Penampilan dalam Ndang Tak Gong 2025 di TBY, Selasa (29/7). Harian Jogja - Stefani Yulindriani
JOGJA—Seni karawitan yang merupakan seni tradisional disajikan dalam Ndang Tak Gong 2025 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Selasa (29/7) malam.
Komposer Ndang Tak Gong 2025, Agung Widanta, yang juga merupakan penampil dalam gelaran tersebut mengatakan gelaran seni karawitan tersebut menampilkan karya musikal yang kompleks yang dibalut dengan narasi personal yang kuat.
Ia memadukan unsur karawitan dengan genre musik modern dan eksplorasi sinematik yang menciptakan pengalaman pertunjukan yang segar dan menyentuh.
Dalam mempersiapkan gelaran tersebut, Agung mengaku tantangan terbesar yang dihadapi yaitu menyatukan para pemain musik (player) yang memiliki jadwal berbeda-beda. “Yang susah itu ngumpulin teman-teman player karena jadwal mereka padat. Tapi semangatnya luar biasa,” katanya.
Agung menjelaskan komposisi musik yang ditampilkan malam itu merupakan hasil eksplorasi berbagai genre, dengan banyak inspirasi datang dari soundtrack film. “Saya terinspirasi dari musik-musik film. Tapi selebihnya lebih ke eksplorasi pribadi. Tes sampai sejauh mana sih musik saya bisa berkembang,” ujarnya.
Dia menambahkan karya yang dibawakan dalam gelaran malam itu juga memuat refleksi mendalam atas pengalaman pribadinya. Dia mengisahkan pertunjukan tersebut lahir dari kegelisahan dan perenungannya sebagai seorang ayah muda. “Ini kisah saya. Dari usia 33 tahun punya anak, ternyata muncul banyak hal yang sebelumnya saya pikirkan tentang ayah saya, dan sekarang saya rasakan sebagai ayah,” ujarnya.
Dalam penampilannya, Agung melibatkan sejumlah musisi muda, bahkan anak-anak kecil, yang dianggap sebagai representasi dirinya. Dia pun berharap agar semakin banyak generasi muda yang berkarya dalam seni karawitan di masa mendatang.
BACA JUGA: Ekstrak Daun Pegagan Jadi Suplemen Pendamping Pengobatan TB
Kesabaran dan Keselarasan
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menyampaikan karawitan merupakan seni yang sarat dengan nilai dan filosofi yang mendalam. Menurutnya, melalui seni karawitan, masyarakat dapat belajar tentang kesabaran, keselarasan, dan keyakinan. “Setiap nada dan gending dalam karawitan merupakan perwujudan dari harmoni, bukan tentang siapa yang paling keras, tetapi bagaimana setiap suara berpadu membentuk keharmonisan,” katanya.
Dian menuturkan pengakuan UNESCO terhadap gamelan sebagai warisan budaya takbenda dunia menjadi penguat nilai karawitan di tingkat global. Karena itu menurutnya pengembangan karawitan menjadi bentuk apresiasi terhadap kekayaan budaya bangsa yang tidak boleh stagnan, namun terus dikembangkan agar tetap relevan dalam berbagai zaman.
Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Purwiati, menuturkan kegiatan tersebut sejalan dengan fungsi TBY sebagai ruang laboratorium seni, pengembangan, dan perlindungan kebudayaan di DIY. Menurutnya, karawitan dipilih sebagai salah satu fokus pengembangan karena cabang seni tersebut memiliki akar kuat di Jogja yang dikenal sebagai barometer seni pertunjukan. “TBY membuka ruang seluas-luasnya bagi seniman untuk menampilkan karya yang lintas batas, baik tradisi, kontemporer, bahkan dikolaborasikan dengan bentuk pertunjukan lain seperti orkestra,” katanya.
Menurutnya, berbeda dengan tahun lalu, tahun ini pertunjungan seni karawitan tersebut hanya digelar dengan menampilkan satu komposer. Meski hanya satu, menurutnya pertunjukan tersebut merupakan hasil olah pikir terbaik dari seniman yang dikurasi. Dia menilai kolaborasi antara audio dan visual menjadikan karawitan tidak hanya layak didengar, tetapi juga layak ditonton sebagai pertunjukan penuh makna.
Dia menambahkan gelaran tersebut juga menunjukkan seni karawitan merupakan seni tradisi yang tetap hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Sementara salah satu narasumber sekaligus penggiat seni karawitan, Anom Suneko menuturkan pertunjukan tersebut merupakan bagian dari program rutin tahunan TBY yang untuk menghadirkan kolaborasi antara seniman Jogja. “Konsep awal dari kegiatan ini adalah bagaimana menjadikan seni karawitan tidak sekadar didengar, tetapi juga menarik untuk ditonton. Maka dikemaslah sebagai seni pertunjukan,” jelasnya.
Dia menambahkan dalam beberapa tahun terakhir, pertunjukan tersebut selalu menghadirkan beragam inovasi, mulai dari kolaborasi gamelan dengan musik rakyat, marching band, orkestra, hingga dangdut. Tahun ini, karya Agung Widana dinilai lebih progresif karena menyentuh sisi filosofis dan pengalaman pribadi sang komposer, termasuk bagaimana Agung memadukan unsur gamelan dengan teknologi musik digital. “Pemaknaan karya Mas Agung kali ini menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai seniman karawitan yang juga menjajaki dunia digital. Ini menjadi satu tantangan tersendiri karena hanya satu komposer yang ditampilkan, sehingga penonton tidak punya banyak pilihan gaya,” katanya. (Advetorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News