Suku Bunga BI Tetap 5,75 Persen, Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi Jadi Prioritas

1 day ago 4

banner 468x60

KabarMakassar.com — Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 5,75%. Keputusan ini diambil setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang berlangsung pada 18-19 Februari 2025.

“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 18-19 Februari 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,75 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai rapat, Rabu (19/02) kemarin.

Pemprov Sulsel

Sejalan dengan keputusan tersebut, suku bunga Deposit Facility tetap ditetapkan di 5,00%, sedangkan suku bunga Lending Facility bertahan di 6,50%.

Perry menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil sebagai langkah menjaga stabilitas ekonomi, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian global.

Selain itu, keputusan ini juga sejalan dengan target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia untuk tahun 2025 dan 2026, yaitu dalam kisaran 2,5±1%.

Dengan mempertahankan suku bunga saat ini, BI berharap dapat menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia, sekaligus tetap memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Menjaga Stabilitas dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Bank Indonesia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mencermati perkembangan inflasi serta prospek pertumbuhan ekonomi nasional.

Jika ada ruang untuk menurunkan suku bunga di masa depan, BI akan mempertimbangkan langkah tersebut dengan tetap memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah dan kondisi ekonomi global.

Selain menjaga kebijakan suku bunga, BI juga akan terus menjalankan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah melalui kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), yang ditingkatkan guna mendorong kredit dan pembiayaan perbankan ke sektor-sektor prioritas.

Sektor-sektor ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja, yang sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah.

Di sisi lain, kebijakan sistem pembayaran juga menjadi perhatian utama BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi sektor perdagangan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Upaya yang dilakukan mencakup penguatan infrastruktur sistem pembayaran serta perluasan akseptasi digitalisasi sistem pembayaran agar lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.

Koordinasi dengan Pemerintah dan KSSK

Untuk menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam tujuh bidang utama, yaitu:

  1. Stabilisasi nilai tukar rupiah dalam rangka menghadapi gejolak ekonomi global.
  2. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal guna memastikan keseimbangan ekonomi yang berkelanjutan.
  3. Dorongan terhadap pembiayaan ekonomi melalui Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
  4. Akselerasi transformasi digital dalam sistem pembayaran guna meningkatkan efisiensi transaksi keuangan.
  5. Peningkatan hilirisasi dan ketahanan pangan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian domestik.
  6. Dukungan terhadap pengembangan ekonomi hijau, syariah, dan inklusi keuangan sebagai bagian dari strategi pertumbuhan jangka panjang.
  7. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) guna mendukung daya saing ekonomi nasional.

Selain bekerja sama dengan pemerintah, BI juga terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Langkah ini bertujuan untuk memastikan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dan mampu menghadapi berbagai tantangan global yang bisa berdampak pada perekonomian Indonesia.

Dengan keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 5,75%, Bank Indonesia menegaskan komitmennya dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas moneter, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi.

Ke depan, BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi global maupun domestik guna memastikan kebijakan yang diambil tetap optimal dalam menghadapi tantangan ekonomi yang ada.

Sebelumnya diberitakan, Pelaku pasar keuangan di Indonesia tengah menanti keputusan penting dari Bank Indonesia (BI) terkait kebijakan suku bunga, yang akan diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Februari 2025.

Keputusan ini menjadi sorotan utama karena akan menentukan arah kebijakan moneter dalam beberapa bulan ke depan.

Sejak awal tahun, BI telah mengambil langkah mengejutkan dengan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75% pada Januari 2025.

Pemangkasan ini dilakukan sebagai strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Namun, masih ada perbedaan pandangan di kalangan analis mengenai keputusan BI selanjutnya.

Sebagian memperkirakan BI akan kembali memangkas suku bunga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sementara yang lain memproyeksikan bank sentral akan mempertahankan suku bunga guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

IHSG Tiga Hari Berturut-turut Menguat, Investor Optimistis

Di tengah ketidakpastian kebijakan moneter, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru menunjukkan tren positif. Pada perdagangan Selasa (18/02), IHSG ditutup menguat 0,62% ke level 6.873,54.

Kenaikan ini memperpanjang tren positif IHSG selama tiga hari berturut-turut, mengindikasikan optimisme investor terhadap pasar saham domestik.

Sebanyak 354 saham mengalami kenaikan harga, sementara 196 saham mengalami penurunan, dan 238 saham stagnan.

Total nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp12,68 triliun, dengan volume perdagangan sebesar 22,89 miliar saham dan frekuensi transaksi mencapai 1.231.251 kali.

Mayoritas sektor saham turut mengalami penguatan. Sektor barang konsumsi non-primer mencatat kenaikan tertinggi sebesar 2%, diikuti oleh sektor kesehatan (1,5%), sektor keuangan (1%), sektor barang konsumsi primer (0,9%), dan sektor perindustrian (0,7%).

Kenaikan di sektor-sektor ini mengindikasikan adanya keyakinan pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi domestik.

Rupiah Melemah, Tekanan DXY Jadi Faktor Utama

Berbeda dengan IHSG yang menguat, nilai tukar rupiah justru mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Data Refinitiv menunjukkan rupiah terdepresiasi 0,37% ke level Rp16.270 per dolar AS pada perdagangan Selasa. Pelemahan ini mengakhiri tren penguatan rupiah yang sebelumnya terjadi selama empat hari berturut-turut.

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) tercatat mengalami kenaikan 0,29% ke level 106,88. Angka ini lebih tinggi dibandingkan posisi sehari sebelumnya yang berada di 106,57. Kenaikan DXY mencerminkan menguatnya dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah.

Tekanan terhadap rupiah terutama dipicu oleh ketidakpastian global serta pergerakan dolar AS yang cenderung menguat menjelang rilis risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) dari The Fed.

Investor Berburu Obligasi, Lelang SUN Catat Permintaan Tinggi

Di pasar surat utang, investor masih menunjukkan minat tinggi terhadap Surat Utang Negara (SUN). Yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mengalami penurunan sebesar 7,1 basis poin (bps) ke level 6,76%, mencerminkan meningkatnya permintaan investor terhadap obligasi pemerintah.

Selain itu, lelang SUN yang digelar pada perdagangan Selasa mencatat penawaran masuk yang sangat tinggi, mencapai Rp84 triliun.

Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan sebesar Rp30 triliun, melampaui target indikatif sebesar Rp26 triliun.

Minat tinggi terhadap obligasi pemerintah ini mengindikasikan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia, meskipun rupiah mengalami tekanan.

Wall Street Pecahkan Rekor, Sentimen Positif untuk Pasar Global

Di pasar global, indeks utama di Wall Street mencatat rekor tertinggi. Indeks S&P 500 menguat 0,24% ke level 6.129,58, setelah sebelumnya menyentuh rekor intraday 6.129,63. Indeks Nasdaq juga naik 0,07% ke level 20.041,26, sementara Dow Jones Industrial Average menguat tipis 10 poin atau 0,02% ke 44.556,34.

Sektor energi menjadi pendorong utama kenaikan di S&P 500, dengan saham Halliburton dan Valero Energy memimpin penguatan.

Namun, tekanan terjadi di sektor barang konsumen dan layanan komunikasi, dengan saham Meta Platforms turun 2,7% setelah reli selama 20 hari berturut-turut.

Chris Larkin, Direktur Pelaksana E-Trade dari Morgan Stanley, mengatakan bahwa pasar masih berada dalam fase konsolidasi dan mencari arah pergerakan yang lebih jelas. Faktor-faktor eksternal seperti kebijakan tarif AS dan laporan keuangan sektor ritel menjadi perhatian utama pelaku pasar.

Sementara itu, Sandy Villere, Manajer Portofolio di Villere & Co, menilai bahwa investor masih mencermati dampak tarif serta valuasi pasar yang dianggap cukup tinggi.

“Kami merasa pasar saat ini cukup mahal, dan investor masih mencerna berbagai faktor ekonomi global,” ujarnya.

Pasar Menunggu Keputusan BI dan Risalah FOMC The Fed

Ke depan, pelaku pasar akan mencermati dua faktor utama yang akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan: keputusan RDG BI dan risalah pertemuan FOMC dari The Fed.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 19 lembaga/institusi menunjukkan bahwa mayoritas analis memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga di level 5,75%.

Namun, delapan dari 19 lembaga tersebut memperkirakan BI akan memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke 5,50%, sebagai langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, risalah FOMC yang akan dirilis pada Rabu waktu AS akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneter The Fed.

Jika The Fed tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, dolar AS berpotensi menguat lebih lanjut, yang bisa menambah tekanan bagi rupiah.

Dengan berbagai faktor eksternal dan domestik yang masih berkembang, pergerakan pasar keuangan Indonesia dalam beberapa hari ke depan akan sangat dinamis.

Pelaku pasar akan mencermati sinyal kebijakan moneter dari BI dan The Fed, sementara reli di Wall Street diharapkan dapat memberikan sentimen positif bagi pasar saham domestik.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news