Suasana Record Store Day (RSD) Jogja 2025 di Pasar Pujokusuman, Mergangsan, Kota Jogja, Minggu (13/4/2025). - Harian Jogja - Sirojul Khafid
Harianjogja.com, JOGJA—Record Store Day menjadi ruang untuk merayakan rilisan musik fisik. Rilisan fisik selalu memiliki pasarnya, atau bahkan menciptakan pasarnya sendiri.
Pagi hingga siang, suasana Pasar Pujokusuman seperti hari-hari biasanya. Pedagang sayur, ikan, hingga jajanan tersebar di lapak-lapak. Namun siang sampai sore, terdapat suasana yang berbeda di pasar yang sudah ada sejak tahun 1950-an itu. Suasana 'aneh' terasa pada 12-13 April 2025.
Anak-anak muda, yang kebanyakan mengenakan kaos hitam, memenuhi pasar tradisional tersebut. Pakaian yang bersanding dengan topi, jaket, hingga sepatu yang serasi itu lebih cocok berada di arena konser. Namun dua hari tersebut memang spesial. Mereka datang ke Pasar Pujokusuman, Mergangsan, Kota Jogja untuk merayakan lebaran kecil rilisan fisik musik.
Banyak lapak yang paginya menjual sayur, kini berubah menjajakan vinyl. Beberapa lapak yang paginya menjual ikan, kini menggelar kaset. Lapak yang paginya menjual jajanan, kini memajang kaos berisi nama band-band Indonesia. Selamat datang di Record Store Day (RSD) Jogja 2025. Setidaknya 40 pelapak dari Solo, Semarang, Klaten, hingga Pati berkumpul dan memamerkan koleksi rilisan fisiknya pada pengunjung.
BACA JUGA: Kabar Duka: Bunda Iffet, Ibu Bimbim Slank Meninggal Dunia
Acara kolektif ini merupakan inisiasi banyak komunitas di Jogja. Ada komunitas Jogja Record Store Club, Kultura Space, Koloni Gigs, Simak Siar, Labless Studio, Sudut Kantin Project, Arisan Warisan, dan Pujokusuman Creative Labs. Salah satu panitia RSD, Bayu Kristiawan, mengatakan acara ini merupakan perayaan internasional yang didedikasikan untuk mendukung eksistensi toko-toko penjual rilisan fisik musik, baik dalam format vinyl, kaset, maupun CD.
"Acara ini biasanya digelar pada minggu kedua atau ketiga bulan April setiap tahun, dan terus berkembang menjadi momentum penting bagi industri musik fisik di berbagai belahan dunia. Termasuk Indonesia juga direspon oleh beberapa daerah termasuk Jogja," kata Bayu, Minggu (13/4/2025).
Meski ada kata 'record', namun RSD tidak hanya tentang rilisan musik fisik. Ada kolaborasi kesenian lokal multi genre, pegiat kesenian tradisional, penulis lepas, hingga masyarakat lokal sekitar. Kolaborasi ini agar semua elemen bergerak bersama, dengan harapan yang semakin membesar ke depannya.
Pemilihan Pasar Pujokusuman bukan tanpa alasan. Pujokusuman memiliki sejarah dan identitas budaya yang kuat serta panjang. "Dengan memperhatikan hal tersebut, RSD Jogja 2025 mencoba mengawinkan modernitas dengan kebudayaan lokal masyarakat," katanya.
"Konsep ini menjadi salah satu cara RSD Jogja untuk kembali ke pasar tradisional. Diharapkan nantinya konsep ini bisa kembali mengenalkan serta menumbuhkan hasrat anak muda untuk berbelanja di pasar tradisional yang semakin tergerus zaman."
Musisi Fisik
Semakin malam, 'orang-orang berkaos hitam' itu semakin banyak. Mereka berjalan cukup jauh, dari parkiran yang berjarak dari Pasar Pujokusuman. Sesampainya di pasar, pengunjung bisa memilih jenis rekreasinya. Bisa langsung menyerbu lapak rilisan fisik, bisa juga mengikuti bincang santai, jalan-jalan, atau konser.
Bincang santai dipandu oleh Lokananta. Sementara hearing season, pemutaran lagu dari rilisan fisik dibersamai oleh DeBarBar. Mereka akan memperdengarkan karya terbaru dari Orkes Sehat Jiwa, Bleeedrz, dan Racaw. Ada pula Spinning Klub yang mempersembahan Koloni Gigs, yang memutarkan koleksi piringan hitam bersama Omrobo, Iwe Ramadhan, Dubdee T, Buddy Jam, Individurban, dan Bujang Lintas Sumatera.
Pengunjung masih bisa mengeksplorasi RSD Jogja 2025 dengan lebih dalam seperti Live Sablon dari Tutbek, Creative Workshop dari Pujokusuman Creative Labs, dan walking tour bersama Alon Mlampah. Di spot lain, berjalan beberapa puluh langkah dari lapak, panggung kecil menampung para pemusik dengan lagu-lagu andalannya.
RSD Jogja 2025 menghadirkan band Babon, The Philanthrophist, Buktu, Sandstrom of Youth, Los Jantos, FM Abends, Om Kacau Balau, Doa Sore, Korekayu, dan The Jeblogs. Panitia RSD, Bayu Kocok, mengatakan acara ini juga membuka ruang untuk musisi-musisi yang hendak tampil.
"Open call band, khusus band yang memang ingin merilis rilisan fisik, [mereka main di sini untuk semakin] menggabungkan kekayaan lokal dari Pujokusuman," katanya.
Saat ini, semakin banyak band yang mengeluarkan rilisan fisiknya saat mendistribusikan album baru. Terutama untuk band-band indie, rilisan fisik seakan menjadi ciri khas. Hal ini bisa kita lihat dalam penelitian berjudul 'Musik Rilisan Fisik Di Era Digital: Musik Indie Dan Konsumsi Rilisan Musik Fisik'. Penelitian yang rilis di Jurnal Komunikasi tahun 2019 tersebut merupakan karya Riomanadona M. Putra dan Irwansyah Irwansyah.
Dalam temuannya, peneliti menyatakan bahwa rilisan musik fisik tidak akan hilang seiring dengan perkembangan musik digital. Rilisan fisik menjadi identitas para musisi indie dalam bermusik. Sikap yang dimiliki oleh musisi indie menunjukkan bahwa identitas mereka tercermin dari caranya memperlakukan karya-karya, terutama pada rilisan musik fisik.
BACA JUGA: WhatsApp Tambah Fitur Baru, Bisa Update Status Pakai Lagu Mirip Instagram
Musisi indie tidak menolak distribusi lagu secara digital. Mereka juga tidak sepenuhnya setuju dengan model rilisan musik fisik. Para musisi, dalam penelitian tersebut, mengombinasikan rilisan musik fisik dan digital. "Kedua hal tersebut menjadi strategi masing-masing musisi dalam berpromosi," tulis dalam laporan.
Musisi indie dalam keputusannya merilis musik fisik pada dasarnya terpengaruh oleh kelompok musisi indie lainnya. "Ada semacam kebanggan sebagai musisi Indie dalam mengeluarkan karya dalam bentuk fisik," tulisnya.
Data tahun 2018 dan 2019 dari IFPA memperlihatkan rilisan musik fisik secara garis besar menurun. Namun khusus untuk sektor vinyl, terdapat kenaikan sekitar 30%.
Selalu Ada
Saat membahas tentang rilisan fisik, mungkin orang-orang akan langsung membandingkan efisiensinya dengan musik digital. Terlebih saat ini kita bisa mendengarkan jutaan musik hanya dalam satu aplikasi. Namun berbicara rilisan fisik, ranahnya sudah masuk dalam konteks hobi.
Salah satu pendiri Jogja Record Store Club, Indra Hermawan, mengatakan ada kekhasan tersendiri dari rilisan fisik. Rilisan musik fisik memiliki cover yang bisa dipegang, artwork yang bisa dilihat langsung, serta narasi yang bisa dibaca. Beberapa rilisan juga menyematkan ucapan terima kasih kepada band lain, yang memungkinkan pemilik rilisan fisik untuk mengulik band-band yang disebut.
Termasuk saat rilisan fisik mulai rusak, dan berpengaruh pada kualitas suara, justru itu menjadi keunikan tersendiri. Cacat suara namun tetap memiliki kenikmatannya. "Secara kualitas juga beda sama mastering digital stores, yang kadang tiap instrumennya saling perang loudness," kata Indra. "[Membeli rilisan fisik juga] bentuk support terhadap band."
Indra, yang juga mengelola DoggyHouse Records, mengatakan pasar rilisan fisik selalu ada. Tidak pernah yang penjualannya sangat turun. "Dari dulu selalu ada kok label dan band yang rilis fisik, tiap event juga ada yang beli. Cuma emang enggak selalu keangkat di media, jadi kelihatannya naik turun," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News