Warung Ayam Goreng Widuran di Jl Sutan Syahrir No 71 Jebres Solo tutup setelah disidak Wali Kota Solo Respati Ardi, Senin (26/5/2025). (Solopos - Candra Septian Bantara)
Haianjogja.com, SOLO—Pemkot Solo dinilai melakukan kelalaian karena tidak melakukan pengawasan terhadap Ayam Goreng Widuran Solo. Kelalaian tersebut menyebabkan kerugian bagi konsumen karena mengkonsumsi produk nonhalal.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi mengatakan, kasus Ayam Goreng Widuran Solo merupakan bentuk kelalaian sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkot Solo karena tidak melakukan pengawasan.
Dalam kasus ini, Pemkot Solo seolah-olah hanya bisa memungut pajak untuk pendapatan asli daerah (PAD) saja. "Kasus ini merupakan bentuk kelalaian Dinas Perdagangan dan Dinas Kesehatan karena tidak melakukan pengawasan. Pemkot hanya memungut PAD-nya saja,” jelas dia melalui pesan Whatsapp kepada Espos, Selasa (27/5/2025) siang.
Menurut Tulus, Ayam Goreng Widuran Solo berjualan sejak 1973, mengaku halal, ternyata tidak halal, karena menggunakan minyak babi. Manajemen Ayam Goreng Widuran Solo kemudian meminta maaf kepada publik.
Dia mengatakan kejadian itu bisa mempengaruhi kepercayaan publik, lebih-lebih Kota Solo memiliki citra sebagai destinasi wisata kuliner. “Bisa menimbulkan public distrust khususnya bagi sektor UKM-UMKM,” jelas dia.
Menurut dia, kasus seperti ini tak bisa dilihat secara mikro kasuistik saja, tetapi musti dilihat secara holistik. Apalagi baru-baru ini terbukti terdapat sembilan merek makanan ringan yang mengantongi sertifikat halal, tapi ternyata tidak halal, di Indonesia.
BACA JUGA: Terlanjur Makan Ayam Goreng Widuran Non Halal Tidak Berdosa, Begini Penjelsan MUI Solo
“Fenomena ini menunjukkan adanya persoalan sistemik, khususnya dari aspek pengawasan, baik pengawasan prapasar [pre market], maupun pengawasan pascapasar [post market]. FKBI mendesak MUI dan Badan Penjamin Produk Halal [BPPH] untuk meningkatkan pengawasan di lapangan,” papar dia.
Selain itu, kata dia, harus dievaluasi secara mendalam mengenai berbagai pelanggaran produk halal oleh pelaku usaha juga karena faktor regulasi. Dalam UU tentang Cipta Kerja, sertifikasi halal boleh dilakukan secara self-declaration, khususnya untuk pelaku usaha level UKM-UMKM.
“Self declaration sangat potensi disalahgunakan oleh sektor usaha, dan karena itu model seperti ini sangat lemah dari sisi perlindungan konsumen, dan publik secara luas. Apalagi di era digital ekonomi seperti sekarang ini,” papar dia.
Sebagai informasi, FKBI adalah wadah kolaboratif yang bertujuan memperkuat suara dan perlindungan konsumen di Indonesia. FKBI berkomitmen mendorong kebijakan publik yang berpihak pada konsumen, meningkatkan literasi dan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen, serta membangun jaringan advokasi lintas sektor.
Dengan visi menciptakan konsumen yang cerdas, kritis, dan terlindungi, FKBI menjalankan berbagai program edukasi publik, kajian kebijakan, kampanye sosial, serta penguatan komunitas konsumen. Forum ini terbuka untuk individu dan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap isu keadilan dan keberdayaan konsumen di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Solopos.com