JOGJA—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY menyambut baik penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) DIY awal tahun ini. Penetapan tersebut bisa semakin mengukuhkan DIY sebagai wilayah yang istimewa, tidak hanya dari orang dan budayanya, namun juga alamnya.
Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Amir Syarifudin, mengatakan segala penerapan dan kegiatan lanjutan dari status KCAG perlu melibatkan masyarakat.
"Wajib hukumnya untuk keterlibatan masyarakat, sehingga masyarakat bisa berdaya. Jangan sampai di situ ada kegiatan, tapi masyarakat tidak dilibatkan," katanya.
Lantaran jumlah situs geologi dalam KCAG DIY terdapat 20 unit, maka pengembangannya bisa berbeda-beda. Masyarakat bisa menyesuaikan jenis situs dengan pola pengembangan yang paling cocok. Bisa dengan konsep wisata seperti Tebing Breksi dan Nglanggeran atau lainnya.
Amir Syarifudin
Pada prinsipnya, semua pengelolaan perlu selaras dengan pelestarian dan kebermanfaatan pada masyarakat. "Mari seluruh masyarakat menjaga potensi yang ada di DIY, yang sudah diperdakan. Ayo bareng-bareng menjaga itu, menambah kesejahteraan bagi warga," katanya.
Dari sisi peraturan, DPRD DIY sudah mengeluarkan Perda DIY Tentang Pengelolaan Geopark, Cagar Biosfer, dan Warisan Dunia Sumbu Filosofi. Peraturan tersebut bisa menjadi payung hukum untuk kebaikan bersama. Perkembangan ke depan, saat terdapat temuan baru terkait geologi dan sejenisnya, maka DPRD DIY akan meresponnya. Respon ini, kata Arif, termasuk bila dibutuhkan pembuatan peraturan baru.
Misalnya saat sedang berlangsung proyek strategis nasional, kemudian ditemukan gua yang berada di bawahnya, maka pembuatan peraturan bisa melindungi kekayaan alam yang ada di DIY. Contoh lainnya seperti pembangunan jalan nasional lintas Selatan, yang berdampak pada habitat beberapa satwa. Beberapa satwa yang kemudian kehilangan rumah kini banyak masuk ke permukiman.
"Sampai sekarang menjadi masalah di masyarakat, harus ada edukasi. Itu yang sebenarnya kami inginkan. Proyek nasional juga perlu diselaraskan dengan Perda DIY Tentang Pengelolaan Geopark, Cagar Biosfer, dan Warisan Dunia Sumbu Filosofi," kata Arif.
Ruang Edukasi
Pemahaman yang semakin komprehensif memungkinkan pengelolaan situs geologi semakin ke arah yang benar. Di Gumuk Pasir, Bantul, misalnya. Dahulu, Gumuk Pasir dianggap lahan kritis, sehingga perlu reboisasi dengan tanaman cemara udang. Sempat juga ada anggapan Gumuk Pasir sebagai lahan tidur, sehingga dalam prosesnya, dibuat tambak udang dan pertanian lainnya.
Namun justru pola tersebut kurang tepat. Gumuk Pasir harusnya bebas dari vegetasi non endemik. Justru tanaman dan bangunan berpotensi membuat Gumuk Pasir berkurang volumenya. Ada proses panjang, saat pasir dari Gunung Merapi sampai ke Gumuk Pasir di dekat Pantai Selatan.
Maka kelestarian alam, dari Utara sampai ke Selatan DIY perlu senantiasa lestari. Agar segala proses ini tetap seperti semula. "Kalau melihat suplai air yang dari Gunung Merapi, karena ulah kita juga, air tidak bisa masuk di Pantai Selatan, dan dampaknya terjadi pendangkalan. Tidak ada suplai pasir segala macamnya di Pantai Selatan," kata Arif.
Dahulu, ketinggian Gumuk Pasir bisa mencapai 30 hingga 40 meter. Kondisi ini bisa meminimalisir dampak dari bencana, salah satunya misal terjadi tsunami. Dari segala potensi kebaikan alam ini, Arif mengatakan, "Kita harus merawat dan mengedukasi seluruh lapisan masyarakat terkait situs geologi di DIY." (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News