Doti-Doti dalam Kacamata Psikologi: Antara Kepercayaan Lokal dan Gangguan Mental

4 hours ago 1

KabarMakassar.com — Doti-doti atau kerap dikenal dengan guna-guna merupakan kepercayaan turun-temurun yang berada di tengah masyarakat Bugis-Makassar. Fenomena supranatural lokal ini dipercaya dapat membuat seseorang mengalami gangguan jiwa.

Ketua Program Studi Psikologi Universitas Hasanuddin, Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A menegaskan kebudayaan lokal seperti doti-doti, apabila dikaitkan dengan psikologi maka mengarah ke efek dari doti-doti tersebut.

“Perlu diketahui jika efek dari doti-doti itu ada dua, pertama mempengaruhi kondisi mental kemudian doti-doti itu juga bisa mempengaruhi kondisi fisik seseorang,” ujar Ichlas, Senin (20/10).

Ia menyatakan, doti-doti dalam istilah bahasa inggris disebut dengan possessed atau owned by yang memiki arti dimiliki oleh. Sehingga, Ichlas menyebut jika doti-doti memang tidak dapat diobati secara psikologis.

“Guna-guna itu memang ada dalam kultur kita. Meski pun sekarang sudah lama, saya kira agak banyak juga orang tinggalkan. Hanya saja di psikologi, possessed tersebut terjadi karena lemahnya kondisi mental seseorang,” terangnya.

Dia mengatakan, kondisi mental yang lemah bisa saja terjadi karena berada dalam posisi yang amat sedih, sedang terpuruk, mengalami cemas berlebihan. Bahkan, dampaknya dapat mempengaruhi kondisi psikologis keluarga yang terkena doti-doti.

“Akan mempengaruhi pola komunikasi, mempengaruhi pola interaksi antar keluarga, itu pasti,” ujarnya.

Masyarakat, kata Ichlas, apabila hal itu terjadi maka pelariannya akan cenderung ke aspek klenik bukan ke profesional. Ia menyebut, itu terjadi karena anggapan penyebabnya diluar kendali manusia.

“Bahwa orang yang terkena, yang kesurupan misalnya. Orang psikologi percaya, kenapa itu terjadi, karena orang yang kena dimasuki jin yang kesurupan itu orang lemah. Misalnya lagi sedih sekali, segala macam yang berlebihan secara psikologi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia memberi contoh terhadap tentara Amerika pasca perang Vietnam yang mengalami gangguan jiwa. Ciri-cirinya, sering berteriak, berhalusinasi dan lainnya, sehingga ketika dibawa ke kultur lokal maka diyakini diikuti oleh arwah tentara yang telah mati.

Namun, ketika di kultur barat itu sendiri, tentunya akan berbeda. Dimana mereka tidak mengenal hal tersebut dan menganggap jika perilaku mereka, termasuk berhalusinasi dan sering berteriak disebabkan karena stres atau depresi luar biasa.

“Itu kan traumatic event. Bisa jadi PTSD, tapi kalau di kultur kita, secara tradisional tidak mengenal PTSD. Trauma itu kan konsep medis sekali. Konsep medis itu ada kejadian yang paling tidak mengenakkan, kemudian tidak bisa di handle oleh tubuh, kemudian muncul halusinasi, muncul reaksi-reaksi, berteriak, menangis, mengurung diri, depresi,” jelasnya.

“Tapi kalau dibawa ke kultur Indonesia itu akan disebut sebagai apa namanya? Kapinawangan ki, kan begitu. Tapi karena itu, tubuhnya secara mental tidak sanggup untuk menahan beban psikologis. Makanya reaksinya berbeda, bisa jadi kesurupan reaksinya, berteriak, halusinasi, segala macam,” tambahnya.

Tanda Awal Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Ia menyampaikan skizofrenia menjadi ujung dari segala macam bentuk gangguan-gangguan psikologis. Stres yang tidak bisa di tangani oleh tubuh, depresi dimana tubuh tidak mampu untuk memprosesnya, PTSD yang tidak dapat dikendalikan oleh tubuh, sehingga muara atau hilirnya ialah ODGJ.

Contoh dari skizofrenia, misalnya terdapat orang yang menggelandang di jalan, atau terdapat kejadian beberapa waktu lalu di Sulawesi Selatan, dimana dua anak ditabrak dan meninggal sehingga ibunya tertidur di kuburan dan tidak mau meninggalkan kuburan anaknya.

“Itu tanda yang bisa kita curigai kalau ini tidak tertanggulangi, bisa jadi dia ODGJ. Karena mungkin dia mengalami kesedihan yang sangat mendalam, sehingga awalnya dari situ,” imbuhnya.

Ia menekankan, apabila melihat orang yang menggelandang di jalan kemungkinan besar orang tersebut baru saja mengalami big bang event atau kejadian luar biasa dalam hidupnya. Ichlas pun menegaskan jika tidak ada orang yang tiba-tiba gila tanpa alasan.

Oleh sebab itu, ia mengatakan kepada masyarakat agar dapat lebih memerhatikan orang sekitar. Baik itu keluarga maupun kerabat, terutamanya jika terjadi hal yang tidak biasa atau luar biasa dalam kehidupan mereka.

“Yang pertama, amati. Kalau kamu punya kerabat dekat, tiba-tiba ada kejadian misalnya orang-orang yang meninggal, putus cinta, tidak lulus harus lebih diperhatikan. Karena dia mau buka jalan untuk mengalami gangguan jiwa,” ucapnya.

Skizofrenia awal mulanya berasal dari sedih yang berlebihan, kemudian jika tidak tertanggulangi maka menjadi depresi. Dimana kondisi skizofrenia menjadi hilang kontak dengan realitas.

“Tidak bisa diajak bicara, sering merenung, sering melamun. Tiba-tiba ketawa sendiri, menangis sendiri. Atau mungkin ada yang mengamuk, ada yang mau bunuh diri, ada yang mau bunuh orang, macam-macam. Akhirnya itu tadi, menggelandang di jalan, dia tidak menjaga, tidak memperhatikan lagi kebersihan tubuhnya dan seterusnya,”

Sadar dan Peduli, Langkah Awal Menjaga Kesehatan Mental

Beberapa contoh seperti rasa sedih usai gagal ujian atau tidak diterima kuliah yang membuat orang ingin mengurung diri satu atau dua hari dinilai Ichlas masih tergolong normal. Akan tetapi jika kesedihan berlarut hingga berminggu-minggu, membuat enggan makan, menarik diri atau sulit dihubungi maka kondisi tersebut patut diwaspadai.

Kesedihan yang terlalu lama dapat menjadi tanda awal gangguan mental, dan perlu untuk segera mendapat bantuan profesional. Peran orang sekitar, baik itu keluarga maupun teman mampu menjadi pendorong bagi penderita untuk mencari pertolongan.

Layaknya penyakit fisik, gangguan mental juga butuh perhatian dan penanganan serius, terlebih jika kesedihan yang dialami berlangsung lama dan mengganggu fungsi hidup sehari-hari.

“Itu sama prinsipnya dengan orang sakit fisik sebenarnya. Misalnya demam, normalnya demam itu dua tiga hari setelah itu turun. Jadi kalau kamu demam satu dua hari, ya jangan ke dokter dulu. Tapi misalnya, kalau kamu demam dua minggu, tiga minggu, tidak turun-turun maka ke dokter. Artinya infeksinya itu lebih serius. Sama juga gangguan mental, gangguan jiwa,” tuturnya.

Ia mengimbau agar masyarakat dapat saling peduli terhadap sekitar, terutamanya dalam membangun kesadaran terkait dengan gangguan jiwa atau gangguan mental. Jangan sampai menganggap itu sebagai hal yang sepele.

“Kita sekarang harus memposisikan kekhawatiran ketika ada orang demam dua tiga hari dengan ada orang murung dua tiga hari. Harus sama khawatirnya, harus sama risaunya,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news