dr. Adang Muhammad Gugun., M.Kes., Sp.PK,Dosen Prodi Pendidikan Dokter FKIK UMY
Menurut pakar psikologi, pemenuhan kebutuhan manusia secara hirarki diawali dari kebutuhan fisiologis (seperti oksigen, minuman, makanan, pakaian, tempat tinggal dan istirahat), rasa aman, rasa cinta (persahabatan/hubungan sosial), penghargaan dan aktualisasi diri.
Pada umumnya semua orang berburu untuk mencapai kepuasan dari yang paling mendasar hingga yang tertinggi. Orientasi kebutuhan-kebutuhan tersebut sebetulnya hanya berkisar pada kebutuhan yang berdimensi fisik (materiel) dan jiwa (mental).
Ajaran Islam menekankan bahwa proses penciptaan manusia memiliki kekhususan yaitu adanya dimensi ruh pada dirinya sebagaimana firman Allah dalam QS. Shaad ayat 72 dan QS. As Sajdah ayat 9.
Oleh karena itu, secara paripurna manusia memiliki dimensi fisik, jiwa dan ruh. Fisik paling mudah dikenali karena bersifat kasat mata dan dapat diindera. Sementara jiwa dan ruh tidak bisa dilihat, tetapi bisa diamati dari sikap, tindakan, kebiasaan dan perilaku.
Jiwa dan ruh memiliki perbedaan kualitas dan fungsional. Jiwa memiliki potensi berubah-ubah, sedangkan ruh kualitasnya menetap dalam fitrah. Jiwa bertangung jawab atas segala aktivitas yang melibatkan fisik, sedangkan ruh berperan dalam ketundukan pada penciptaNya.
Jiwa bersifat tidak stabil, bisa menerima kesedihan-kesenangan, ketentraman-kegundahan, kebijaksanaan-kemarahan dan lain sebagainya, sedangkan ruh bersifat stabil dalam kebaikan. Secara primordial, Allah SWT meniupkan ruh agar manusia menjadi makhluk spiritual.
Kebutuhan eksistensi ruh hendaknya menjadi pangkal dari pemenuhan kebutuhan fisik dan jiwa. Oleh karena itu ketika seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri sesuai hirarki mestinya berlandaskan tata aturan yang tidak mengabaikan kebutuhan ruhnya.
Bila pemenuhannya tidak mengutamakan kebutuhan ruh berdampak pada rusaknya fitrah kemanusiaannya. Sehingga bila mengacu pada hirarki kebutuhan manusia selayaknya perlu pendekatan holistik (paripurna) yang mengedepankan kebutuhan ruh.
Berbeda dengan fisik dan jiwa, eksistensi ruh memiliki kebutuhan khusus yang luhur yaitu bertujuan membentuk dirinya menjadi pribadi bertaqwa (muttaqin).
Ibadah yang dilandasi keimanan dengan keikhlasan menjadi nutrisi bagi ruh. Secara umum seluruh bentuk ibadah memiliki tujuan akhir takwa (QS. Al Baqarah: 21). Secara khusus Allah SWT menegaskan dengan berpuasa agar menjadi pribadi bertakwa (QS. Al-Baqarah:183).
Kebutuhan ruh (spiritualitas) meliputi kesadaran transendensi dan pencarian nilai-makna-tujuan hidup manusia. Kesadaran transendensi merupakan fitrah perjanjian ruh sebelum manusia dilahirkan (QS. Al a’raf: 72). Selanjutnya berkaitan dengan nilai-makna-tujuan hidup manusia ditegaskan secara global sebagai abdullah (QS. Adz Dzariyat: 56) dan khalifah (QS. Al-Baqarah: 30).
Ibadah puasa memiliki relasi kuat dengan transendensi. Puasa mengokohkan interaksi antara hamba dan Tuhannya, menyangkut penyaksian (musyahadah), pengawasan (muroqobah) dan pendekatan (muqorobah).
Melaksanakan puasa menjadi petanda dirinya menyaksikan eksistensi Tuhan yang diwujudkan dalam ketaatan pada perintahNya. Berpuasa membutuhkan sikap mental atau kesadaran bahwa dirinya selalu dilihat atau diawasi oleh Allah SWT.
Berpuasa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengendalian hawa nafsu saat berpuasa menjadikan manusia “dekat” denganNya. Adanya kesadaran relasi transendetal tersebut akan melahirkan ibadah puasa yang memuaskan ruh.
Puasa melahirkan kesadaran kebergantungan dan kelemahan bahkan ketiadaan seorang hamba di hadapan eksistensi Rabb-nya. Puasa semestinya menjadikan seorang hamba mengakui kefakiran pada Rabb-nya yang selaras dengan firman Allah SWT: “Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS. Fathir: 15).
Spiritualitas puasa adalah pengendalian hawa nafsu yang menekan munculnya perangai hati yang buruk seperti iri dengki dan hasad, tamak, serta serakah. Melalui puasa jiwa menjadi terbina untuk lebih bersabar, bersyukur, qonaah dan bijaksana.
Spiritualitas puasa juga berperan dalam membina empati terhadap sesama, memunculkan kepekaan terhadap kaum lemah maupun tertindas.
Puasa menjadi landasan pembentuk akhlaqul karimah dalam pergaulan dengan sesama makhluk Allah.
Kesempurnaan relasi transenden kepada sang Khaliq dan relasi kepada sesama makhluq menjadi tolok ukur tercapainya nilai, tujuan dan makna ibadah puasa yang menghantarkannya menjadi pribadi bertakwa (QS. Al Baqarah: 183). (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News