Suami Istri di Bantul Ini Raup Puluhan Juta per Bulan dari Budi Daya Anggrek

1 day ago 7

Suami Istri di Bantul Ini Raup Puluhan Juta per Bulan dari Budi Daya Anggrek Beragam tanaman anggrek yang dibudi dayakan oleh Widy Orchid di Donotirto, Kapanewon Kretek, Bantul, Selasa (27/5 - 2025). Tujuh tahun menekuni bisnis di bidang anggrek omzet usaha ini tembus Rp50 juta per bulan. (Email)

Harianjogja.com, BANTUL—Pasangan suami istri asal Bantul memilih banting stir dari profesi di bidang kesehatan untuk menekuni bisnis budi daya anggrek. Tujuh tahun berselang, usaha yang dijalani sejak awal 2018 itu beromzet puluhan juta rupiah per bulan. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Yosef Leon. 

Di tengah perkampungan Donotirto, Kapanewon Kretek, Bantul, berdiri sebuah rumah yang dipenuhi keindahan warna-warni bunga anggrek. Widy Orchid, begitu nama usahanya, bukan sekadar taman hobi, tapi jadi ladang bisnis bernilai tinggi yang dikelola oleh Sri Widyastuti, 52 dan suaminya Andreas Seno Adji, 50.

Awalnya, Widyastuti bukan petani anggrek dan sama sekali tak paham dengan tanaman itu. Ia baru memulai budi daya bunga eksotis ini pada tahun 2018, setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai analis kesehatan di rumah sakit binaan PT. Freeport di Timika, Papua, sementara suaminya seorang sales alat-alat kesehatan di wilayah Jogja. 

Keputusan besar itu mengantarnya belajar kultur anggrek di Semarang, hingga akhirnya membuka greenhouse sendiri dan mencoba praktik membuka botol bibit anggrek, semua berawal dari kecintaannya terhadap tanaman. 

“Awalnya cuma dua botol, lalu 14 botol, saya tanam di rooftop rumah. Greenhouse pertama saya itu roboh kena angin, tapi ya pelan-pelan berkembang seperti sekarang,” ujarnya, Selasa (27/5/2025). 

Belajarnya tak berhenti di Semarang. Ia menggali ilmu dari YouTube, seminar, dan komunitas. Sementara untuk penjualan, ia memanfaatkan berbagai kanal digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, hingga TikTok. Strategi ini membuahkan hasil besar, pelanggannya kini tersebar dari Aceh hingga Papua, bahkan sanggup mengirim media tanam hingga pot besar ke Batam, Kalimantan, dan Tanjung Pinang.

Omzet Stabil hingga Rp50 Juta per Bulan

Dalam sebulan, Widy Orchid bisa menghasilkan omzet rata-rata Rp50 juta. Jumlah itu, menurut Widyastuti, cukup untuk membangun fasilitas-fasilitas pendukung di rumahnya tanpa pinjaman bank sepeser pun. “Semua ini dibangun dari anggrek,” ujarnya.

Harga anggreknya bervariasi, dari Rp20.000 untuk bibit kecil, hingga puluhan juta rupiah untuk rumpunan besar dan langka. Salah satu yang paling mahal adalah anggrek jenis “Capung Jawa” yang dikenal juga sebagai Dendrobium capra J.J.Smith dengan harga di atas Rp17 juta. “Karena langka, nggak bisa disilangkan ulang dan bisa berbunga terus-menerus tanpa henti,” jelasnya.

Jenis-jenis yang paling digemari saat ini justru anggrek ‘jadul’, seperti Bantimurung, Super Bean, Larat, Susan Takahashi, Luciana Pink, hingga Albertine. Alasannya sederhana yakni tangguh terhadap cuaca dan perawatannya mudah. Cocok untuk pemula.

BACA JUGA: Berawal dari Mimpi, Produk UMKM dari Bantul ini Tembus Luar Negeri

Widy Orchid memanfaatkan tiga metode utama pembibitan: membuka botol kultur jaringan, memperbanyak dengan keki (anakan dari batang), dan teknik split (membagi rumpun besar). Bibitnya didatangkan dari berbagai breeder anggrek dari Semarang dan luar daerah. Meski bisa menyilang sendiri, mereka belum memiliki laboratorium untuk membuat kultur jaringan secara mandiri.

“Kalau menyilang bisa, tapi untuk kultur jaringan itu harus steril dan butuh laboratorium. Saya belum punya kapasitasnya,” kata Widyastuti.

Teknologi dan Desain Greenhouse

Greenhouse mereka juga dirancang serius. Di bawahnya dipasang Witmat untuk menekan pertumbuhan rumput dan menjaga kelembaban tanah. Atap dilapisi plastik UV dan paranet 55% agar tanaman tetap mendapat cahaya tanpa terbakar. Area pembibitan dibungkus ketat untuk mencegah serangga masuk.

Mereka memiliki tiga tempat untuk budi daya yakni ruang pembibitan, pembesaran dan tanaman yang sudah berbunga dengan rata-rata luas mencapai 6×10 m². Setelah bibit dari botol tumbuh, dipindah ke media semai (kompot), lalu dibesarkan hingga layak jual atau siap berbunga.

“Kalau beli dari bibit, biasanya pembeli itu sabar. Mereka senang rawat dari kecil. Tapi yang dari Jakarta biasanya langsung cari yang rumpunan besar, yang mahal sekaligus jadi pajangan,” kata Andreas.

Andreas menambahkan, proses dari pembibitan hingga berbunga bisa memakan waktu 2,5 hingga 3 tahun. Karena proses yang panjang dan kompleks, harga anggrek tidak pernah turun. Justru semakin tua usia tanaman, harganya naik drastis. 

“Makanya pasar anggrek itu stabil. Kalau orang sudah hobi, berapa pun mereka mau beli,” kata Andreas.

Dari ribuan koleksi anggrek, beberapa bahkan sudah teregistrasi secara internasional. Misalnya, Dendrobium Puma, silangan yang dikembangkan breeder luar negeri, tapi juga dikenal hingga Amerika. Ada juga anggrek dengan nama-nama tokoh nasional seperti Dendrobium Iriana Jokowi, Dendrobium Ganjar Pranowo, dan Dendrobium Mufidah JK.

Kini, selain anggrek, Widy Orchid juga menjual media tanam seperti arang, moss, sekam, serta kayu kleresede atau kayu keras dari wilayah Pantai Selatan yang jadi penyangga anggrek. Tukang kayu khusus mencarikan bahan ini dari Gunungkidul hingga Purworejo.

Dari rumah kecil di Kretek, bisnis ini bukan hanya jadi sumber penghidupan, tapi juga bukti bahwa dengan ilmu, ketekunan, dan digitalisasi, tanaman bisa jadi ladang emas. “Kalau dulu anggrek itu cuma hiasan ibu-ibu, sekarang sudah jadi industri,” pungkas Andreas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news