Penggunaan AI: Selain Menguntungkan, Ternyata Berdampak ke Lingkungan

3 hours ago 2

Harianjogja.com, JOGJA—Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dewasa ini semakin sering dimanfaatkan. Penggunaan AI memang membawa kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Membantu merampungkan tugas rumah tangga hingga memudahkan berbagai sektor industri. Sehingga keberadaan AI semakin tidak terpisahkan dengan aktivitas manusia.

Meski demikian, dibalik kemudahan yang diberikan ada dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Berdasarkan artikel dari United Nations Environment Programme (UNEP) berjudul 'AI has an environmental problem. Here’s what the world can do about that' dijelaskan bahwa AI tidak hanya berfungsi untuk mempermudah kebutuhan pribadi.

Keberadaan AI juga dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi penting seperti pemetaan lokasi pengerukan pasir ilegal, mendeteksi emisi metana dari gas rumah kaca, mendukung penelitian, dan pengambilan keputusan dalam pelestarian lingkungan. Sehingga keberadaan AI patut diapresiasi.

Di sisi lain infrastruktur yang diperlukan untuk mengoperasikan AI seperti pusat data mengkonsumsi energi dalam jumlah besar. Menghasilkan emisi karbon, memerlukan air untuk pendinginan, hingga bergantung pada mineral langka yang ditambang dengan cara yang tidak berkelanjutan.

BACA JUGA: Pemerintah Siapkan Skema Impor BBM Satu Pintu Pertamina

Setidaknya ada tiga kekurangan AI yang menjadikannya tidak ramah pada lingkungan. Pertama, menghasilkan limbah elektronik. Banyak bahan baku yang dibutuhkan oleh pusat data dalam mengoperasikan AI. Contohnya, komputer seberat 2 kg bisa mengkonsumsi hingga 800 kg bahan baku dalam proses produksinya.

Penggunaan AI yang terus meningkat menyebabkan perangkat keras cenderung lebih cepat usang dan perlu diganti. Sehingga memberikan kontribusi pada peningkatan volume limbah elektronik secara signifikan. Komponen mikrocip pada AI umumnya terbuat dari material langka yang berasal dari inti bumi. Beberapa zat berbahaya yang dihasilkan dari limbah elektronik ini seperti merkuri dan timbal bisa mencemari tanah dan air jika tidak dikelola dengan baik.

Kedua, konsumsi air dalam jumlah besar. Ini menjadi salah satu ancaman serius karena beberapa wilayah di dunia sudah mengalami krisis air. Dibutuhkan air dalam jumlah besar oleh pusat data AI untuk keperluan konstruksi dan operasional. Khususnya mendinginkan komponen listrik yang digunakan. Secara global diperkirakan konsumsi air untuk infrastruktur AI setara dengan enam kali jumlah konsumsi air dari 6 juta penduduk Denmark.

Ketiga, AI juga punya jejak karbon yang besar karena konsumsi energinya tinggi. Masih banyak perangkat elektronik di pusat data AI yang mengandalkan energi kotor dari fosil. Sehingga menghasilkan emisi karbon yang berkontribusi pada efek rumah kaca dan perubahan iklim global.

Dibandingkan pencarian di google, beberapa platform AI seperti Chat GPT dan asisten virtual AI lainnya dilaporkan mengkonsumsi listrik hingga 10 kali lebih banyak. Sementara di Irlandia pusat data AI diperkirakan akan menyumbang hingga 35 persen dari total konsumsi energi nasional pada 2026.

Keuntungan Ekonomi AI Lebih Besar dari Biaya Emisi

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan keuntungan ekonomi dari AI akan meningkatkan output ekonomi global sekitar 0,5 persen per tahun antara 2025 hingga 2030. Melebihi biaya lingkungan yang timbul akibat lonjakan emisi karbon dari pusat data yang menopang teknologi tersebut.

Berdasarkan laporan IMF yang dirilis pada pertemuan musim semi tahunannya di Washington, keuntungannya tidak akan terbagi secara merata di seluruh dunia. Sehingga para pembuat kebijakan dan pelaku bisnis diminta meminimalkan biaya untuk masyarakat luas.

Meskipun terdapat tantangan terkait harga listrik yang lebih tinggi dan emisi gas rumah kaca, keuntungan terhadap PDB global dari AI kemungkinan akan lebih besar daripada biaya kenaikan emisi.

BACA JUGA: DPR RI Setujui Revisi RAPBN 2026, Belanja Negara Rp3.842,7 Trilun

Lalu biaya sosial dari kenaikan emisi ini lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dari AI. "Namun tetap menambah penumpukan emisi yang mengkhawatirkan," kata laporan berjudul "Power Hungry: How AI Will Drive Energy Demand".

Laporan IMF mencatat di Virginia utara yang menjadi pusat data terbesar di dunia, ruang servernya kurang lebih setara dengan delapan Gedung Empire State. Kebutuhan listrik global akibat AI bisa meningkat hingga lebih dari tiga kali lipat, menjadi sekitar 1.500 terawatt-jam (TWh) pada tahun 2030. Hampir setara dengan konsumsi listrik India saat ini dan 1,5 kali lebih tinggi dari proyeksi permintaan energi untuk kendaraan listrik.

Lalu jejak karbon dari lonjakan penggunaan AI ini akan bergantung pada bagaimana perusahaan teknologi tersebut bisa memenuhi janjinya menekan emisi dari pusat data, dengan menggunakan energi bersih dan cara lain.

IMF memperkirakan adopsi AI yang kuat dengan kebijakan energi saat ini bisa menghasilkan lonjakan emisi gas rumah kaca sebesar 1,2 persen di antara 2025 hingga 2030. Diperkirakan kebijakan energi yang lebih ramah lingkungan bisa mengurangi peningkatan hingga 1,3 giga ton.

Asumsi biaya sosial yang dibutuhkan dari dampak tambahan emisi tersebut sebesar US$39 per ton. IMF memperkirakan total biaya tambahan tersebut sebesar US$50,7 hingga US$66,3 miliar. Lebih kecil dari peningkatan keuntungan 0,5 persen per tahun dari penggunaan AI.

Para analis independent menyebut dampak ekonomi dan lingkungan akan sangat tergantung dari bagaimana AI digunakan. Khususnya apakah AI bisa meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi berkelanjutan.

Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment menjelaskan bahwa AI bisa menghasilkan pengurangan emisi karbon secara keseluruhan. Apabila teknologi ini digunakan untuk mempercepat kemajuan teknologi rendah karbon di sektor energi, pangan, dan transportasi.

Peneliti kebijakan di Grantham, Roberta Pierfederici mengatakan kekuatan pasar saja tidak mungkin berhasil mendorong penerapan AI untuk aksi iklim. Akan tetapi dibutuhkan juga peran dari pemerintah, perusahaan teknologi, dan perusahaan energi.

"Harus berperan aktif dalam memastikan AI digunakan secara sengaja, adil, dan berkelanjutan," ujarnya sembari menekankan pentingnya pendanaan litbang dan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan yang diperparah oleh kemajuan AI.

Dampak Penggunaan AI Secara Berlebihan

AI yang perkembangannya semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir punya kemampuan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kreativitas. Teknologi ini bisa dimanfaatkan dalam berbagai bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga bisnis. Akan tetapi penggunaan AI secara berlebihan punya dampak negatif yang perlu diantisipasi.

Pertama, bisa menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada teknologi. Sehingga bisa mengurangi kemampuan manusia untuk berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara mandiri.

Kedua, meningkatnya risiko pengangguran. Automasi yang didukung AI mampu menggantikan pekerjaan lapangan manusia tertentu. Hal ini memunculkan tantangan besar, terutama bagi tenaga kerja dengan keterampilan rendah yang kesulitan beradaptasi dengan kebutuhan pekerja modern.

Ketiga, pengurangan keterampilan manusia. Semakin banyak tugas yang dialihkan ke AI, dikhawatirkan bisa menurunkan kemampuan manusia. Contohnya, mengingat atau menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan pemikiran kognitif.

Keempat bisa menyebabkan kebocoran privasi dan keamanan data. AI memerlukan data dalam jumlah besar untuk dapat belajar dan beroperasi secara optimal. Namun, penggunaan data ini sering memunculkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan, terutama jika data tersebut disalahgunakan atau mengalami kebocoran.

Kelima, algoritma AI berpotensi mengandung bias yang berasal dari data pelatihan yang digunakan. Jika data tersebut tidak bebas dari bias, keputusan atau prediksi yang dihasilkan oleh AI dapat berakhir merugikan kelompok tertentu dan bahkan memunculkan tindakan diskriminatif.

BACA JUGA: Nelayan Baron Gunungkidul Dilatih Bertahan Hidup di Laut

Selanjutnya, interaksi yang terlalu berlebihan dengan AI, seperti chat bot atau asisten virtual, dapat menggantikan interaksi sosial manusia yang sebenarnya. Hal ini akan berisiko menimbulkan rasa kesepian dan isolasi mandiri akibat ketergantungan AI. Selain itu, ketakutan akan kehilangan pekerjaan akibat AI juga dapat memicu stres dan kecemasan pada banyak orang.

Dan terakhir, bisa menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait etika. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab, moralitas dan keadilan. Jika teknologi ini membuat keputusan yang keliru atau menyebabkan kerugian. Sehingga perlu analisis mendalam secara rasional dan humanis.

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news