Polda Sulsel Respon Gugatan yang Dilayangkan Soal Dampak Kerusuhan Aksi di Makassar

5 days ago 5
Polda Sulsel Respon Gugatan yang Dilayangkan Soal Dampak Kerusuhan Aksi di MakassarKabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Didik Supranoto (Dok: Atri KabarMakassar)

KabarMakassar.com — Polda Sulsel merespon terkait gugatan seorang warga bernama Muhammad Sulhadrianto Agus (29) di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, atas dampak dari aksi 29 Agustus yang berujung pada pembakaran kantor DPRD Sulsel dan Makassar.

“Iya, kita hargai upaya-upaya itu, karena semua punya hak,” kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Didik Supranoto, Senin (08/09) malam.

Menurut Didik bahwa pihak kepolisian telah bekerja secara maksimal dalam penanganan aksi unjuk rasa pada 29 Agustus lalu, meski berujung kerusuhan dan pembakaran kantor DPRD Sulsel dan Makassar.

“Tapi perlu saya sampaikan bahwa kepolisian sdh berusaha maksimal dan dengan penuh pertimbangan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Didik menerangkan bahwa saat ini pihaknya masih terus melakukan pengejaran terhadap para pelaku pembakaran kantor DPRD Sulsel dan Makassar.

“Kalau memang ada upaya hukum tentu kepolisian atau Polda Sulsel juga berusaha dengan upaya-upaya hukum,” katanya.

Sebelumnya diberitakan, Polda Sulawesi Selatan mendapat gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar, terkait kerusuhan aksi pada 29 Agustus lalu. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang warga bernama Muhammad Sulhadrianto Agus (29) melalui kuasa hukumnya, Muallim Bahar.

“Hari ini kami, kuasa hukum penggugat, resmi mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Makassar terkait perbuatan melawan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Polda Sulawesi Selatan,” kata Muallim Bahar kepada wartawan, Senin (08/09) malam.

Muallim menerangkan bahwa gugatan yang dilayangkan kepada Polda Sulsel itu, terkait kerusuhan 29 Agustus lalu, yang mengakibatkan terbakarnya gedung kantor DPRD Makassar dan Sulsel.

“Gugatan ini berkaitan dengan penanganan aksi unjuk rasa yang mengakibatkan terbakarnya dua kantor DPRD serta menyebabkan beberapa orang meninggal dunia,” katanya.

Menurut penggugat, kepolisian dianggap lalai dalam melakukan upaya preventif untuk mencegah kerusuhan. Padahal, potensi kerusuhan seharusnya bisa diprediksi sejak dini melalui informasi intelijen.

“Pertanyaannya sekarang, siapa yang bertanggung jawab? Dalam perspektif kami, ada ruang di mana kepolisian tidak melakukan langkah pencegahan secara detail. Seharusnya data intelijen sudah mengetahui potensi kejadian tersebut. Namun, pada saat peristiwa berlangsung, masyarakat tidak melihat adanya kehadiran dan penanganan dari kepolisian,” cetusnya.

Muallim juga menyoroti besarnya kerugian yang dialami masyarakat maupun pemerintah, dimana kerugian materil tersebut ditaksir mencapai Rp500 miliar. Kemudian kata dia, kerugian immateriil seperti trauma dan hilangnya rasa aman diperkirakan senilai Rp300 miliar. Sehingga, total ganti rugi yang diminta penggugat mencapai Rp800 miliar.

“Kami menilai penanganan aksi unjuk rasa pada 29 Agustus lalu tidak sesuai dengan peraturan Kapolri tentang penanganan aksi unjuk rasa. Karena itu, kami mengajukan gugatan kerugian material sebesar Rp800 miliar. Angka ini jelas dan akan kami buktikan di pengadilan,” terangnya.

“BPPD Kota Makassar merilis kerugian hampir Rp500 miliar, sementara pemerintah provinsi mengusulkan anggaran Rp223 miliar ke Kementerian PUPR untuk membangun kembali gedung DPRD Sulsel. Kerugian masyarakat sangat besar,” tambahnya.

Selain menyoroti terkait kerugian, kuasa hukum tersebut menyoroti pernyataan polisi yang menyebut kalah jumlah saat menghadapi massa sehingga memilih menarik diri.

“Kami juga mempertanyakan pernyataan kepolisian yang menyebut kalah jumlah dan menjadi target massa. Faktanya, jika polisi yang menjadi target, mestinya Polrestabes atau Polda yang diserang. Kenyataannya, titik aksi adalah kantor DPRD sesuai dengan tuntutan massa yang membawa isu nasional: bubarkan DPR,” ucap Muallim.

Muallim mengatakan bahwa kerusuhan tersebut selain menimbulkan kerugian materil, tetapi juga memakan korban jiwa. Ia menganggap hal tersebut melanggar HAM.

“Tiga warga Kota Makassar meninggal dunia di sekitar kantor DPRD Kota Makassar. Mereka hanya datang untuk mencari kerja, namun nyawanya hilang. Ini jelas pelanggaran HAM,” ungkapnya.

Dalam gugatannya, pihak penggugat mengajukan tujuh petitum atau tuntutan, termasuk permintaan agar Polda Sulsel dihukum membayar ganti rugi Rp800 miliar.

“Atas dasar itu, kami menggugat Kapolda Sulawesi Selatan. Ada tujuh petitum atau permintaan yang kami ajukan, salah satunya terkait kerugian material Rp800 miliar yang kami harapkan dapat digunakan untuk pembangunan kembali gedung DPRD,” tuturnya.

Muallim menyebutkan bahwa gugatan pihaknya berdasar pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, serta Perkap Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Aksi Unjuk Rasa.

“Langkah ini adalah langkah konstitusional. Daripada saling menyalahkan, lebih baik kepolisian mempertanggungjawabkan semuanya di persidangan. Kami pun memiliki data yang valid dan akan membuktikannya di meja hijau,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news