Tarik Ulur Pelarangan TikTok

6 hours ago 1

Harianjogja.com, JOGJA—Sempat tidak bisa diakses sejak 19 Januari 2025, aplikasi media sosial TikTok kembali beroperasi di Amerika Serikat (AS) mulai 20 Januari 2025. Pemulihan TikTok setelah mendapat jaminan dari Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump.

Dalam keterangan resmi TikTok, setelah adanya kesepakatan, saat ini sedang proses pemulihan TikTok di AS. Mereka "Kami berterima kasih kepada Presiden Trump yang memberikan penjelasan dan jaminan kepada para penyedia layanan kami sehingga mereka tidak akan menghadapi sanksi karena menyediakan TikTok bagi lebih dari 170 juta warga Amerika dan memungkinkan lebih dari 7 juta usaha kecil terus berkembang," kata Tiktok, Senin (20/1/2025).

TikTok berjanji untuk bekerja sama dengan pemerintahan Trump dalam mencari solusi jangka panjang terkait keberadaan TikTok di AS. Sebelumnya, beberapa hari menjelang larangan terhadap TikTok oleh Pemerintah AS, para pengguna AS berpindah ke aplikasi media sosial alternatif China, yaitu RedNote.

Aplikasi ini, yang dikenal sebagai Xiaohongshu di China, merupakan aplikasi gaya hidup yang populer, tempat para penggunanya berbagi konten tentang kehidupan dan menawarkan tips-tips seputar perjalanan, mode dan kecantikan. Saat ini, Aplikasi itu dibanjiri oleh para pengguna baru asing, terutama warga AS.

Mereka menyebut dirinya sebagai "pengungsi TikTok", dan dengan antusias berbagi konten tentang kehidupan mereka dan berinteraksi dengan para pengguna China. Para pakar mengamati bahwa pengguna AS beralih ke RedNote sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan Washington terhadap TikTok.

Alasan Pelarangan TikTok

Pemerintah AS melarang TikTok untuk masyarakatnya lantaran berbagai alasan, seperti ancaman keamanan nasional, privasi data, dan pengaruh geopolitik. Pemerintah AS khawatir data pengguna Amerika dapat diakses pemerintah China melalui undang-undang keamanan nasionalnya, yang mengharuskan perusahaan domestik bekerja sama dalam pengumpulan intelijen.

Terdapat 170 juta pengguna aktif TikTok di wilayah AS. TikTok dianggap mampu melacak data lokasi, pesan, dan aktivitas pengguna, yang berisiko dimanfaatkan untuk spionase atau manipulasi politik. Meski TikTok telah meluncurkan "Project Texas" untuk menyimpan data pengguna AS di server lokal, Departemen Kehakiman menilai upaya ini belum cukup.

Mahkamah Agung AS mendukung larangan tersebut, menilai TikTok dapat mengumpulkan data dalam jumlah besar yang berpotensi membahayakan keamanan nasional. Namun, beberapa pihak mengkritik larangan ini sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berbicara.

Dari sisi pengaruh geopolitik, adanya hubungan AS dan China yang tegang dalam berbagai isu, termasuk perdagangan dan teknologi, menjadi salah satu alasan utama larangan ini dipertimbangkan. Larangan TikTok dan CapCut dapat dianggap sebagai langkah untuk membatasi pengaruh teknologi China di pasar global. AS juga berusaha melindungi perusahaan teknologi lokal dari persaingan dengan platform asing yang memiliki dukungan besar.

Adapula alasan potensi penyebaran disinformasi. TikTok dianggap sebagai platform yang dapat digunakan untuk menyebarkan disinformasi, propaganda, atau konten yang memengaruhi opini publik. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama dalam konteks politik dan pemilu.

TikTok juga dianggap menjadi ancaman jika digunakan untuk melacak atau memprofilkan pejabat pemerintah atau warga negara penting di AS. Selain itu, algoritma TikTok yang canggih dikhawatirkan bisa memanipulasi perilaku pengguna dalam skala besar.

Sebagian Negara Sudah Melarang TikTok, Indonesia?

Beberapa negara di belahan dunia telah melarang penggunaan aplikasi media sosial TikTok. Ada negara yang melarang TikTok secara menyeluruh, ada pula yang secara parsial. Negara yang melarang secara menyeluruh untuk warganya seperti Afghanistan, Albania, India, Yordania, Kirgizstan, Nepal, Senegal, Somalia, dan Uzbekistan.

Sementara pelarangan secara parsial berada di negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Prancis, Malta, Belanda, Latvia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia, hingga Taiwan. Pelarangan secara parsial misalnya dikhususkan pada perangkat kerja pegawai pemerintah atau perangkat resmi lainnya.

Di Australia misalnya, pelarangan TikTok secara parsial berlangsung sejak 4 April 2024. Pemerintah Australia melarang penggunaan TikTok di semua perangkat milik pemerintah federal dengan alasan risiko keamanan. Di Indonesia, mulai muncul wacana pelarangan media sosial untuk anak-anak. Tidak spesifik pada TikTok, tapi media sosial secara menyeluruh.

Salah satu yang memulai usul pelarangan media sosial pada pengguna anak yaitu dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY. Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, Ahmad Zuhdi Muhdlor, mengusulkan pelarangan tersebut untuk anak-anak dan remaja di bawah 16 tahun. Zuhdi meyakini larangan tersebut akan membantu pemerintah meredam pengaruh negatif medsos pada anak sejak dini, khususnya dari paparan judi online.

"Ini harus dengan peraturan. Tidak cukup dengan imbauan. Kalau sudah jadi peraturan negara, itu kan bisa dikenakan sanksi bagi yang melanggar," kata Zuhdi, awal Desember 2024 lalu.

Usulan tersebut, lanjut Zuhdi, sebagaimana beleid yang bakal berlaku di Australia. Undang-Undang (UU) yang disahkan oleh Senat Australia pada Kamis (28/11) itu akan melarang siapapun yang berusia kurang dari 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X. "Ini mungkin bisa dicoba atau dikaji oleh pemerintah untuk diterapkan di Indonesia. Saya kira bagus, di mana justru negara lain sekarang juga merasakan dampaknya," katanya.

Bagi Zuhdi, penerapan aturan itu tak sekadar mengekor Negara Kanguru, sebab dampak buruknya terhadap kesehatan mental atau psikologis anak juga telah dialami anak-anak di Indonesia. Meski dia tidak menampik banyak pula manfaat yang bisa didapatkan dari media sosial seiring perkembangan teknologi informasi (TI), akan tetapi khusus bagi anak-anak di bawah umur mudaratnya lebih besar karena umumnya belum mampu menggunakan secara bijak.

Di samping itu, kampanye atau iklan judi online yang bertebaran di media sosial juga berpotensi memengaruhi mereka. "Kalau sudah masuk ke otak anak itu kan, susah sekali untuk meluruskan kembali. Saya kadang-kadang juga terpikir, banyaknya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh berbagai pihak ini, tidak lepas, kalau enggak miras ya judi online itu. Ini nyata sekali," kata Zuhdi.

Zuhdi menilai pemerintah baru saat ini memiliki perangkat yang cukup banyak lewat berbagai kementerian terkait untuk mengkaji mudarat penggunaan medsos bagi anak. "Apalagi sekarang kan kementerian yang menangani pendidikan sudah dipecah dengan wakil-wakil kementerian cukup banyak ya. Artinya ini bisa juga bagian-bagian dari kementerian pendidikan secara khusus mengkaji masalah-masalah itu. Saya berharap seperti itu," kata dia.

Selain melalui aturan, dia menegaskan keluarga tetap memiliki peran krusial dalam mengontrol penggunaan gawai di kalangan anak atau remaja sehingga mereka terhindar dari paparan konten negatif, termasuk kampanye judi online. "Dampak merugikannya sudah sangat nyata, baik ekonomi, kemudian yang paling rusak ini kan mental ya, mental warga, mental masyarakat, akhlak hilang, dan banyak hal-hal negatif lain, termasuk rumah tangga juga banyak yang hancur," ujar dia.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, mengatakan kementeriannya masih mengkaji usulan pembatasan penggunaan media sosial bagi anak-anak. "Lagi kita kaji, dan Australia sendiri sudah melakukannya. Jadi ini lagi kita kaji, karena kita semua tahu media sosial ini kan ada positif dan negatifnya, dan sudah banyak sekali pengaduan, sudah banyak sekali keluhan tentang penggunaan AI yang berdampak negatif," kata Nezar, belum lama ini.

Nezar mengatakan saat ini sedang mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Usulan pembatasan umur untuk penggunaan media sosial tersebut masih dalam tahap kajian. Ia mengimbau orang tua dan keluarga untuk lebih aktif dalam mengawasi penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di rumah.

Dampak Brain Rot dari Media Sosial

Menggulir layar handphone tanpa tujuan di Instagram Reels atau TikTok selama berjam-jam berdampak pada brain rot. Istilah brain rot baru saja dinobatkan sebagai kata atau frasa terpopuler tahun 2024 oleh Oxford University Press.

Brain rot merujuk pada dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasaan mengonsumsi konten online berkualitas rendah secara berlebihan, terutama dari media sosial. Istilah ini makin populer karena penggunaannya naik 230% dari tahun 2023 ke 2024. Menurut psikolog sekaligus profesor Universitas Oxford, Andrew Przybylski, istilah ini adalah “Gejala dari zaman yang sedang kita jalani,” katanya

Secara istilah, brain rot menggambarkan penurunan kemampuan mental atau intelektual seseorang, yang dianggap terjadi akibat terlalu banyak mengonsumsi hal-hal sepele atau tidak menantang. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1854 dalam buku Walden karya Henry David Thoreau.

Dalam bukunya, Thoreau mengkritik kecenderungan masyarakat untuk mengabaikan ide-ide yang kompleks atau mendalam, dan lebih memilih hal-hal yang mudah dan sederhana. Ia melihat hal ini sebagai tanda menurunnya upaya manusia untuk berpikir secara mendalam dan serius.

Secara sederhana, brain rot bisa diartikan sebagai "kemalasan intelektual" akibat kebiasaan mengonsumsi konten yang tidak memicu berpikir kritis atau kreatif. Terlalu banyak mengalami brain rot karena kebiasaan berlebihan dalam kehidupan virtual dapat menyebabkan masalah besar pada pikiran, emosi, dan fisik.

Beberapa efek samping dan risiko yang bisa muncul antara lain seperti kesulitan mengingat hal-hal baru dan berpikir dengan jernih. Tidak hanya itu, dampak lainnya berupa perubahan mood dan emosi yang tidak stabil, yang bisa menyebabkan depresi atau kecemasan. Brain rot juga bisa mengakibatkan penurunan kemampuan berpikir, seperti kesulitan dalam memecahkan masalah, berpikir logis, dan membuat keputusan. Efek lainnya seperti kehilangan kemandirian, karena kesulitan dalam melakukan tugas sehari-hari.

Untuk menghindari brain rot, penting untuk memperhatikan kualitas dan kuantitas waktu yang dihabiskan di layar. Pengguna media sosial bisa mencoba untuk lebih sering terlibat dalam kegiatan fisik, seperti berjalan atau berolahraga, serta berbicara langsung dengan orang di sekitar. Jauhkan diri dari kebiasaan terus-menerus menonton konten yang tidak memberi manfaat bagi pikiran seseorang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news