Sekolah Merdeka Yogyakarta, Membuatkan Peta untuk Jalan Anak yang Berbeda

10 hours ago 5

Harianjogja.com, JOGJA—Setiap anak punya peta perjalanannya masing-masing. Sekolah harusnya menjadi pendukung dari keragaman anak, bukan justru menyeragamkan kemampuan dan kebutuhannya.

Dengan menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional, Sumiyar Mahanani berharap si buah hati bisa berkembang dan semakin bahagia. Sayangnya, hasil dari sekolah formal itu justru sebaliknya. Miya, panggilan akrabnya, melihat perubahan perilaku pada anak pertamanya. Anak Miya menjadi orang yang takut ketinggian hingga takut keramaian.

Ada indikasi bahwa sekolah si anak tidak cocok. Miya kemudian memindahkan anaknya ke sekolah lain. Namun tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Miya kemudian mengurangi kesibukannya. Mencoba lebih mendengarkan anak. Dia juga memeriksakan anaknya ke psikolog. Benar saja, anaknya termasuk spesial, atau gifted istilahnya.

Dari obrolan mendalam dengan anaknya, Miya tahu bahwa anaknya tidak cocok dengan sekolah formal. Si anak tidak cocok belajar pagi hingga sore serta serangkaian tes di sekolah. “Gimana kalau aku belajar yang aku suka aja, boleh enggak dibebaskan dan dimerdekakan memilih kurikulumku sendiri? Aku tahu blue print-ku, aku bukan robot,” kata Miya, beberapa waktu lalu, saat menirukan perkataan anaknya.

BACA JUGA: Di Kota Jogja Masih Terjadi Kasus Kekerasan Anak di Sekolah, Ini Datanya

“Anak saya bilang, ‘seharian belajar sesuatu yang enggak aku suka, aku introvert, aku jadi orang aneh di sekolah. Ini justru peluang dan kesempatan buat mama, untuk membuat sekolah’,” katanya.

Miya memang punya tempat kursus. Melihat kebutuhan anaknya, dia membaca banyak materi tentang sekolah, dari sekolah formal, homeschooling, sampai pola anak yang tidak sekolah sama sekali dan sepenuhnya belajar di rumah. Miya mengeluarkan anaknya dari sekolah. Dia mengajar anaknya secara mandiri sejak 2019.

Menjadi Sekolah

Miya membersamai anaknya belajar di tempat kursusnya. Selama tiga bulan berjalan, ternyata anak Miya 'sembuh' dari beberapa gangguan yang muncul sebelumnya. Anak Miya semakin tahu dan mendalami materi yang dia sukai. Progresnya juga cepat.

Anak Miya tidak lagi takut dicap aneh, predikat yang pernah didapatkan di sekolah formal. Keberhasilan ini membuat si anak menyarankan ibunya untuk membuat sekolah semi homeschooling. “Pasti banyak yang kaya aku,” kata Miya, menirukan anaknya.

Hal ini lah yang menjadi cikal bakal Sekolah Merdeka Yogyakarta (SMY). Anak Miya menjadi murid pertamanya. SMY resmi berdiri tahun 2020. Dari murid angkatan pertama berjumlah tujuh anak, sekarang ada lebih dari 70 murid yang belajar di sini. Terdapat program yang setara SD, SMP, dan SMA.

Dalam menjalankan sistem pembelajaran di SMY, Miya menekankan pada tiga aspek, yaitu kurikulum sekolah, kurikulum rumah, dan kurikulum diri sendiri. Di samping materi sekolah umum, SMY memberikan ruang belajar dan praktik banyak hal, memasak, kerajinan, musik, olahraga, presentasi, sampai pelayanan masyarakat.

Sehari hanya ada satu pelajaran, dengan durasi sekitar tiga jam. Satu kelas maksimal terdiri dari 10 anak. "[Jumlah ini agar fasilitator] bisa memantau secara intens, mencoba melihat hambatan atau cara pengembangan diri secara personal," kata Miya, yang juga dosen STIPRAM Jogja ini.

Mengenal Diri Sendiri

SMY ingin menjalankan pendidikan dengan pendekatan yang lebih humanis. Anak tidak hanya sebagai objek, namun subjek penting dalam perkembangan pendidikan maupun hidupnya.

Secara rutin, ada sesi sharing yang menjadi ruang berbagi cerita. Terdapat pula usaha-usaha untuk menyelesaikan hambatan belajar anak. Hambatan belajar bisa berupa kondisi tidak stabil anak setelah dimarahi orang tua di rumah, bertengkar dengan saudara, atau kondisi psikologis lainnya.

SMY juga melibatkan orang tua yang berperan penting dalam pendidikan anaknya. SMY memfasilitasi ilmu parenting dan sejenisnya pada wali murid. Tidak kalah penting dari orang tua, anak juga perlu mengenal dirinya sendiri. Pengenalan ini termasuk dalam melihat potensi-potensi setiap anak yang berbeda dan unik.

“Ketika kenal dirinya, itu yang paling penting. Pengetahuan akan diri itu Maha Guru, kalau enggak bakal tersesat. Sekolah untuk membantu menemukan core identity, siapa aku,” kata Miya, yang saat ini berusia 50 tahun.

Orang dan Penyakitnya Masing-Masing

Mungkin semua orang memiliki penyakitnya masing-masing. Sumiyar Mahanani beranggapan setiap orang bisa saja membawa penyakit fisik atau jiwa. Orang yang sakit, lanjutnya, akan rentan saat nantinya membangun relationship.

Dalam konteks pernikahan misalnya, keduanya perlu 'sembuh' dari penyakitnya, terutama penyakit jiwa. Kesembuhan ini agar keduanya tidak semakin menyakiti ke depannya. Cara penyembuhan bisa langsung dengan datang ke ahlinya, atau bermula dari diri sendiri.

Miya mengatakan, saat seseorang sudah sembuh, maka pengambilan keputusannya akan minim distorsi dan potensi kesalahan. “Kalau keluarga enggak stabil relasinya, ibu enggak bahagia, gimana mau bahagiain anaknya?” kata Miya.

Anak perlu merasa aman dan nyaman dalam banyak lingkungan, termasuk di rumah. Saat lingkungan keluarga dan rumah sudah aman, tantangan berikutnya adalah lingkungan seperti sekolah. SMY tidak jarang mendapat pindahan murid yang menjadi korban perundungan di sekolah sebelumnya. Saat masuk, baik untuk murid maupun guru, tersedia tes kesehatan mental.

Cerminan seseorang berasal dari internal jiwanya. “Kalau di dalamnya penuh amarah, keluarnya juga penuh amarah dan sebagainya, semua dari dunia internal kita, perlu dibuat harmonis,” kata Miya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news