Yang Berubah dari Gang-Gang Perkampungan Jogja

5 hours ago 2

Yang Berubah dari Gang-Gang Perkampungan Jogja Suasana jalan-jalan yang diinisiasi oleh Gang Gangan, JNM Bloc, dan BONS Fabriek di Gampingan, Kota Jogja, Sabtu (26/4/2025). - Harian Jogja - Sirojul Khafid

Harianjogja.com, JOGJA—Hanya dalam dua tahun, suasana di sekitar kita bisa berubah drastis. Gang Gangan mengajak kita berjalan lebih lambat, mengabadikan suasana sekitar menjadi kepingan sejarah hari ini. 

Jogja National Museum (JNM) Bloc berisi kelompok-kelompok manusia. Pada Sabtu (26/4/2025) sore itu, ada kelompok anak-anak muda yang berbincang di depan penjual makanan dan minuman. Di sekitar kursi kuning, salah satu SMA di Jogja sedang seremonial pembukaan pameran foto. Beralih ke samping pohon beringin utama JNM, belasan orang sedang berdiri, membentuk lingkaran kecil.

Mereka sedang bersiap untuk jalan-jalan di sekitar Kampung Gampingan dan Ngampilan. Komunitas Gang Gangan, JNM Bloc, dan BONS Fabriek menjadi inisiator jalan-jalan melawati jalan-jalan perkampungan ini. Satu sama lain saling mengenalkan diri, tentang nama dan kegiatannya. Kebanyakan sudah bekerja, berasal dari luar Jogja.

Salah satu pendiri Gang Gangan, Shinta Dewi, mengatakan bahwa rute jalan-jalan kali ini merupakan jalur yang pernah mereka jelajahi dua tahun lalu. "Saat kemarin survei lagi, baru berselang dua tahun tapi sudah banyak yang berubah. Itu yang semakin jadi pengingat, bahwa [hal-hal] di sekitar kita cepat berubah," katanya.

Masih dalam lingkaran kecil yang sama, pendiri Gang Gangan lain, Risna Anggaresa, bercerita sekilas tentang asal-usul nama Gampingan. Dahulu, daerah sekitar merupakan tempat pemotongan hingga pembakaran batu gamping. Sumber batunya berasal dari Gunung Gamping, yang sekarang hanya menyisakan lahan yang seperti bangunan dua lantai. Batunya sudah banyak terkeruk. Batu gamping itu yang kemudian menjadi bahan untuk pembangunan Kraton Jogja.

Meski di awal Risna bercerita tentang sejarah yang jauh, dia menekankan bahwa di Gang Gangan, sejarah tidak melulu kisah abad sekian dan sekian. Para peserta jalan-jalan sangat terbuka untuk bercerita, termasuk hal-hal yang terjadi saat ini.

"Sistemnya demokratis, kami tidak berlaku jadi penutur absolut, tapi ketika temen-temen punya pengalaman sesuatu apapun sepanjang perjalanan boleh diceritakan," katanya.

"Kegiatan sehari-hari bisa jadi sejarah buat kita."Perjalanan dimulai sekitar pukul 15.30 WIB. Dari JNM Bloc, mereka berjalan menuju pintu utama, untuk kemudian berbelok ke kanan. Di perempatan jalan, mereka sempat berhenti. Pemilik BONS Fabriek, Bonang Setoaji, bercerita bahwa biasanya di pojokan terdapat penjual bakso yang biasa dipanggil "Pak Sutris".

Namun siang itu dia tidak berjualan, lantaran beberapa hari lalu, istrinya meninggal. "Next misal baksonya sudah buka, wajib coba, rekomendasinya adalah bakso gorengnya," kata laki-laki yang sedari kecil tinggal di Gampingan ini.

Perjalanan berlanjut, sembari bercerita tentang rumah-rumah yang mereka lalui. Dahulu, banyak seniman yang tinggal atau ngekos di sekitar JNM. Hal itu lantaran JNM sebelumnya merupakan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang menjadi cikal bakal Institute Seni Indonesia Jogja. Peserta jalan-jalan banyak mengabadikan perjalanan dan segala yang mereka lihat melalui mata di tubuh dan mata di kamera ponsel.

Bisa Baik atau Kurang Baik

Peserta jalan-jalan sampai di BONS Fabriek. Bonang sebagai pemilik usaha rumahan produk kombucha ini bercerita tentang ayahnya, yang dahulu merupakan pemahat patung. Kini dia mengembangkan usaha kombucha, fermentasi teh yang mengandung banyak probiotik.

Bonang memberikan pada peserta kombucha yang sedang dalam tahap riset dan pengembangan. Dia ingin mendapat timbal balik dari peserta jalan-jalan. Setelah Bonang memberikan produknya, perjalanan berlanjut menyusuri gang dan bantaran sungai.

Mereka berhenti di pinggir sungai, lebih tepatnya di jalanan baru di bantaran sungai. Shinta bercerita, bahwa di perjalanan sebelumnya, dua tahun yang lalu, lokasi yang sama masih banyak tanamannya. Belum ada pembangunan jalan di bantaran sungai. Mata air juga sudah berubah, dari yang sebelumnya berupa kolom, kini sudah dibuatkan sistem paralon.

Untuk pembuatan jalan di bantaran sungai, hal itu merupakan bagian dari program Pemerintah Kota Jogja bernama Mundur Munggah Madep Kali. Lahan di bantaran sungai akan dipotong selebar tiga meter, untuk kemudian dibuat jalanan, sehingga rumah warga perlu mundur. Agar efisien, bangunan dibuat bertingkat ke atas alias munggah. Rumah-rumah warga juga dibuat menghadap ke sungai, agar mereka semakin sadar tentang kebersihan sesuatu yang mereka akan lihat setiap harinya.

Sejak lahirnya Gang Gangan tahun 2021, Shinta dan teman-temannya sudah menyusuri banyak jalanan gang di kampung-kampung Jogja. Tidak sedikit yang mereka ulangi rutenya. Gampingan salah satunya. Namun di sini lah, perubahan yang paling banyak terasa, dalam kurun waktu yang relatif singkat.

"Perubahan bisa baik atau kurang baik. Perubahan menyesuaikan kebutuhan warga dan kebijakan pemerintah. Misal pembuatan talut dan jalan di pinggir sungai, secara alam mungkin kurang baik, karena tumbuhan yang berkurang. Tapi warga bisa punya ruang terbuka, bisa jualan angkringan dan sebagainya," kata Shinta.

Merekam Serpihan Sejarah

Perjalanan di Gampingan melewati bantaran sungai, untuk kemudian masuk ke Ngampilan. Penelusuran gang melewati ragam pemandangan, termasuk banyaknya jenis peliharaan warga, meski luas halaman rumah mereka ala kadarnya. Ada merpati, musang, ayam, burung, hingga ikan. Rute kembali lagi ke Gampingan dengan melewati kandang sapi besar.

Dahulu, Gampingan terkenal sebagai pasar hewan dan lokasi jagalnya. Bonang bercerita, bahwa Kantor Instalasi Arsip Kota Jogja, dahulu merupakan tempat jagal segala macam hewan. "Kalau sedang eksekusi jagal, sekitar habis Isya, [suara jeritan hewannya] kedengeran sampai seberang sungai," katanya.

Bonang juga pernah mendengar kisah tentang orang yang berjualan sengsu atau tongseng asu, olahan tongseng dari daging anjing. Eksekusi pembunuhan anjinganya berada di samping sungai. "Termasuk kuliner yang terkenal di Gampingan. Namun itu sudah berlalu dan orangnya sudah tobat, [kini jualan] yang lebih baik," kata Bonang.

Adzan Magrib sudah terdengar, saat para peserta jalan-jalan melewati Pasar Klithikan Pakuncen. Mereka kembali ke JNM Bloc. Sembari menyantap makanan dan minuman, mereka duduk bersama di kursi kuning. Suasana JNM Bloc di malam Minggu semakin ramai. Nyaris setiap tempat duduk penuh terisi muda-mudi. Musik menggema, menjadi teman satu sama lain berbagi cerita.

Termasuk para peserta Gang Gangan. Tidak tahu secepat apa lagi ruang-ruang di sekitarnya akan berubah. Namun rekaman mata, yang kemudian menghasilkan foto di ponselnya, menjadi sedikit 'sejarah' masa kini. "Mari berjalan dengan lebih pelan, dengan pelan-pelan, kita bisa semakin melihat sekitar. Setelah perjalanan ini, siapa tahu temen-temen jadi suka jalan-jalan di kampung masing-masing, lebih akrab dengan sekitar, sebelum kebiasan atau tempat itu hilang," kata Shinta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news