“Tak… tak… tak…” Bunyi tumit sepatumu menapak di lantai jalan. Gema suaranya memantul pada gang sempit yang lebarnya setara tiga kali panjang lenganmu. Kamu terus berlari menyusuri gang itu. Semua tenaga kamu kerahkan untuk lepas dari situasi ini. Napasmu memburu, bersahutan dengan gema sepatumu, tetapi sosok di balik topeng badut itu bukannya menjauh, malah semakin mendekat.
Kamu tidak tahu siapa sosok di balik topeng badut itu. Apakah sosok di balik topeng itu seorang perempuan atau laki-laki, kamu tidak tahu pasti. Satu hal yang kamu tahu, jika tertangkap, kamu pasti mati.
***
“Sudah kubilang, kan! Jangan terus-terusan mengabarkan keberadaanmu. Lihat akibatnya!” katamu menasihati Jeanie. Saat itu kamu dan sahabatmu sedang berdebat di kantor polisi, setelah laporan tindak penguntitan terhadap sahabatmu tidak bisa diproses lebih lanjut karena anak itu belum cukup umur. Kejahatannya dianggap sebagai kenakalan remaja. Apalagi memang tidak ada undang-undang yang bisa menjerat pelaku penguntitan. Polisi pun melepaskannya. Namun anak itu terlanjur benci kepada kamu dan Jeanie. Ia mengancam akan membalas perbuatan kalian. Meski sejak saat itu, ia tidak pernah muncul lagi, kamu tetap khawatir ia memegang teguh ancamannya.
Awalnya Jeanie menolak untuk membawa urusan ini ke polisi. Namun, kamu memaksanya. Meski Jeanie berkata ia bisa menjaga diri, kamu takut jika penguntit itu melakukan lebih dari sekadar menguntit. Penguntit itu bernama Mata. Ia adalah salah satu dari delapan ratus ribu pengikut Jeanie di media sosial. Ternyata Mata tidak hanya mengikuti Jeanie di media sosial, ia mengikuti Jeanie ke mana pun. Ia berkata Jeanie adalah kekasihnya karena Jeanie selalu menyukai setiap komentarnya. Padahal Jeanie menyukai hampir semua komentar pengikutnya di setiap postingan miliknya. Setelah Jeanie menolak pernyataan cintanya, Mata bersumpah akan membunuh Jeanie dan siapa pun laki-laki yang menjadi kekasihnya kelak. Kamu ketakutan mendengar itu, tetapi Jeanie malah menanggapinya sebagai angin lalu. “Itu cuma omongan bocah,” kata Jeanie santai. Namun kamu tidak bisa santai. Lalu begitu sosok bertopeng ini menyerangmu, kamu berpikir: jangan-jangan yang mengejarmu adalah Mata. Jangan-jangan bocah itulah sosok Joker yang sedang dicari-cari polisi?
***
“Kamu tahu, sekarang banyak orang gila. Psikopat. Bagaimana kalau di antara para pengikutmu itu ada psikopat seperti Mata? Kamu hanya mempermudah mereka untuk membuntutimu. Kamu terlalu menarik perhatian!”
“Terima kasih,” balas Jeanie.
“Sialan, ini bukan pujian.”
“Aduh, maaf deh kalau begitu.”
Jeanie masih dengan gercapnya membalas setiap komentar dari penggemarnya. Ia baru saja mengunggah sebuah foto dirinya di sebuah kedai kopi yang memintanya mengendorse produk mereka.
“Kamu pernah dengar tentang Joker,” ujarmu memulai lagi. Joker adalah sosok bertopeng yang menyerang para selebgram seperti Jeanie. Banyak dugaan tentang siapa sosok di balik topeng itu: ada yang bilang sosok di balik topeng itu punya dendam kepada para selebgram; ada yang bilang sosok di balik topeng itu adalah psikopat yang sedang bersenang-senang, dan kebetulan saja selebgram adalah objek kesenangannya; ada juga yang bilang ini kasus ini melibatkan persaingan antarselebgram.
“Lihat, baru beberapa jam sudah seribu komentar!” ujar Jeanie memotong ceritamu.
“Kamu dengerin aku nggak?”
“Dengar,” balasnya. Lalu ia kembali membalasi pesan-pesan itu.
Ketika kamu hendak melanjutkan lagi ceritamu, Jeanie malah berkata: “Maaf, nanti kita sambung lagi. Aku ada kerjaan mendadak.” Lalu ia berdiri dan pamit pergi. Kamu menyumpahi agar Joker mendatanginya. Jeanie malah tertawa dan berkata, “Aku tidak sabar.” Kamu tidak habis pikir, bisa-bisanya ia menganggap enteng kabar itu. Kamu yakin kabar itu benar, dan keyakinanmu itu terbukti: kabar buruk itu memang benar, dan sekarang kabar buruk itu sedang mengejarmu!
***
Ketika itu kamu tengah berdiri sebelah tiang listrik di bawah lampu jalan. Kamu menunggu Febrik yang memintamu datang ke tempat ini. Namun Febrik tidak muncul juga, yang muncul malah seseorang bertopeng badut. Badut itu, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, sudah berada di seberang jalan tempatmu berdiri. Meski di tempat sekitarmu menunggu itu gelap, simpang empat tempatmu berdiri begitu terang. Kamu bisa melihat seseorang bertopeng badut dari kejauhan. Waktu kamu melihatnya, kamu pikir orang itu adalah Febrik. Ia mengenakan topeng badut demi kejutan yang dijanjikannya. Kamu tersenyum. Kamu melambaikan tangan pada sosok bertopeng itu, tetapi sosok bertopeng itu tidak menanggapi. Ia terus melangkah secara metodis ke arahmu. Begitu sosok bertopeng itu telah mencapai sekitar lima belas langkah dari tempatmu berdiri, ia mengeluarkan sebuah busur otomatis. Kamu kaget, Instingmu menangkap sinyal bahaya. Kamu refleks membuat gerakkan memutar dan memunggunginya. Ketika itulah sebuah anak panah melayang dan hampir mengenai lengan kananmu.
Sosok bertopeng itu mengejarmu dengan separuh berlari sambil terus menembakkan anak panah, dan entah mengapa, anak panah itu terus meleset. Rasa takut merangsang kakimu untuk berlari lebih cepat. Padahal saat itu kamu mengenakan sepatu bertumit setinggi lima belas senti dan rok mini yang membuatmu susah berlari.
Kamu memikirkan sebuah jalan keluar. Sebuah gang yang mungkin membuatmu bisa keluar dari bangkai kompleks pertokoan ini. Setelah gang yang panjang ini, kamu bisa menemukan jalan raya. Sekarang tidaklah terlalu malam, pikirmu, pasti ada orang yang akan lewat di jalan itu. Kamu pun berlari menuju ke arah jalan raya.
Kamu sempatkan diri menoleh ke belakang. Badut itu tidak ada di sana! Kamu sempat merasa lega dan menarik napas panjang, tetapi hanya sejenak, kurang dari sejenak, karena sosok mengerikan itu sudah muncul di mulut gang. Kamu kembali berlari ketika melihat badut itu. Kali ini tidak ada busur panah di tangannya; alih-alih busur, ia memegang sebuah palu. Badut itu kini tidak lagi berjalan, ia berlari mengejarmu.
Kamu membayangkan palu itu akan ia gunakan untuk memecahkan batok kepalamu. “Tolong!” teriakmu. Suaramu nyaris tidak keluar. Kamu mengulangi lagi teriakan di antara sengal-sengal napasmu. Teriakanmu lebih keras daripada tadi, namun tidak ada gunanya; tempat itu jauh dari mana pun. Tempat itu hanya kumpulan sisa bangunan yang telah lama kosong. Sisa-sisa toko yang tinggal tunggu waktu untuk dirubuhkan.
Jarak antara kamu dan si badut semakin dekat. Kamu panik. Kamu menangis. Gelaran air mata mengalir di kedua pipimu. Kamu menyesal. Kamu menyesali kebodohanmu. Kamu menyesali kebodohanmu yang mau saja menuruti pemintaan laki-laki yang belum lama kamu kenal. Bisa-bisanya kamu menurut saja ketika Febrik memintamu datang ke sebuah kompleks pertokoan yang rencananya tiga bulan lagi akan dirobohkan. Ia menjanjikan sebuah malam romantis yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup.
“Kamu tidak punya penyakit jantung, kan?” tanya Febrik. Ketika kamu menjawab tidak, ia berkata: “Syukurlah. Aku tidak ingin membawamu ke IGD karena serangan jantung.”
Saat itu apa yang dikatakan Febrik terdengar begitu romantis di telingamu. Kamu tidak menyangka kejutannya akan seperti ini.
***
Kamu berhenti dan melepas sepatu bertumit tinggi yang dari tadi membuatnya tidak bisa berlari dengan benar. Kamu pun berlari sambil menjinjing sepatumu. Itu membuatmu bisa berlari lebih cepat, namun karena kamu sempat berhenti, si pengejar jadi semakin dekat.
Kamu menoleh begitu telingamu menangkap bunyi langkah kaki di belakangmu. Badut itu benar-benar sudah dekat. Ia hanya tertinggal delapan langkah di belakangmu. Meski sudah melepas sepatu, kamu tidak bisa memperlebar jarak dengan si badut. Jarak itu terus menyempit. Napasmu sudah hampir habis. Dan saat itulah kakimu menginjak sesuatu yang tajam. Kamu tidak tahu apakah itu paku, pecahan kaca, atau kerikil. Kamu tidak peduli. Kamu tidak berhenti. Kamu terus berlari melupakan rasa sakitmu, tetapi itu tidak membuat jarak antara dirimu dan si badut menjauh, malah semakin dekat. Si badut ternyata bisa berlari cepat. Rupanya dari tadi ia hanya pura-pura. Lantas untuk apa?
Si badut menambah lagi kecepatan larinya. Kini jarak yang terbentang antara dirimu dan si badut hanya lima langkah; kamu tahu, kamu tidak mungkin bisa lolos dari situasi ini hanya dengan berlari. Tiba-tiba kamu berhenti dan berbalik cepat, melemparkan sepatumu hingga mengenai kepala si badut. Lalu kamu melompat ke arah si badut dan memukul kepala si badut dengan tumit sepatumu. Si badut terjatuh. Palu terlepas dari tangannya. Kamu dilema memilih apakah akan mengambil palu itu atau lari. Kamu memilih lari. Badut itu bangun, mengambil palu, dan berlari mengejarmu.
Kamu melihat sebuah gang di sebelah kiri, tetapi kamu tidak berbelok. Pikirmu, jika kamu masuk ke gang itu, kamu tidak tahu apa yang ada di sana; namun kamu tahu jika kamu terus lurus, kamu akan tiba di jalan raya.
Larimu semakin cepat saja. Kamu berpikir mungkin bisa selamat jika terus berlari seperti ini. Apalagi kamu telah melihat di ujung gang itu ada seseorang. Orang itu sedang berdiri membelakangimu. Kamu berteriak memanggilnya. Orang itu menoleh. Jantungmu seperti akan meloncat begitu mendapati sosok di mulut gang menggunakan topeng yang sama dengan sosok yang mengejarmu. Ada busur otomatis juga di tangannya. Kamu langsung balik badan, berlari ke arah kamu datang. Jauh di mulut gang, orang yang tadi mengejarmu sedang berlari ke arahmu. Kamu tidak memelankan langkah. Orang itu tampak terkejut dan memelankan langkahnya. Lalu tiba-tiba kamu berbelok. Kamu tidak tahu jalan ini akan membawamu ke mana. Kamu hanya terus berlari.
Kamu menemukan sebuah bangunan yang pintunya terbuka. Kamu berbelok dan masuk ke bangunan itu. Kamu menutup pintu untuk menghapus jejakmu. Kamu mendengar suara langkah kaki mendekat. Napasmu tertahan. Langkah kaki itu menjauh. Mereka sepertinya tidak berhenti. Kamu merasa beruntung karena masuk ke bangunan ini sebelum mereka tiba di tikungan, jadi mereka tidak melihatmu masuk.
***
Di tempat persembunyian itu kamu memikirkan apa yang akan kamu lakukan jika berhasil keluar selamat dari tempat ini. Kamu akan menghajar laki-laki bajingan itu karena tidak muncul. Namun, benarkah Febrik tidak muncul? Jangan-jangan sosok bertopeng tadi adalah Febrik. Kamu tidak berani untuk sekadar memikirkan kemungkinan itu.
Jika bukan Febrik, siapa yang ingin aku celaka?
Kamu memikirkan Mata. Jika ancaman bocah itu benar, mungkin sosok bertopeng badut itu adalah dirinya. Lalu siapa temannya yang satu lagi? Tampak betul semua ini direncanakan secara matang, dan kamu ragu bocah yang sepertinya keterbelakangan mental itu bisa menyusun rencana ini. Tidak bisa tidak kamu memikirkan Febrik. Hanya dirinya yang tahu kamu kemari. Lantas jika itu benar, kenapa Febrik ingin kamu mati? Kamu mencoba memikirkan jawabannya, namun sekeras apa pun kamu memikirkannya, kamu tidak menemukan jawabannya. Kemudian kamu teringat apa yang dikatakan Febrik.
“Lagi-lagi kamu menontonnya,” kata Febrik saat kamu menonton film dokumenter soal pembunuh berantai. “Berhentilah. Itu bikin kamu jadi paranoid.”
“Tidak. Ini cuma kebetulan. Aku sedang bosan, dan kebetulan ada acara ini.”
“Hahaha… sudah jangan pura-pura. Jeanie juga sering mengeluhkanmu yang percaya sama cerita-cerita tidak jelas itu. Awas kamu benar-benar didatangi mereka,” kata Febrik menunjuk televisi.
***
Kamu mendengar suara langkah kaki mendekat. Kamu berdebar setiap mendengar suara tapak kaki mereka.
“Sialan! Wanita ini keras kepala juga.”
“Kamu saja yang bodoh. Bisa-bisanya membiarkan dia lolos.”
“Kamu sendiri apa yang kamu lakukan, berdiri seperti orang dungu?”
“Aku jaga-jaga, memastikan tidak ada yang datang.”
Mereka terus saling menyalahkan. Kamu berusaha menangkap suara mereka, memastikan apakah kamu mengenalnya, tetapi kamu tidak bisa mendengar dengan baik. Mungkin karena mulut mereka tertutup topeng, suara mereka jadi tidak jelas. Kamu bahkan tidak tahu apakah mereka laki-laki atau perempuan.
Kamu mendengar suara mereka menjauh.
Kamu menunggu beberapa saat.
Sepuluh menit!
Dua puluh menit!
Tiga puluh menit!
Kamu masih menunggu sampai kamu yakin mereka sudah tidak ada di sana.
***
Kamu keluar, melangkah pelan-pelan setelah memastikan mereka tidak ada. Kamu melangkah sampai di pertigaan gang. Ketika kamu berbelok, kamu mendengar teriakan: Kejutan!
Kamu melompat saking terkejutnya. Kamu refleks berlari, namun seseorang di antara mereka berteriak: “Jangan lari! Ini aku, Febrik!”
Febrik membuka topengnya. Melihat itu kamu menghambur ke arahnya. Kamu mengamuk, memukul, dan mencakarnya. Lelaki itu malah tertawa. Dia menangkap kedua tanganmu dan menjelaskan bahwa semua ini hanya bercanda. Setelah deru adrenalin reda, kakimu langsung lemas. Otot-ototmu seperti akan lepas dari tubuhmu. Kemudian kamu menoleh ke belakangmu dan melihat sosok di belakangmu juga membuka topengnya.
Jeannie!
Pelipis Jeanie berdarah.
“Apa-apaan ini?” tanyamu marah-marah.
“Bukan apa-apa. Aku dan Jeannie ingin memberimu kejutan sekaligus pelajaran agar kamu tidak terus membahas….” Belum sempat Febrik menyelesaikan kata-katanya, sebuah anak panah menancap di dada kiri—tepat di jantungnya. Mata Febrik melotot menatap Jeanie sebelum tubuhnya rubuh seperti pohon tumbang.
Kamu menoleh ke belakang. Jeanie melempar busurnya lalu berkata, “Kejutan!” Bersama dengan itu palu menghantam kepalamu. (*)
Gunungsari, 2024
Aliurridha, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon. Novelnya berjudul “Teori Pernikahan Bahagia” akan terbit dalam waktu dekat oleh Falcon Publishing.