JOGJA—Di tengah derasnya arus produksi budaya pop dan festival yang berfokus pada hiburan, Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) hadir dengan visi yang berbeda. Memasuki tahun ketiga penyelenggaraannya, festival ini bukan sekadar selebrasi sinema, melainkan sebuah undangan untuk berpikir ulang: tentang warisan, ingatan kolektif, dan sejarah.
BACA JUGA: Tak Ada Tim Inti dan Cadangan di PSIM Jogja
Mengusung tema “Film sebagai Ruang Kritik dan Negosiasi Budaya”, KHFF 2025 meletakkan warisan budaya bukan hanya sebagai objek mutlak yang harus selalu dilestarikan, tetapi juga sebagai medan tafsir yang bisa—dan seharusnya selalu bisa—dipertanyakan.
Festival ini berlangsung pada 7–9 Agustus 2025, berpusat di Kompleks SMA Negeri 3 Yogyakarta, jantung kawasan cagar budaya Kotabaru. Seluruh program dalam festival ini gratis dan terbuka untuk publik.
“Warisan budaya bukan sesuatu yang kaku, bukan hanya untuk dikenang. Ia harus digugat, diuji ulang, bahkan diperbarui. Film dalam konteks ini bisa menjadi lensa kritis—untuk membaca ulang masa lalu, dan sekaligus menegosiasikan masa depan, ” ujar Siska Raharja, Direktur Festival KHFF 2025.
Festival ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebagai bagian dari upaya strategis membangun Kotabaru sebagai simpul budaya yang tidak hanya berakar pada sejarah, tapi juga relevan dengan pertanyaan zaman kini.
“KHFF menjadi ruang penting yang mempertemukan warisan budaya dengan generasi muda. Ia bukan hanya tontonan, tapi pengalaman bersama untuk merayakan keberagaman dan merefleksikan ulang apa arti kebudayaan itu sendiri hari ini,” kata Yetti Martanti, S.Sos, MM, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Antusiasme Submisi, Ketatnya Kurasi Tahun ini, KHFF menerima 158 submisi film dari berbagai daerah di Indonesia dan sejumlah negara.
Dari jumlah tersebut, 22 film hasil seleksi submisi terpilih untuk ditayangkan dalam program kompetisi. Selain itu terdapat 8 film hasil kurasi untuk ditayangkan pada program non-kompetisi. “Kami tidak hanya mencari film yang estetis, tapi juga yang berani membuka ruang tafsir baru terhadap warisan budaya—entah sebagai subjek kritik, atau sebagai cara berpikir dalam melihat dunia,” tutur Suluh Pamuji, Kurator Festival KHFF 2025.
Menjelajah Program Unggulan KHFF 2025
KHFF 2025 terdiri dari empat rumpun program utama: kompetisi, non-kompetisi, non-pemutaran,
dan fringe. Dalam program kompetisi, festival menghadirkan empat penghargaan tematik:
● Mahaditya Award, untuk film independen yang menyoal warisan budaya secara kritis;
● Purwaseswa Award, untuk karya pelajar yang mengangkat isu kebudayaan lokal;
● Karyanagri Award, untuk film produksi pemerintah pusat bertema ekspresi budaya nasional;
● dan Sahasrakarya Award, bagi film dukungan pemerintah daerah yang merepresentasikan sudut pandang lokalitas.Program non-kompetisi menyajikan dua fokus utama:
● Indonesian Film Heritage, dengan pemutaran dua karya penting: Turang (1957) karya Bachtiar Siagian yang baru ditemukan, dan Gowok (2025), film kontemporer karya Hanung Bramantyo tentang tubuh dan tradisi.
● International Film Heritage, yang tahun ini menghadirkan kolaborasi dengan Save Myanmar Film Archive dan salah satu kurator dari Asia Tenggara.
Pada rumpun program non-pemutaran, tiga sesi Public Lecture menjadi sorotan:
1. Merebut Hak Atas Ingatan: Film, Arsip, dan Solidaritas Asia Tenggara, bersama Thaiddhi (Myanmar);
2. Membaca Turang, Mewariskan Ulang: Jejak Semangat Asia-Afrika dalam Sinema Indonesia, bersama Wildan Sena Utama & Dyna Herlina Suwarto;
3. Suara Layar Indonesia: Mendengarkan Warisan Sinema dari Rupa dan Suara, sesi lintas arsip, musik, dan bunyi film bersama Erie Setiawan, Andika Wahyu, dan Ahmad Mahendra.
Bersama Rimbun Project, KHFF menghadirkan workshop animasi dan rotoscope bertajuk “Tracing the Heritage” yang terbuka untuk publik. Workshop tersebut mengajak publik mewarnai bingkai-bingkai gerak tari yang dicetak secara manual. Hasilnya akan dirangkai dan dialihmediakan menjadi karya animasi kolektif. Program ini merayakan kolaborasi lintas media seni dan membuka ruang partisipasi kreatif dalam merespon warisan budaya visual secara hidup dan menyenangkan.
Program Fringe: Pasar, Layar, dan Arsip Bunyi
Tak hanya ruang akademik dan sinematik, KHFF juga menghadirkan program-program komunitas
yang membumi:
● Layar Kobar, layar tancap yang dilaksanakan pada malam hari di kawasan SMAN 3 Yogyakarta (Padmanaba);
● Pasar Kobar, kolaborasi jajanan tempo dulu dan suasana pasar malam, dengan dukungan Gojek sebagai mitra transportasi dan pesan-antar;
● serta Catatan Sinema #2: Suara Layar Indonesia, hasil kerja sama dengan Lokananta yang menampilkan lanskap bunyi, dialog, dan ilustrasi musik dari sejarah sinema Indonesia.
Sejak 2023, Kotabaru Heritage Film Festival telah tumbuh sebagai ruang yang menyatukan film, arsip, komunitas, dan ingatan kolektif dalam satu ekosistem budaya yang reflektif, kritis, dan dinamis. Di tengah kerinduan atas festival yang benar-benar menyentuh akar dan pertanyaan zaman, KHFF 2025 tampaknya menjadi ruang yang layak ditunggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News