Harianjogja.com, JAKARTA— Ekosistem gambut dan mangrove dapat menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Hal itu diungkap Tim penelitian gabungan dari Indonesia, Singapura dan Australia dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
BACA JUGA: Peka Isu Lingkungan! Anak Muda Joga Tanam 1.000 Mangrove & Clean Up di Pantai Samas
Peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER) James Cook University Australia, Sigit Sasmito, menyampaikan, melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun
"Atau setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023. Meskipun kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4 persen dari luas daratan Asia Tenggara," ujar Sigit.
Temuan tersebut didapatkan setelah dilakukan penelitian terkait perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 2001-2022 yang berkontribusi terhadap emisi GRK.
NAsia Tenggara menyumbang sekitar sepertiga emisi karbon global akibat perubahan tata guna lahan, di mana sebagian besar berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove termasuk akibat kebakaran hutan dan lahan.
Dalam kesempatan yang sama Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho mengatakan tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90 persen emisi di Asia Tenggara dari sumber-sumber emisi tersebut.
Menurut Wahyu, besarnya kontribusi emisi ini sejalan dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove, di mana Indonesia memiliki luasan terbesar dari kedua ekosistem ini, diikuti oleh Malaysia.
"Walaupun merupakan penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi karena negara kita memiliki 3,4 juta hektare hutan mangrove dan 13,4 juta hektare lahan gambut," jelas Wahyu.
Penelitian itu sendiri melibatkan peneliti dari Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan baru-baru ini diterbitkan di Jurnal Nature Communications.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian tersebut, Haruni Krisnawati, dalam kesempatan yang sama menyebutkan kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa. Terutama, tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu yang lama.
"Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," sebut Haruni.
Selain itu, lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah untuk dipulihkan.
Dengan karakteristiknya tersebut, katanya, baik lahan gambut maupun mangrove menjadi ekosistem penyerap karbon yang paling efisien di dunia dan menjadi solusi alami yang penting untuk memitigasi perubahan iklim serta membantu negara-negara mencapai target nol karbon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara