Harianjogja.com, JAKARTA—Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konsitusi oleh sejumlah orang dan organisasi masyarakat, Jumat (21/2/2025).
Materi gugatan berisi objek kena pajak pertambahan nilai (PPN) serta besaran tarif PPN 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mendampingi 6 orang warga dan 1 organisasi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materiil ke MK terhadap sejumlah pasal bermasalah dalam UU HPP.
“Tentu kami belum lupa, UU inilah yang mengatur kenaikan PPN dari 10% ke 11% dan ke 12%. Peraturan yang membebani rakyat dan tidak sesuai dengan amanat konstitusi,” tulis YLBHI dalam akun Instagram resmi @yayasanlbhindonesia, dikutip pada Jumat (21/2/2025).
BACA JUGA: Kasus Pemerasan Nikita Mirzani, 13 Orang Diperiksa sebagai Saksi
Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, dan j, serta Pasal 7 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU HPP.
Pasal-pasal tersebut bermasalah karena sejak beberapa waktu ke belakang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk menaikkan PPN tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan warga.
Ketentuan tersebut membawa konsekuensi buruk kepada warga karena di dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, dan j UU HPP, pada pokoknya, hak-hak dasar warga atas kebutuhan pokok, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa angkutan umum yang sebelumnya bukan objek PPN kemudian dimasukkan ke dalam daftar barang dan/atau jasa yang dikenai PPN beserta kenaikan tarifnya.
Tidak hanya itu, Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP juga telah menetapkan rentang besaran PPN tanpa indikator yang terukur dan transparan, yaitu paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Parahnya, perubahan tarif PPN dalam rentang persentase tersebut digantungkan pada kebebasan bertindak (diskresi) pemerintah melalui peraturan pemerintah, bukan melalui undang-undang yang mengharuskan proses pembentukannya memperhatikan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation).
Artinya, ketentuan yang demikian, sejak awal sudah mengandung ketidakpastian hukum. Kenaikan tarif PPN sangat mungkin dilakukan sekadar didasarkan pada pertimbangan mengisi defisit APBN semata tanpa melalui kajian akademis yang komprehensif dan tanpa mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas.
“Bahkan, yang lebih buruk lagi adalah hanya berdasarkan tekanan politik jangka pendek,” tutur YLBHI.
Menurut YLBHI, dampak dari persoalan PPN ini semakin terlihat nyata dan berlapis jika dilihat dari sudut kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Sebut saja, perempuan harus menghadapi beban ganda karena melakukan kerja-kerja domestik dan pengasuhan, yang tidak diakui secara ekonomi.
Penyandang disabilitas menghadapi tantangan berupa extra cost of disability, yaitu biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan khusus, seperti alat bantu, layanan kesehatan, atau transportasi yang aksesibel, yang mana hal ini tidak termasuk daftar barang dan/atau jasa yang dikecualikan dari PPN.
Terhadap penyerahan gugatan tersebut, YLBHI melakukan aksi Kawal Pernyerahan Permohonan Judicial Review UU HPP ke MK dengan titik aksi di Patung Kuda, pukul 13.00 WIB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara