Suasana demo menuntut legalitas apartemen Malioboro City di depan kantor Gubernur DIY, Senin (23/12/2024). - Harian Jogja - Yosef Leon
Harianjogja.com, JOGJA – Puluhan korban mafia pengembang dalam kasus jual beli apartemen Malioboro City kembali akan menggelar aksi unjuk rasa pada Rabu (5/2/2025) mendatang lantaran solusi yang tak kunjung terlaksana dari pemerintah setempat. Uniknya, dalam aksi kali ini, para korban tidak hanya membawa gerobak sapi sebagai simbol perjuangan, tetapi juga hewan spesial sebagai bentuk protes terhadap dugaan kejahatan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam kasus ini.
Menurut Ketua Perhimpunan Penghuni Pemilik Satuan Rumah Susun (P3SRS) Malioboro City, Edi Hardiyanto, penggunaan hewan spesial dalam aksi ini memiliki makna simbolis. "Hewan ini sebagai simbol kekejian, kejahatan, atau penyalahgunaan wewenang. Dengan membawa itu, kami ingin menyampaikan pesan bahwa pemerintah harus berani bertanggung jawab atas persoalan Malioboro City," ujarnya, Minggu (2/2/2025).
Selain itu, puluhan gerobak sapi juga akan dikerahkan dalam aksi ini. Gerobak sapi dipilih sebagai simbol perjuangan panjang yang telah ditempuh para korban dalam menuntut hak-hak mereka, khususnya terkait penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM SRS).
BACA JUGA: Tak Menyerah, Korban Apartemen Malioboro City Bakal Pisowanan Massal ke Kraton
Edi menegaskan bahwa aksi ini bertujuan untuk mendesak pengembang apartemen Malioboro City untuk segera menyelesaikan semua kewajiban legalitas kepemilikan unit yang telah dijual kepada konsumen.
"Kami sudah berjuang dan menunggu lebih dari 12 tahun. Namun, hingga saat ini, belum ada niat dan itikad baik dari pengembang untuk menyelesaikan permasalahan ini," jelasnya.
Para korban menilai bahwa pengembang telah mencederai kepercayaan konsumen karena hingga kini belum ada izin SLF untuk apartemen yang telah dibeli. "Aksi ini kami gelar karena pemerintah daerah seharusnya berperan dalam menyelesaikan permasalahan ini dan menegakkan hukum bagi pengembang yang tidak bertanggung jawab," tambah Edi.
Kasus Malioboro City bermula dari dugaan wanprestasi yang dilakukan oleh pengembang. Konsumen yang telah membeli unit apartemen sejak lebih dari satu dekade lalu hingga kini belum menerima hak legalitas kepemilikan mereka. Padahal, SLF merupakan dokumen penting yang menyatakan bahwa bangunan tersebut layak huni dan aman. Tanpa SLF, penghuni tidak bisa mendapatkan SHM SRS, yang merupakan bukti kepemilikan resmi atas unit yang mereka beli.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan oleh para penghuni untuk mendapatkan hak mereka. Mereka telah melayangkan berbagai aduan ke instansi pemerintah dan menggelar beberapa kali aksi protes. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian yang konkret.
"Aksi ini adalah bentuk keputusasaan kami terhadap ketidakadilan yang terus terjadi. Kami berharap pemerintah daerah benar-benar serius menangani permasalahan ini dan tidak berpihak kepada mafia pengembang," pungkas Edi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News