Harianjogja.com, JAKARTA—Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memberlakukan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas impor produk benang kapas. Hal itu untuk melindungi industri tekstil dalam negeri dari tekanan lonjakan barang impor. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/2025 yang akan berlaku mulai awal November 2025.
Regulasi tersebut menjadi tindak lanjut dari hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang menemukan adanya peningkatan signifikan impor benang kapas dalam beberapa tahun terakhir, baik secara absolut maupun relatif terhadap produksi domestik.
“Lonjakan jumlah impor tersebut menyebabkan terjadinya kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri,” demikian tertulis dalam pertimbangan beleid tersebut.
Dalam Pasal 3 PMK 67/2025, pemerintah menetapkan besaran BMTP secara bertahap selama tiga tahun dengan skema tarif menurun:
Tahun pertama: Rp7.500 per kg
Tahun kedua: Rp7.388 per kg
Tahun ketiga: Rp7.277 per kg
Penurunan tarif setiap tahun dimaksudkan sebagai masa transisi agar industri dalam negeri memiliki waktu beradaptasi terhadap kompetisi global. Kebijakan ini berlaku untuk produk benang kapas dengan pos tarif HS 5204, 5205, dan 5206 yang mencakup benang carded, combed, maupun benang campuran kapas.
Lebih lanjut Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa BMTP dikenakan terhadap impor benang kapas dari semua negara, kecuali 120 negara berkembang anggota WTO yang tercantum dalam Lampiran B.
Pengecualian ini hanya berlaku apabila importir menyerahkan dokumen Certificate of Origin (CoO) yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1). Apabila CoO tidak diserahkan atau dinyatakan tidak valid, maka BMTP tetap dipungut penuh terhadap produk yang bersangkutan (Pasal 6 ayat (4))
Dalam Pasal 4 ayat (2), ditegaskan bahwa BMTP ini merupakan tambahan atas bea masuk umum (Most Favoured Nation/MFN) atau bea masuk preferensi dari perjanjian perdagangan internasional seperti FTA dan CEPA.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap barang yang dimasukkan ke kawasan perdagangan bebas, kawasan berikat, atau fasilitas kepabeanan lainnya, sepanjang tidak diatur berbeda dalam peraturan kawasan (Pasal 7).
Beleid ini ditandatangani oleh Purbaya pada 8 Oktober 2025 dan diundangkan pada 20 Oktober 2025. "Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan," jelas Pasal 9 PMK 67/2025.
Pengusaha Tekstil Kirim Surat ke Purbaya
Adapun, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) sempat menyurati Purbaya untuk mendiskusikan langkah penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional yang terpukul oleh praktik impor ilegal dan dumping produk.
Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan perhatian Purbaya terhadap praktik kuota impor ilegal menjadi harapan baru bagi industri tekstil. Pengusaha berharap Purbaya dapat menyelesaikan sengkarut masalah impor ilegal di industri tekstil.
APSyFI menilai rantai pasok industri yang selama ini terintegrasi dari hulu hingga hilir kini terganggu akibat serbuan produk impor ilegal.
Menurut Redma, terdapat kesenjangan antara data perdagangan Indonesia dan negara mitra, yang mengindikasikan banyaknya barang impor yang masuk tanpa tercatat di sistem Bea Cukai. Hal ini menimbulkan kerugian bagi negara baik dari segi penerimaan maupun persaingan pasar.
Terkait hal tersebut, APSyFI berharap Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai dapat memperkuat sistem pengawasan dan memperbaiki prosedur penerimaan barang impor dari pelabuhan. Salah satu hal yang disorot, antara lain tidak digunakannya sistem port-to-port manifest.
“Importir bisa membuat dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) tanpa mengacu pada Master Bill of Lading (B/L). Celah ini membuka ruang bagi praktik misdeclare, under invoicing, dan pelarian HS code,” ujar Redma dilansir dari Antara, Senin (13/10/2025).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News