UU Kesehatan 2023 Dinilai Persempit Peran Apoteker dan Hambat Akses Layanan Masyarakat

6 hours ago 2

UU Kesehatan 2023 Dinilai Persempit Peran Apoteker dan Hambat Akses Layanan Masyarakat Ilustrasi apoteker. - Freepik

Harianjogja.com, JOGJA – Pusat Studi Hukum Kesehatan (PSHK) Fakultas Hukum UII menyoroti sejumlah dampak negatif pasca diterbitkannya Undang-Undang No. 17/2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023).

Peneliti PSHK FH UII Retno Widiastuti menilai beleid tersebut berpotensi mempersempit kewenangan profesi apoteker sekaligus menyulitkan akses masyarakat terhadap layanan kefarmasian yang profesional.

BACA JUGA: Kurangi Ketergantungan Impor, Kemenkes Kerja Sama Produksi Alkes Dalam Negeri

Retno menyebut, sejak UU 17/2023 berlaku, sejumlah peraturan pelaksana telah diterbitkan, antara lain PP No. 28/2024, Permenkes No. 6/2024, dan Permenkes No. 17/2024. Namun, muatan regulasi-regulasi itu justru menciptakan distorsi standar pelayanan kesehatan karena cenderung mengabaikan peran strategis apoteker.

“Standar layanan jadi bias, akses masyarakat terhadap kewenangan klinis apoteker hilang, dan risiko kesalahan terapi pasien meningkat karena tidak ada review oleh apoteker,” kata Retno, Sabtu (17/5/2025). 

PSHK juga menilai, pengaturan baru ini secara teoritis dan konseptual telah mempersempit ruang gerak profesi apoteker. Pengkerdilan definisi apoteker, penyusutan kewenangan dalam praktik kefarmasian, hingga hilangnya kewenangan klinis apoteker menjadi sorotan serius.

Menurut Retno, kondisi ini tak hanya melemahkan profesi apoteker, tapi juga melanggar prinsip hak asasi manusia. “Konsep yang menyulitkan akses publik terhadap layanan keapotekeran secara tidak langsung melanggar hak atas derajat kesehatan yang optimal, yang disetarakan dengan hak atas hidup,” ujarnya.

PSHK meminta Komisi IX DPR untuk melakukan pengawasan ketat serta mendorong pemerintah memperbaiki regulasi. Kepada Kemenkumham dan Kementerian Kesehatan, PSHK juga meminta harmonisasi regulasi agar tidak menyimpang dari standar internasional maupun konstitusi Indonesia.

“Kami rekomendasikan agar kewenangan klinis apoteker diteguhkan kembali dan akses masyarakat terhadap obat serta layanan kefarmasian dipermudah, demi sistem kesehatan nasional yang adil dan berkualitas,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news