adiluhung Pertiwi
dipunparingi Gusti
datan kalimengan
namung nunggak semi
ngayahi abdi
Deru kopata terdengar saat sopir mulai menancap pedal gas, hujan belum reda ketika angkot mulai meninggalkan kawasan terminal. Hiruk pikuk lalu-lalang orang-orang itu mulai surut di telinga, berganti suara rintik gerimis yang mengenai jendela. Baru beberapa meter beranjak dari terminal, sopir telah menepikan angkotnya di perempatan jalan; lima pelajar SMA terlihat berlari dari sudut belokan gang.
Yang kemudian menjadi perhatian, adalah seorang lelaki tua berblangkon nan turut di belakang mereka. Kursi penumpang penuh, sopir menawarkannya menunggu angkutan berikutnya saja. Akan tetapi lelaki dengan kemeja batik lusuh itu enggan. Sembari tersenyum ramah, ia meminta pada Pak Sopir; telah ditunggu cucu katanya. Kami—aku dan penumpang lain—mencoba merapatkan posisi duduk, mengakhiri dialog sopir dan lelaki tua dengan menyisakan bangku di ujung pintu. Akhirnya, pria tua menghadap langsung ke luar, memungkinkan tubuhnya terkena tempias hujan.
Unik, ada sebuah container box yang dibawa turut bersamanya. Pandanganku beralih pada kotak berbahan kayu yang dicat merah putih, sedang badannya terukir “Loman Sembada” sebagaimana ditulis menggunakan aksara Jawa.
Ada hal magis dari kotak yang dipelisir sobekan jarik Parangkusumo. Ada sekelebat potensial tak kasat mata yang mengubah riuh rendah kendaraan menjadi serunai gemerisik rumpun padi dan ilalang; ada semerbak angu lain terhidu; mendatangkan figur akrab nan lugu. Di muka pintu, seorang wanita berkerudung tersenyum padaku.
Dulu, sebelum seorang pengusaha secara besar-besaran membeli tanah kampung, di ujung desa dekat sawah warga, berdiri sebuah rumah bata sederhana. Halamannya ditanami rimpang obat-obatan, terna, juga perdu yang dirawat sedemikian rupa.
“Kemangi itu lebat bulan depan, Nok. Tapi, jangan dipelototi lama-lama begitu, isin urip mengko.” Seruan itu hadir karena perbuatanku yang nakal memetik helai-helai pupus kemangi. Beliau Bu Guru, seorang wanita tua sederhana yang ditinggal merantau anaknya, yang selalu menganggapku bagian dari keluarga sederhananya.
Beberapa minggu setelah itu, aku dijamu nasi hangat dengan lauk ayam ingkung, tak lupa berhelai daun kemangi sebagai lalapan. Pelengkapnya, sayur bobor waloh jipang, adapun sambal yang persis dihitung ganjil jumlah cabainya. “Harusnya nasi ini dikarunya sama santan, nanti jadi nasi wudhuk. Tapi aku sudah lama tidak nylumbat kambil. Jadi, ini dulu ora pa-pa, tep sedep insyaAllah.
“Ingkung dari dua tembung. Eling lan nyekungkung, Nok. Ayam ingkung dibentuk seperti sedang bersujud saat shalat. Eling, ingat untuk untuk bersujud kepada Allah dan ingat mati. Nyekungkung, tak bisa beramal lagi ketika telah mati. Lantas ngundhuh, memanen dari apa yang dilakukan saat hidup,” wedharan Bu Guru yang masih terangkap dalam selubung otakku. Menemani hidangan ayam ingkung, hari itu Bu Guru membawakan cerita autentik dari kitab karya Ibnu Tagribidi. Sembada, ada koherensi antara Sriwijaya dengan Dinasti Umayyah yang baru aku tahu hari itu. Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman, yang sudah dikenal oleh para penulis Arab dan Persia sebagai Surbuza, Sribuza, atau Sarirah telah mengirim surat kedua kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 718 setelah surat pertamanya dikirim kepada khalifah Muawwiyah.
“… Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku tentang Islam. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk mengajarkan kepadaku ajaran Islam, Al-Qur’an, dan segala hukum-hukumnya…. ” kutip Bu Guru dari surat itu.
Pekarangan rumah Bu Guru diramaikan rumput jepang, luas halamannya melebihi rumah bata berteduh dahan pohon ketapang biola. Setiap kali Mamak mengizinkanku menyambangi kediaman Bu Guru, aku akan dipersilakan duduk di atas tikar, sedang di depanku telah dipersiapkan pagelaran sederhana wayang kertas. Yang selalu kuingat adalah cerita Punakawan; Bu Guru membawa kisah lucu Semar dan anak-anaknya.
“Gareng itu tangannya cacat; ceko. Itu menunjukkan bahwa dia tidak punya hasrat untuk mengambil yang bukan haknya. Gareng itu kakinya pincang, itu menunjukkan dalam menjalani hidup, Gareng sangat berhati-hati. Gareng itu, Nok …” Bu Guru menjeda bicaranya saat menunjuk mata Gareng, “… matanya juling. Itu menyimbolkan mata yang bisa menerawang seantero jagat,” lanjutnya kemudian.
Lantas, Bu Guru menambahkan pula Semar. Adapun kata Bu Guru, kepala ayah Punakawan yang mendongak itu memiliki makna tersendiri. Pandangan Semar yang menghadap ke atas, berarti kehidupan manusia harus selalu mengingat Sang Kuasa. Kain yang dipakai Semar sebagai baju adalah kain Parangkusumorojo, menjadi perwujudan agar memayu hayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Pernah suatu kali, Ibu Guru mengganti jadwal pagelaran menjadi kursus batik. Ibu Guru mengenalkanku Watertorn, motif epik dari kota kelahiranku. Disambi menoreh malam dari gondorukem, Bu Guru menceritakan pula jejak para pahlawan yang pernah menapak di Magelang. Terdapat getir saat licik koloni beliau sampaikan. Perang Jawa, jihad fii sabililah seorang pangeran yang beberapa kali Bu Guru sisipkan.
Mengiringi kisah Diponegoro, akan mengudara pula seutas sajak permai; kusebut syairnya: Puisi Bumi. Sembada. Dalam diksi-diksi sederhana, terangklum cinta dan syukurnya untuk semua hal yang Bu Guru terima di alam fana. Dalam puisi bumi, aku seolah mendapati nadi Pertiwi; berdetak –tak berjarak. Seiring malam panas yang menyerap pada jarik, aku bertemu pelik.
bentala
jagat fana yang
dijadikan perantara
dalamnya, dan
di antara;
kutemukan indah tak terkira
“Nok, yang namanya wong enom iku harus tahu ke mana arah negeri ini dibawa pergi. Jaman saiki, semua globalisasi, mudah sekali hal-hal baru menginvasi. Asing awalnya, melebur lama-lama, menyingsingkan apa yang seharusnya dijaga,” petuah Bu Guru hari itu. Aku tidak menjawab apa-apa, karena aku belum paham betul maksudnya–kendati terdengar indah seperti ngendika-ngendika Bu Guru biasanya.
Duduk di pelataran rumah bata, menghentikan polanya di bagian bebungaan, Bu Guru memberikan sebundel tumpukan kertas untukku. “Di jagat fana, tiadalah yang amerta. Nok, kita ini sebatas hamba, harus selalu ingat sangkan paraning dumadi, asal dari tujuan manusia di bumi. Jika sudah tidak sampeyan jumpai lagi aku di sini, maka temui aku dalam aksara yang abadi; di setiap tulisan yang utuh, di setiap masa sampeyan tumbuh.
“Nusantara kaya. Sejak praaksara, hingga elok Nusantara tak lagi dapat dibahasa. Dalam babad dan kakawin lama, dalam prosa wong Tionghoa, atau hanya sebatas goresan-goresan di mooi indie. Nok, kapan Indonesia tidak jelita?” ucap Bu Guru sembari membenarkan kerudungnya yang tersingkap.
Kertas-kertas itu mengejawantah buku magis nan indah tak terperi. Di dalamnya, tertuang prosa, falsafah orang Jawa, historiografi Islam Indonesia, pun jejak-jejak peradaban Nusantara. Halaman pertama dibuka dengan kalimat tasmiah. Sedang sebelum tahmid di muka terakhir, ada kutipan yang tak akan pernah aku lupakan.
Nunggak semi. Nunggak berarti kukuh memijak peninggalan lalu. Semi bermakna terus tumbuh, berkembang, dan membaru. Semua elok pertiwi ialah anugerah-Nya. Jangan, jangan dihilangkan, jangan dicampakkan, jangan dilupakan. Tetaplah mengabdi, migunani tumraping Nagari.
Sembada. Ada beribu hal baru saat aku bersama Bu Guru. Beliau hanya seorang wanita tua sederhana, lugu, juga berilmu. Lewat kata, diperantarakan bahasa, Bu Guru menyatakan cinta akan ayat-ayat kauniyah Sang Kuasa.
Bentala, jagat fana yang dijadikan perantara
dalamnya, dan di antara; kutemukan indah tak terkira
indah kutemudi situ
di setiap waktu
dari permainya dirimu
“Mbak, badhe mandhap pundi?” seruan seseorang memecah lamunanku. Ada tiga penumpang tersisa, tanpa sesosok pria tua; kopata baru saja melintasi jalan Palbapang. Ada selang waktu lama sebelum aku menjawab tujuan pemberhentianku.
Hujan masih tersisa di penghujung perbatasan Mungkid—Muntilan saat Kopata mulai menepi di seberang jalan taman Bambu Runcing. Aroma petrikor masih menginvasi indra saat aku turun, membayar sopir dan bercakap singkat sesaat.
Aku melangkah, beranjak menuju jalan gang bekas jalur kereta api. Rumah-rumah pengrajin batu ramai berjajar di sepanjang jalan, terasa sedikit berbeda dari beberapa tahun silam. Aku berhenti sejenak tepat di jembatan kali Pabelan, merangkai konfigurasi indah yang dihadirkan dengan cara nan jelita pula. Gerimis reda, menyisakan basah di dedaunan pohon, menanggalkan lembap di jalan berlumut. Aku tiba di sarean, mencari nisan dengan nama yang sangat kukenal.
Aku tidak bersamanya saat kabar Bu Guru berpulang telah menguar, selang dua minggu setelah buku magis itu diserahkan padaku. Yang pasti kuingat hanya Mamak—dengan muka merah menahan tangis— mencoba mengatakan padaku bahwa Bu Guru sudah dimakamkan. Yang bisa kuingat pula, tubuhku nan tengah bersimpuh, memandang nisan tanpa tahu harus melakukan apa.
Pulang, kutafsiri kata itu sebagai sekat waktu aku dan Bu Guru bertemu. Ketika aku juga pulang, ketika kita dipertemukan—kata Mamak dulu, Bu Guru sedang di alam barzakh menanti doa-doa kami.
Setibanya di sana, aku mencabuti rumput liar di sekitar makamnya, merasakan pula aroma tanah basah selepas hujan. Sembada, Bu Guru telah di haribaan, telah menyatu dengan tanah airnya. Sembada, semua yang telah Allah gariskan adalah sempurna. Bu Guru adalah perantara Sang Kuasa memberi tahu, menghendakiku menghimpun ilmu; pun merangkum cara bagaimana mencintai harta Negeri dengan selaiknya. Satu potensial kembali lahir, datang dengan merdu seirama sajak Puisi Bumi yang hadir.
Bentala, jagat fana yang dijadikan perantara
dalamnya, dan di antara;
kutemukan indah tak terkira
di antara fana; di muka bentala,
dalam bawana: Nusantara. []
Panggil saja Dam, pada sebuah tanggal di tahun 2008, ia lahir di Magelang. Hobinya membaca dan bertukar cerita, masih menjadi pelajar aktif SMA swasta di Kabupaten Magelang.