Balawu

7 hours ago 6

Program MEDAL Of Honda Klikpositif

Tubuhku terlempar keluar. Kepalaku membentur batu, pelipis robek, tulang rusuk patah, dan baju dipenuhi darah. Aku hanya bisa duduk di sebelah tubuhku. Tidak seperti para penumpang lain. Mereka berusaha untuk masuk kembali ke dalam tubuh-tubuh yang tergeletak itu. Beberapa di antaranya berhasil, tapi beberapa yang lain, tidak. Yang berhasil, justru malah membuat tubuhnya meronta kesakitan, menjerit tak tertahankan. Bagi yang tidak, wajah mereka terlihat sangat pucat dan mencemaskan. Barangkali, itulah wajah kematian.

***

Dengarkanlah baik-baik, aku akan bercerita kepadamu, mungkin cerita terakhirku sebelum aku benar-benar …. Ah, sudahlah! Jadi begini, sore itu telepon berdering. Terdengar suara tangis. Tangisan ini bukan seperti tangis seorang ibu yang merindukan anak yang sudah sekian lama tidak pulang. Tapi tangisan yang lain. Mendengar itu, darahku langsung berdesir dan jantungku seakan dipenuhi pasir. Begitu sesak.

Datuk, datukmu… hanya itu suara yang aku tangkap di sela-sela isak tangis.

Sontak kepalaku dipenuhi ingatan tentang datuk. Datuk yang tidak akan membiarkanku diganggu oleh siapapun. Kalaupun aku berbuat salah, misalnya berkelahi dengan teman sebaya, datuk akan menegurku, itu pun bukan dengan suara tinggi. Ia akan menasihatiku dengan berpantun-pantun. Meskipun aku tidak memahami maksudnya, tapi aku tahu bahwa jika sudah demikian, berarti diriku melakukan kesalahan. Ia juga sering menceritakan hal-hal seputar hantu-hantu, dan aku selalu tertawa mendengarkannya jika sudah mulai bercerita. Ia tak pernah marah dengan sikapku. Sebab dari sekian banyak cucunya, akulah yang paling disayang. Mungkin karena wajahku mirip dengan ayahnya, begitu yang aku tahu dari cerita tetangga-tetangga.

Tanpa pikir panjang, tanpa berkemas, aku pulang. Aku naik bus yang biasa aku tumpangi. Bus yang loketnya tepat di depan rumahku. Tapi lama sekali bus berangkat.

“Sebentar lagi, dua atau tiga penumpang lagi, langsung jalan itu terus jawaban supir sialan itu tiap kali aku bertanya. Sungguh makin sesak aku dibuatnya. Serasa ingin aku lepaskan tinju di wajahnya yang penuh bekas jerawat itu. Ditambah pula cuaca panas turut memperburuk suasana. Badanku penuh keringat, sedang pikiranku berkelebat di kampung. Aku perhatikan penumpang lain justru terlihat biasa saja. Manusia seperti apa mereka ini, terlalu menurut, tak bisa berontak, bahkan kepada supir sekalipun, bukankah perjalanan adalah hak penumpang? Aku mengumpat dalam hati.

Tak lama seorang perempuan tua kemudian naik. Perempuan itu duduk di deretan kursi yang aku tempati. Di jendela sebelah kiri. Sementara, kursi di sebelahku tetap kosong karena aku dengan sengaja meletakkan tas di atasnya. Dengan begitu, aku tak perlu repot-repot membuka pembicaraan dengannya atau penumpang lain yang duduk di sebelahkuhal yang paling sering aku lakukan apalagi dalam keadaan seperti sekarang. Tentu dirimu juga, bukan?

Ia kemudian menoleh ke arahku dan tersenyum. Kau tahu? Aku tak membalas dan memilih memalingkan wajah. Aku pikir perempuan tua itu mungkin akan pulang kampung juga sama sepertiku. Tentu dengan alasan yang berbeda. Tapi entahlah, siapa yang tahu tujuan seseorang, selain dirinya sendiri. Aku juga tidak akan peduli, ke mana tujuan penumpang bus ini. Apakah mereka ingin pergi ke Bukittinggi menemui seorang di sana untuk urusan yang besar atau kecil, bisnis atau urusan lainnya, mungkin juga mereka ingin ke Padang Panjang, mungkin juga mereka ingin menemui pacar, istri, anak, selingkuhan, sahabat, kerabat atau orang baru, mungkin juga sedang melarikan diri dari rumahnya, entahlah.

Tapi sekarang mereka semua tergeletak. Ada yang sudah diam saja terjepit di jendela, ada yang kejang di atas serpihan kaca, dan ada yang kepalanya belah. Semuanya mengenaskan. Aku tak habis pikir bagaimana bus malang ini bisa masuk jurang oleh supir sialan itu. Memang sudah seharusnya aku tinju dirinya sebelum berangkat tadi.

Belum mati,

Tandu!

Cepat sedikit!

Satu persatu tubuh-tubuh yang tergeletak seperti rimah-rimah nasi di jurang ini diikat pada tandu. Dievakuasi. Sementara tubuhku belum juga diangkat.

Tubuhku terlempar keluar. Kepalaku membentur batu, pelipis robek, tulang rusuk patah, dan baju dipenuhi darah. Aku hanya bisa duduk di sebelah tubuhku. Tidak seperti para penumpang lain. Mereka berusaha untuk masuk kembali ke dalam tubuh-tubuh yang tergeletak itu. Beberapa di antaranya berhasil, tapi beberapa yang lain, tidak. Yang berhasil, justru malah membuat tubuhnya meronta kesakitan, menjerit tak tertahankan. Bagi yang tidak, wajah mereka terlihat sangat pucat dan mencemaskan. Barangkali, itulah wajah kematian.

Aku hanya bisa menunggu. Menunggu diselamatkan atau menunggu kematian. Hanya persoalan waktu, bukan? Sementara suara ambulans terus meraung-raung, turut menambah dingin tubuh-tubuh yang penuh darah.

Lalu suatu aroma menyentak hidungku. Harum sekali. Serasa akrab sekali bagiku. Tapi aku tak tahu aroma apa, entah akar-akaran atau bunga-bungaan, yang pasti aku serasa tidak asing dengan aroma ini. Kepalaku berdenyut. Di ujung pandangan aku menangkap beberapa orang mendekatiku. Kemudian kabut melintas di pelupuk mataku. Angin menderu.

***

Pandanganku samar dan perlahan berubah jelas. Tampak sebuah perkampungan. Di tengah-tengah kampung terdapat sungai yang lebar. Airnya begitu jernih dan dipenuhi batu-batu berlumut. Tak ada sampah hingga permukaannya memantulkan bulir-bulir cahaya. Tak hanya itu, rumah-rumah nampak begitu mengkilat, berkilau-kilauan. Tersusun rapi dan teratur. Aku tak habis pikir jika perkampungan seperti ini ada juga.

“Yang lain sudah menunggu!” seseorang berucap kepadaku.

Kekagumanku terhenti dan tanganku ditarik masuk ke salah satu rumah. Rumah yang sangat besar penuh lampu kerlap-kerlip. Bahkan di kampungku entah kapan rumah sebesar ini akan dibangun. Orang-orang sangat ramai. Makanan begitu banyak terhidang. Sayup-sayup nyanyian terdengar. Serasa kukenali tapi aku tak dapat mengingat dimana pernah mendengarnya.

Dua orang kekanak langsung menyambutku. Mereka menggandeng tanganku kiri dan kanan. Kemudian aku dituntun berjalan menuju seseorang. Kau pasti terkejut siapa orangnya. Datuk. Iya, datukku. Kami pun bertatapan. Mataku beradu dengan cokelat bola matanya. Datuk tersenyum, dan giginya yang tinggal satu kelihatan. Aku tak kuasa menahan haru. Kemudian aroma harum itu kembali tercium. Kali ini lebih kuat.

Aku tak dapat menceritakan kepadamu bagaimana harumnya. Yang jelas, aku tak ingin hidung pesekku ini kehilangan aroma itu barang selayang saja. Tapi sialnya, itu hanya sebentar. Seseorang menutup hidungku. Aku tersentak.

Lepaskan! aku membentak. Tapi dia malah makin keras menekan hidungku bahkan menyeretku menjauh dari datuk. Wajah datuk nampak berubah merah, telinganya bergerak-gerak, itu tanda bahwa ia sudah marah, aku tahu betul.

Aku pun jadi begitu sesak, susah bernapas dan kepalaku berdenyut. Pandanganku jadi kacau. Di mataku samar terlihat rumah dengan kilauan lampu-lampu berganti batang-batang kayu dan akar-akar yang merambat. Kemudian datuk terlihat memiliki taring dengan mata merah dan kemudian orang-orang seisi rumah nampak memiliki tubuh penuh luka-luka. Aku begitu takut melihatnya. Aku yakin kau akan lebih takut daripadaku.

Lalu dengan sekuat tenaga aku kibaskan tangan itu. Terlepas. Dengan sekejap aroma itu kembali tercium. Aku hirup dalam-dalam seakan aku tak akan pernah menghirupnya lagi. Untungnya pemandangan yang menyeramkan tadi tidak benar. Datuk masih seperti itu, tidak bertaring. Kau tahu betapa leganya aku ketika yang aku lihat tadi tidaklah nyata.

Tapi sebentar, hidungku kembali ditutup lagi, kali ini lebih kuat. Kepalaku berdenyut lebih kuat, rasa dibenturkan ke dinding, dan pandanganku kacau lagi seperti televisi lama yang antenanya digasak angin. Aku kembali melihat pemandangan sebelumnya, batang-batang kayu, datuk bertaring dan mata merah serta orang-orang dengan tubuh penuh luka. Kali ini lebih jelas. Lebih menakutkan.

“Jangan kau hirup lagi aroma itu! Menurut saja! teriaknya dipangkal telingaku.

Aku tak tahu dia siapa tapi malah seenaknya berteriak dan membuat telingaku pekak. Aku coba melewan dan jika terlepas akan kulesatkan tinju kepadanya. Namun sebelum sempat aku berontak, ia menarikku menjauh, dengan lebih tergesa. Nampak datuk dan orang-orang seisi rumah mengejar. Mungkin mereka ingin membebaskanku dan mungkin juga akan memecahkan kepala orang yang menutup hidungku ini. Tapi aneh, tubuh mereka nampak tak ada yang utuh, termasuk datuk. Ada yang tak punya tangan kanan, kaki kiri, robek di perut, cabik di pipi, kepala yang menganga. Apa yang terjadi, aku membatin.

“Cepat tutup hidungmu sendiri

“Ha

Dia pun melepaskan tangannya dari hidungku. Kembali kepalaku berdenyut kuat, aroma itu tercium, pandanganku berubah, datuk normal saja, begitu juga orang-orang seisi rumah. Ini sungguh aneh. Maka aku coba memastikan dengan menutup hidungku sendiri. Dan ya, kau tahu apa yang terjadi? Pemandangannya berubah, kembali menakutkan. Jika kau berada di posisiku, apa yang akan kau percayai?

Dalam kebingungan, bajuku dijujut orang itu. Ketika aku berpaling, alangkah terkejutnya diriku menyadari bahwa dia adalah perempuan tua tadi. Perempuan tua yang tidak aku balas senyumnya, yang aku palingkan wajahku tadi. Aku sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Tak tahu mana yang harus dipercayai.

Lari!

Entah kekuatan atau kepercayaan dari mana, aku malah memilih mengikutinya. Berlari. Sementara datuk dan seisi rumah yang menakutkan mengejar kami.

Kau bisa bayangkan betapa melelahkannya berlari sambil menutup hidung. Larimu tak akan bisa secepat biasanya. Sesekali aku menoleh juga ke belakang, terlihat jumlah mereka bertambah banyak. Ukuran tubuh mereka tak sama, ada yang besar ada yang kecil, ada yang kurus ada yang tinggi. Tapi setiap dari mereka pasti memiliki luka. Mereka juga sudah tak sepenuhnya berlari, ada yang sudah melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Ada yang berayun-ayun dari satu dahan ke dahan lain. Itu membuatku tak berani menoleh ke belakang lagi. Aku jadi teringat cerita datuk.

Inikah Balawu itu?

Perempuan tua itu hanya menoleh ke arahku. Tak ada jawaban. Tapi dari sorot matanya seakan mengiyakan. Oh, datuk! Betapa bersalahnya aku ketika tak mempercayai ceritamu dulu. Dulu aku selalu mengangap apa yang diceritakan datuk hanya karangan saja. Hanya untuk menakut-nakutiku. Bahkan lebih parahnya, aku tertawa ketika datuk bercerita.

Balawu seperti kata datuk, memang benar bisa menipu mata lewat aroma. Sekarang aku sedang mengalaminya. Kau harus percaya! Jika ada kecelakaan itulah pesta bagi mereka. Mereka akan membawa jiwa orang-orang yang mengalami kecelakaan untuk dikelabui. Agar mereka dapat menghisap bagian tubuh yang utuh untuk dijadikan pengganti bagian tubuh mereka yang rusak. Bagi mereka yang tubuhnya sudah utuh maka mereka dapat bersentuhan dengan manusia. Kemudian meraka akan muncul pada sore-sore hari untuk merayu dan melarikan anak-anak gadis untuk dikawini agar mereka dapat abadi.

“Itu

Perempuan tua itu menunjuk kabut. Dengan terangah-engah aku terus berlari. Ketika memasuki kabut, terasa seperti ada yang bergesekan denganku. Tubuhku terasa panas dan begitu perih seperti luka yang ditetesi asam. Akh

***

Aku terhempas ke atas tubuhku. Aku merasa lemas dan lelah sekali. Sudut mataku melihat perempuan tua itu. Ia berjalan menjauh dan beberapa penyelamat mendekat ke arah tubuhku. Pandanganku kabur dan perlahan berubah gelap.*

Payakumbuh, 2024

Roby Satria, lahir di Payakumbuh Februari 1995. Saat ini menetap di Padang. Dapat dijumpai melalui akun instagram @satria_roby

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news