
KabarMakassar.com — Presiden Prabowo Subianto melantik Menteri dan Wakil Menteri Haji dan Umrah serta Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakil Menteri Haji dan Umrah, pada Senin (08/09) sore di Istana Negara.
Pelantikan tersebut dilakukan dihari yang sama dengan reshuffle kabinet dimana, Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani, Mukhtarudin menjadi Menteri P2MI menggantikan Karding, dan Ferry Juliantono pengganti Budi Arie sebagai Menteri Koperasi.
Sementara itu posisi pemegang jabatan Menko Polkam dan Menpora belum dilantik Prabowo pada tanggal 8 kemarin.
Pelantikan ini dilakukan setelah DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Haji yang menjadi dasar pembentukan kementerian baru.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengonfirmasi keputusan tersebut. “Bapak Presiden telah menandatangani keputusan pengangkatan Menteri dan Wakil Menteri Haji dan Umrah yang rencananya akan dilakukan pada sore hari ini,” ujarnya di Istana.
Menanggapi hal itu, akademisi UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, menilai langkah Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet, termasuk pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, terasa mendadak.
“Tidak banyak wacana sebelumnya yang muncul ke publik. Memang ada pembicaraan soal pengelolaan haji, tetapi tidak ada prediksi bahwa kementerian ini akan lahir secepat itu, apalagi disertai perombakan besar pada pos-pos strategis seperti pertahanan dan keuangan,” jelas Firdaus dalam video berdurasi 01.00 menit miliknya, Selasa (09/09).
Menurut Firdaus, kehadiran Kementerian Haji dan Umrah merupakan langkah strategis yang diharapkan membawa reformasi dalam tata kelola ibadah haji. Selama ini, penyelenggaraan haji kerap diwarnai keluhan soal manajemen dan pelayanan.
“Dengan adanya kementerian khusus, semoga tata kelola yang semrawut bisa diminimalisir. Publik tentu berharap ada pembenahan nyata, mulai dari sistem kuota, layanan jamaah, hingga transparansi biaya,” tegasnya.
Selain itu, Ia menyoroti pergantian tokoh penting seperti Sri Mulyani, yang selama ini dianggap menjadi pilar utama pengelolaan ekonomi nasional, serta pergeseran beberapa menteri era Jokowi seperti Budi Arie.
“Reshuffle ini tidak hanya signifikan dari sisi jumlah, tapi juga dari bobot figur yang diganti,” tambahnya.
Firdaus juga memberi catatan bahwa reshuffle yang dilakukan kurang dari satu tahun masa pemerintahan bisa menjadi sinyal politik.
“Artinya, empat tahun lebih ke depan masih terbuka peluang reshuffle kembali. Ini bisa menjadi warning bagi para menteri untuk benar-benar bekerja efektif,” katanya.
Ia menambahkan, mendadaknya pelantikan juga terlihat dari adanya pejabat baru yang tidak sempat menghadiri prosesi karena sedang berada di luar kota.
“Ini menunjukkan minimnya persiapan, seolah keputusan diambil sangat cepat tanpa memberi waktu adaptasi,” pungkasnya.