Fenomena Pelajar SMP Belum Lancar Membaca

3 hours ago 2

Harianjogja.com, JOGJA—Ratusan murid sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali belum bisa membaca dengan lancar. Umumnya, kemampuan membaca sudah tuntas sejak siswa duduk di bangku sekolah dasar (SD). Temuan ini bisa jadi hanya mengungkap sedikit dari banyaknya masalah pendidikan di Indonesia.

Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna, menyarankan agar penggunaan handphone (HP) di lingkungan sekolah dibatasi. Menurutnya, ratusan siswa yang sulit membaca itu justru lebih lancar bermain media sosial (medsos).

"Karena ada temuan anak yang tidak bisa menulis, tapi lancar mengetik di HP atau lancar bermedia sosial. Kami tidak menampik adanya teknologi, tapi ini dilakukan agar anak bisa berkonsentrasi dalam menempuh pendidikan," kata Supriatna, Senin (14/4/2025).

Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bali, I Made Sedana, mengatakan data murid SMP di Kabupaten Buleleng yang belum lancar membaca ada sekitar 360 anak dari sekitar 70 sekolah baik swasta maupun negeri. Dalam satu sekolah ada delapan anak yang belum lancar membaca. Bahkan dalam satu sekolah ada 20 siswa yang belum lancar membaca.

"Ini masih fluktuatif, waktu awal kita kisaran 400 murid (yang belum lancar baca). Tadi setelah diskrining, karena sedang berproses juga, beberapa sudah mulai keluar dari zona itu, sehingga ada 360 siswa," katanya.

Sedana mengatakan jumlah tersebut belum termasuk data sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut dapat bertambah. "Bisa jadi (lebih banyak). Tapi kalau kami menunggu data-nya dulu kami belum bisa menyampaikan secara detail, karena memang proses untuk pendataan. Dan data itu by name by address," katanya.

Ia juga menyatakan, bahwa persoalan murid SMP belum lancar membaca tidak hanya terjadi di Kabupaten Buleleng, tetapi di kabupaten lainnya yang ada di Pulau Bali. "Terus terang saja ini masalahnya tidak hanya di Buleleng, cuma Buleleng yang baru mencoba mendata itu dan persoalannya ada di semua kabupaten di seluruh Indonesia," kata Sedana.

Mengetik di HP

Sedana mengatakan banyak faktor yang menyebabkan ratusan murid SMP belum bisa membaca dengan lancar. Beberapa di antaranya yaitu faktor motivasi belajar yang rendah, peran orang tua yang tidak memperhatikan anaknya untuk belajar, hingga faktor disleksia gangguan pada neuron anak.

"Pertama, karena memang motivasi belajar anak itu rendah, itu di angka 50%. Kemudian peran orang tua ada di angka hampir 20%, yang lain itu ada karena faktor disleksia jadi ada gangguan pada neuron mereka, di kemampuan mereka untuk mencerna pelajaran jadi ada di otak itu," kata Sedana.

Ada pula faktor lainnya sekitar 55%. Terdapat juga faktor lingkungan sekolah dan sebagainya. Menurut data Sedana didapatkan, selain faktor motivasi belajar para siswa yang rendah, saat ini anak-anak atau para siswa saat ini lebih senang bermain game yang justru tidak mengedukasi.

Di sisi lain, budaya menulis secara manual juga rendah. Namun saat Sedana menyodorkan HP untuk mengetik, ternyata banyak anak yang lancar melakukannya. Namun ia belum mendapat data terkait murid yang bisa membaca, namun tidak bisa menulis lantaran terbiasa menggunakan gawai untuk menulis secara digital, dan tidak biasa menulis dengan menggunakan pena.

"Jadi budaya menulisnya hilang, karena pakai gadget dan laptop itu. Sedikit-sedikit dia ngeprint, sehingga gimana nanti merangsang kembali tradisi menghitung, membaca dan menulis kayak dulu. Karena bagi kami, kalau dia menulis pasti bisa membaca dan pikirannya atau otaknya itu berproses," katanya.

Bisa Baca Belum Tentu Mengerti Isinya

Belum lancar membaca merupakan satu masalah. Sudah bisa membaca, namun kesulitan mengerti isinya merupakan masalah lain. Pemerhati pendidikan, Indra Charismiadji, mengatakan siswa Indonesia baru sekedar bisa membaca namun masih kesulitan dalam memahami apa arti dari bacaan yang dibacanya tersebut.

Hal ini merupakan temuan dari hasil assesment Kementerian Pendidikan beberapa tahun lalu. Indra mengatakan hanya 6,06% murid di Tanah Air yang memiliki kemampuan membaca yang baik. Sisanya yakni 47,11% cukup dan 46,83% lagi memiliki kemampuan membaca yang kurang.

Kemampuan baca yang baik tersebut didapat dari hasil latihan dalam jangka waktu yang lama. Misalnya saat TK, tidak diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung), melainkan lebih banyak mendengarkan cerita. Kemudian saat SD mulai membaca secara bertahap.

Menurutnya, minat baca murid masih rendah terbukti dari sulitnya murid memahami bacaan. Murid kesulitan dalam memahami soal-soal cerita. Oleh karena itu, dia meminta agar informasi yang diberikan benar-benar sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

"Berdasarkan data dari Central Connecticut State University, kemampuan literasi siswa kita peringkat 60 dari 61 negara, sedangkan untuk proyek literasi peringkat 15 dari 61 negara," katanya.

Meski banyak terdapat sarana prasarana yang disediakan untuk murid dan masyarakat, bukan serta-merta minat baca menjadi meningkat. Begitu juga kompetensi dibidang literasi yang juga masih kurang. Pegiat pendidikan lainnya, Ahmad Rizali, meminta agar sekolah menanamkan kebiasaan membaca pada murid. Program Kementerian Pendidikan berupa 15 menit membaca sebelum belajar, juga dinilai efektif dalam meningkatkan minat baca.

"Pemerintah sebaiknya fokus pada peningkatan minat baca untuk siswa SD, karena merupakan landasan bagi pendidikan selanjutnya. Perlu dipikirkan apa program lainnya untuk meningkatkan minat baca siswa ini," kata Rizali.

Calistung Berdasarkan Kesiapan

Pengamat pendidikan, Ina Liem, mengatakan bahwa mengajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung) harus berdasarkan kesiapan anak untuk mencapai tingkat tersebut. Calistung bukan menjadi syarat mutlak masuk ke jenjang SD.
“Kalau ada anak yang sudah siap kesana harus dikasih, tapi kalau ada yang belum siap ya tidak apa-apa. Bukan berarti anak yang lebih lambat itu nantinya jadi anak bodoh, sangat tidak,” kata Ina.

Di lapangan, banyak faktor yang menjadikan pengajaran kurang sesuai dengan tahapannya. Salah satunya, Ina menyayangkan masih sedikit tenaga pengajar PAUD yang bergelar sarjana. Menurutnya hal ini karena masih sedikit pendidikan keguruan di tingkat itu, sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar untuk mengubah pola pikir pendidikan anak usia dini.

Lebih lanjut, Ina mengatakan bahwa guru PAUD punya tugas penting mengobservasi untuk mengetahui karakter anak sehingga bisa memberikan kegiatan yang pas dengan profil anak. “Itu yang paling penting dilakukan guru PAUD. Karena dari situ profil kepribadian anak akan ketahuan sehingga memudahkan guru atau orang tua memberikan kegiatan yang pas dengan profil anaknya,” kata Ina.

Ina menjelaskan, observasi penting dilakukan sejak usia dini dengan tujuan agar anak bisa mengenal siapa dirinya. Hal itu berproses sampai dewasa berdasarkan tahapan perkembangan usianya. Salah satunya yang bisa diajarkan pada anak adalah sifat toleran sedari kecil.

Selain itu, perkembangan karakter anak juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Jika mendapat lingkungan sosial yang baik, anak dapat tumbuh menjadi produktif dan penuh percaya diri. Namun ia mengatakan perkembangan setiap anak tidak bisa disamaratakan.

“Jadi harus sesuai usia perkembangan anak, ada range nya jadi tiap anak tidak bisa diidentifikasi persis,” katanya. “Jadi mindset kita harus berubah bahwa pendidikan di usia itu sebetulnya penting banget tapi yang paling penting karakter seperti apa yang mau diajarkan, bukan hasil calistung.”

Pekerjaan Rumah Menyiapkan Generasi Emas

Fakta masih banyak pekerjaan dalam pendidikan menjadi tantangan Indonesia dalam menyongsong Generasi Emas 2045. Di tahun tersebut, Indonesia mendapat bonus demografi berupa melimpahnya masyarakat dalam kategori produktif. Guru Besar Studi Kependudukan Fisipol UGM, Tadjudin Nur Effendi, mengatakan negara seharusnya bisa memanfaatkan kelebihan tenaga kerja produktif tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seperti yang pernah dilakukan oleh Korea dan Jepang di era tahun 70-an.

Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tenaga kerja produktif tersebut akan dipakai oleh negara lain seperti Malaysia dan Timur Tengah. “Bila bonus demografi dimanfaatkan dengan baik, ekonomi kita bisa tumbuh 9-10% per tahun,” kata Tadjudin, dikutip dari laman resmi UGM, beberapa waktu lalu.

Pasca bonus demografi, kata Tadjudin, Indonesia akan memiliki kelebihan jumlah penduduk usia lanjut seperti yang dihadapi Jepang saat ini. Bahkan di Indonesia sudah dialami oleh DIY yang memiliki penduduk lanjut usia terlantar sebanyak 36.728 jiwa. “Itulah kenapa penduduk miskin di DIY merupakan terbesar di Jawa meski tingkat usia harapan hidup tertinggi se-Indonesia,” katanya.

Menurutnya pemerintah perlu lebih meningkatkan tingkat pendidikan anak usia sekolah. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan menentukan tingkat perubahan sosial, akses kerja perempuan di sektor publik dan menambah jenjang batas usia perkawinan.

Pengamat pendidikan, Wuryadi, menilai pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat belum menjadi perhatian negara. Padahal Ki Hadjar Dewantara, katanya, untuk menciptakan kepribadian dan karakter siswa membutuhkan tiga unsur pendidikan berupa keluarga, sekolah dan masyarakat.

“Sekolah saat ini cenderung mengedepankan konsep pengajaran bukan pendidikan, belajar di sekolah sekarang seolah hanya mencerdaskan kehidupan pikiran,” katanya.

Pendidikan kepribadian dan karakter menurutnya harus dimulai dari keluarga dan didukung oleh masyarakat. Menurut Wuryadi, konsep pendidikan rakyat perlu dikedepankan dalam mendorong kemajuan pendidikan bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news