Ilustrasi korban kekerasan seksual. - Pixabay
Harianjogja.com, JOGJA—Kementerian Kesehatan menerima 2.668 pengaduan sejak 20 Juli 2023 hingga 25 April 2025. Sebanyak 632 di antaranya merupakan kasus perundungan di lingkungan rumah sakit.
Sebagian besar kasus terjadi di rumah sakit umum pusat, yang langsung berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan. Totalnya, ada 370 kasus. “Yang kita lihat itu hanya the tip of the ice, di dalamnya itu banyak sekali, dan itu memang ditutup-tutupi saya merasakannya. Kalau enggak didorong ya enggak kebuka,” kata Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, Selasa 29 Maret 2025 lalu.
Kasus perundungan pada PPDS juga banyak terjadi di rumah sakit umum daerah (RSUD), RS universitas, RS swasta, RS TNI/Polri, Puskesmas, klinik kesehatan swasta, hingga fakultas kedokteran di universitas. Ada 110 kasus di RSUD. Kasus terbanyak berada di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh (31 kasus), RSUD Moewardi Surakarta (21 kasus), RSUD Saiful Anwar Malang (10 kasus), RSUD dr. Soetomo Surabaya (9 kasus), dan RSUD Arifin Achmad Riau (5 kasus).
Menteri Kesehatan juga menyampaikan, pengawasannya pada rumah sakit selain RS Kemenkes, seperti di RSUD, cukup terhambat. Tindakan Kemenkes seringkali dianggap sebagai upaya campur tangan. Sementara di rumah sakit swasta, tercatat ada 19 kasus. Kemudian, ada 1 kasus di klinik kesehatan swasta. Catatan lainnya, ada 2 kasus di RS TNI/polri dan 3 kasus di puskesmas.
BACA JUGA: Gegara Jajanan, Siswa SMP Negeri di Gunungkidul Dipukul Kakak Kelas
Ada beragam jenis perundungan. Untuk bentuk perundungan fisik yang ditemukan, seperti hukuman push-up, memakan cabai, berdiri selama berjam-jam, hingga meminum telur mentah. Semua perlakuan tersebut kerap didokumentasikan dan disebar di grup WhatsApp antarpeserta didik.
"Juga bentuk perundungan yang paling umum adalah verbal di grup komunikasi atau disebut Jarkom, ya WA grup, seperti penggunaan bahasa yang sangat-sangat kasar yang dilakukan senior kepada junior," kata Budi.
Selain kekerasan, Kemenkes menemukan indikasi kuat adanya praktik pungli yang sistematis dengan nilai mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Kondisi di Rumah Sakit Universitas
RS Universitas Diponegoro memimpin statistik kasus perundungan dengan 10 kejadian. Selanjutnya, terjadi perundungan di RS Universitas Kristen Indonesia dan RSGM Universitas Airlangga, masing-masing 3 kasus. Kemudian, terjadi masing-masing 1 kasus perundungan di RS Universitas Sriwijaya Palembang, RS Universitas Hasanuddin Makassar, RS Universitas Andalas Padang, dan RS Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan pun nyatanya tidak terbebas dari kasus perundungan. Catatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa terjadi masing-masing 8 kasus perundungan PPDS di Universitas Hasanuddin, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Andalas.
Budi Gunadi memastikan pemerintah akan terus membuka ruang pengaduan dan mendorong proses evaluasi menyeluruh, baik terhadap sistem pendidikan kedokteran maupun institusi yang menaunginya. Bahkan menanggapi masifnya aduan tersebut, Kementerian Kesehatan telah membentuk Majelis Disiplin Profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 304 dan 308 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, untuk menangani pelanggaran disiplin profesi tenaga medis.
"Kami ingin menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan profesional. Setiap bentuk perundungan dan pungutan liar tidak bisa ditoleransi," katanya menegaskan.
Pendidikan Dokter Dievaluasi
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menegaskan tidak ada toleransi terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi dan layanan kesehatan. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto, menekankan peristiwa yang terjadi beberapa hari belakangan telah mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit sebagai tempat belajar serta pusat pelayanan.
Oleh karena itu pihaknya berkomitmen dalam melakukan evaluasi secara menyeluruh. Apapun bentuk kekerasannya harus ditindak tegas, lanjut Brian, baik secara akademik, administratif, maupun hukum. "Kasus ini bukan peristiwa individual semata, tetapi harus menjadi peringatan keras bahwa sistem pendidikan kedokteran kita harus diperkuat dan diperbaiki. Kekerasan, terlebih yang terjadi dalam relasi kuasa di pendidikan profesi tidak boleh dinormalisasi," kata Brian, Senin (21/4/2025).
Brian menekankan pencegahan dan penanganan kekerasan dalam pendidikan kedokteran adalah tanggung jawab bersama antara kampus dan Rumah Sakit Pendidikan (RSP). Hal ini sejalan dengan amanat Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi, yang menyatakan bahwa kedua institusi wajib membangun lingkungan belajar yang aman, etis, dan profesional.
BACA JUGA: Kasus Kekerasan Dokter PPDS, Kemenkes Pastikan Menyiapkan Sikap Tegas
"Setiap kampus memiliki satgas untuk pencegahan dan pelaporan kasus. Kami berkeinginan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, tidak hanya di lingkungan pendidikan spesialis dokter, tetapi juga di seluruh lingkungan pendidikan tinggi," katanya.
Brian juga menyatakan pihaknya memberikan dukungan penuh kepada Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam mengevaluasi seluruh program PPDS dan profesi di lingkungan Perguruan Tinggi (PT) dan RSUP Hasan Sadikin sebagai rumah sakit pendidikan mitra, untuk menutup setiap celah terjadinya pelanggaran hukum dan etika dalam proses pendidikan profesi.
Dia memastikan pihaknya segera berkoordinasi intensif dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengantisipasi dampak kasus yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut. Hal tersebut termasuk memastikan hak-hak mahasiswa dan dokter lainnya tetap terlindungi dan proses pendidikan tetap berlanjut secara optimal, serta masyarakat tetap mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Brian menyerukan kepada seluruh pimpinan perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, dan sivitas akademika untuk melakukan refleksi dan evaluasi mendalam terhadap sistem pembinaan mahasiswa, serta membangun budaya akademik dan klinik yang aman, setara, dan bebas dari kekerasan.
"Pemerintah tidak akan tinggal diam. Ini adalah tanggung jawab kolektif (dari pemerintah, perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, hingga masyarakat luas) untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang adil, inklusif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan," kata Brian.
Kekerasan Seksual Libatkan Dokter
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa sekitar 9 dari 15 kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan yang tercatat dalam 2020-2024 melibatkan dokter sebagai pelaku. Jenis kekerasan yang dilakukan bervariasi, mulai dari pelecehan seksual hingga perkosaan. Selain itu, ada pula kasus kekerasan seksual yang melibatkan terapis dan perawat, yang turut menyumbang 6 kasus lainnya.
Dalam satu tahun terakhir, dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2024, sebanyak 3.197 pelaku kekerasan seksual berasal dari berbagai profesi non-kesehatan, mencakup sekitar 92,91% dari total pelaku. Sementara itu, hanya 7,09% pelaku kekerasan seksual yang berasal dari kalangan profesi yang seharusnya memberi contoh moral tinggi, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru, dosen, Aparat Penegak Hukum (APH), pemerintah, polisi, TNI, tenaga medis/kesehatan, pejabat publik/negara, dan tokoh agama, yang jumlahnya tercatat sebanyak 244 orang.
Salah satu kasus yang mencuat adalah kejadian di Rumah Sakit Persada Kota Malang pada September 2022. Kasus tersebut berupa seorang pasien mengaku dilecehkan oleh Dokter IGD saat menjalani rawat inap. Setelah investigasi internal, pihak rumah sakit memutuskan untuk menonaktifkan dokter tersebut.
BACA JUGA: Hentikan Perundungan, Jangan Anggap Normal sebagai Bahan Bercanda
Namun dokter IGD tersebut tetap membantah tuduhan dan mengklaim bahwa tindakan yang dilakukannya adalah prosedur pemeriksaan yang sah. Meski begitu, rumah sakit mengakui adanya pelanggaran SOP karena pemeriksaan yang dilakukan dokter tidak didampingi oleh perawat.
Kasus serupa kembali terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2025. Seorang dokter anestesi residen (program pendidikan dokter spesialis) melakukan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien. Kasus ini dianggap membuka mata masyarakat tentang tingginya tingkat pelecehan seksual di fasilitas kesehatan, saat pelakunya adalah tenaga medis terlatih yang seharusnya menjaga kepercayaan pasien.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madani, mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan sering kali tidak dilaporkan dengan segera. Faktor-faktor seperti trauma, rasa takut, dan kekhawatiran akan pandangan masyarakat membuat korban enggan untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya. Oleh karena itu, Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan dan dukungan psikologis bagi korban agar mereka merasa aman untuk melapor.
Pencegahan dan Perlindungan Minim
Dahlia Madani juga menyoroti banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki langkah-langkah pencegahan yang memadai untuk menghindari kekerasan seksual. Meskipun beberapa rumah sakit sudah mulai menambah fasilitas seperti poster edukasi tentang kekerasan seksual dan jalur pelaporan untuk korban, hal ini masih sangat minim. Untuk itu, Komnas Perempuan mendesak Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga terkait dalam membangun zona bebas kekerasan seksual di seluruh fasilitas kesehatan.
“Pencegahan di fasilitas kesehatan harus dimulai dengan edukasi bagi pasien, tenaga kesehatan, dan pegawai rumah sakit,” kata Dahlia, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Cegah Kekerasan Seksual, RSA UGM Punya Sistem Pengawasan Berlapis
Dahlia juga mengusulkan pentingnya penerapan prosedur operasional standar (SOP) yang ketat, seperti keharusan adanya pendampingan perawat ketika dokter melakukan prosedur medis yang melibatkan pasien. Komnas Perempuan menekankan perlunya pembangunan infrastruktur yang mendukung pencegahan.
Seperti pengawasan CCTV di area yang rawan dan pemberian informasi jelas kepada pasien tentang hak-hak mereka untuk merasa aman selama menjalani perawatan. Sayangnya, meski sudah ada upaya pencegahan, hal ini belum maksimal di seluruh fasilitas kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News