumah dan belajar]. Aku tahun 2008 mulai olahraga, gabung olahraga difabel sampai sekarang. Sebenernya cukup terlambat, umurnya sudah terlalu tua."
Kesadaran orang tua atau anak tuli bisa juga muncul, saat mereka sudah dewasa. Sehingga mereka baru belajar bahasa isyarat setelah dewasa. "Baru sadar ternyata itu kebutuhannya dia," kata Diki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News