Foto ilustrasi penggunaan bioetanol. / Foto dibuat oleh AI Stockcake
SLEMAN–Bahan bakar minyak (BBM) berbasis biofuel dinilai dapat menjadi solusi energi yang ekonomis dan ramah lingkungan. Bisa jadi, inilah yang menjadi alasan Pertamina meluncurkan Pertamax Green 95 yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon pada awal Juni mendatang.
Terkait dengan hal itu, Guru Besar Ilmu Tanah UPN Veteran Yogyakarta (UPNV YK), Prof. Mohammad Nurcholis menjelaskan dalam proses hidupnya semua tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dari udara. Selanjutnya CO2 dari udara yang ditangkap dan menjadi bagian dalam proses fotosintesis menjadi biomassa.
"Biomassa itu kan bermacam-macam di antaranya gula. Gula itu misalnya di situ tebu, ya tebu itu kemudian menyimpan biomasa sebagai zat gula," jelas Nurcholis pada Sabtu (24/5/2025).
Industri bioetanol yang sekarang berkembang berasal dari produk samping industri gula yakni molase. Molase, kata Nurcholis, memiliki kadar gula yang masih tinggi tetapi tidak ekonomis untuk dijadikan gula konsumsi.
"Makanya molase itu difermentasi menjadi etanol. Kemudian jadi etanol itulah kemudian dicampurkan dengan bensin gitu maka itu dinamakan green, karena karbonnya itu bukan dari dalam tanah," ucap dia.
Nurcholis mengatakan bahan bakar fosil seperti bensin, solar, batubara, material karbonnya diambil dalam bumi dan dimanfaatkan ya dengan cara membakarnya untuk menjadi energi. Akan tetapi jika dari etanol yang berasal tumbuhan, karbon diserap dari udara yang kemudian selanjutnya bisa dimanfaatkan.
BACA JUGA: Pertamina Bersama Metrologi dan Polda DIY Cek Takaran SPBU di Sleman
Oleh karena itu, menurut Nurcholis, biofuel berbasis etanol tebu ini dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan BBM fosil. "Ya secara umum seperti itu, jadi apa tadi saya sampaikan tanaman tebu menyerap karbon dari udara di fotosintesis jadilah gula," ucap dia.
Penggunaan biofuel, imbuh Nurcholis, juga dapat berkontribusi mengurangi emisi karbon secara nasional. Meskipun, banyak sedikitnya kontribusi ini akan tergantung pada seberapa banyak bioetanol yang digunakan.
"Kalau itu 5 persen jadi E5 itu kan 5 persen bioetanol kemudian 95 persen dari minyak bumi. Maka kemudian ya 5 persen itu secara kasar [mengurangi emisi karbon] sehingga nanti bisa ditingkatkan misalnya di E10 itu kan berarti dia meningkatkan atau mengurangi emisi karbon," kata Nurcholis.
Selain kadar bioetanol yang dicampurkan dalam bahan bakar, cakupan wilayah yang bisa mengakses biofuel juga akan berpengaruh pada besaran pengurangan emisi karbon. Upaya ini akan selaras dengan cita-cita Net Zero Emission 2060.
"Semakin banyak yang memanfaatkan [bioetanol] dari tumbuhan maka kemudian proporsi yang dari dalam perut bumi baik itu minyak solar, minyak bensin, ataupun batubara ya itu persentasenya kan terus berkurang," kata dia.
Di sisi lain, biofuel juga punya peranan tersendiri terhadap transisi energi di Indonesia. Menurut Nurcholis pemerintah harus menghitung berapa porsi biofuel ini dalam proses transisi energi.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan, budi daya tanaman untuk bahan bioetanol jangan sampai mengalahkan porsi budi daya untuk kebutuhan pangan.
"Itu kan sudah dipetakan secara nasional. Jangan kemudian lantas nanti pangan itu kalah dengan energi, jangan. Makanya kan harus dipetakan berapa potensinya itu," kata dia.
Untuk itu, Nurcholis menyarankan agar setiap provinsi atau pulau memiliki pabrik pembuatan bioetanol. Langkah ini akan membuat bahan campuran biofuel tersebar di berbagai wilayah dan tidak terfokus pada daerah tertentu.
Dengan pabrik yang tersebar bahan bakar yang hilang karena proses distribusi yang jauh dapat ditekan. Selain itu keberadaan pabrik bioetanol di tiap provinsi atau pulau membuat potensi tanaman sumber bioetanol yang dibudidayakan masyarakat di sekitar bisa terserap.
Pengembangan BBM biofuel lanjut Nurcholis juga berpotensi mewujudkan peluang di sejumlah sektor. Salah satunya bagaimana lahan-lahan marginal contohnya lahan tambang hasil reklamasi nantinya bisa dibudidayakan untuk tanaman penghasil energi. "Yang penting adalah bagaimana mengembangkan biofuel itu di lahan-lahan marginal lahan-lahan yang tidak baik untuk memproduksi pangan mari manfaatkan untuk tanaman-tanaman energi atau energy crops," tegasnya.
Jika diproyeksikan pada 2030 dibutuhkan 50 juta kiloliter bensin, 5% penggunaan bioetanol akan mengurangi emisi yang begitu besar.
Dari aspek kendaraannya, Nurcholis yang berkaca penggunaan biosolar mengaku kendaraannya tak mengalami masalah saat menggunakan bahan bakar tersebut.
Tantangan Distribusi
Sementara tantangan dalam penerapan BBM biofuel ini, kata Nurcholis, ada pada pendistribusian pabrik bioetanol di berbagai wilayah.
Alih-alih memusatkan pabrik di suatu wilayah Nurcholis justru memandang perlu pendirian pabrik etanol yang dibangun secara tersebar.
Penanaman jenis tanamannya tak harus tebu tetapi disesuaikan dengan potensi dan kondisi lahan di wilayah tersebut. "Tantangannya adalah bagaimana memproduksi etanol itu ya dan tersebar di pulau-pulau. Jangan sampai banyak ngeblok di satu pulau kan kita negara kepulauan," ucap Nurcholis.
"Ya sudah seharusnya di setiap provinsi pulau itu ada pabrik etanol. Supaya biaya transportasinya lebih murah. Di samping itu juga dengan mendekatkan produsen etanol dengan konsumen maka tidak memerlukan energi yang tambahan. Energi tambahan itu kan juga nanti emisi karbon lagi," imbuhnya.
Sementara untuk menjaga keanekaragaman hayati dan menjaga lingkungan, Nurcholis menyarankan agar tidak semua kawasan ditanam tebu sebagai bahan bioetanol. Budi daya tanaman sumber bioetanol bisa dilakukan secara selang-seling antara budi daya tebu dengan komoditas lain antarkawasan.
"Keanekaragaman hayati itu juga harus dijaga. Makanya industri biofuel itu kalau bisa jangan sampai satu kecamatan itu menanam tebuh semua, jadi satu kecamatan itu dibuat strip-strip [selang seling] gitu loh. Jadi tebu, kemudian ada hutan, ada tegalan kan. Sehingga keanekaragaman hayati ini juga harus tetap kita jaga," tegasnya.
Pada prinsipnya, Nurcholis menjelaskan alasan masyarakat maupun industri harus beralih ke BBM yang berbasis biofuel. Penggunaan biofuel tegas dia akan mengurangi penggunaan energi fosil.
"Sepemahaman saya jadi kalau kita ini beralih menggunakan green biofuel, green energy terutama adalah bahan bakar yang ramah lingkungan. Hal yang utama adalah mengurangi penggunaan energi fosil.” (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News