Hari Kartini Diperinganti 21 April, Berikut Sejarah dan Makna Perjuangannya!

3 hours ago 3

KabarMakassar.com — Pada tanggal 21 April setiap tahunnya di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini. Peringatan tersebut bertujuan untuk mengenang serta menghormati jasa-jasa besar dari Raden Adjeng Kartini, yang dikenal sebagai sosok pahlawan perempuan Indonesia.

Kartini adalah tokoh penting dalam perjuangan emansipasi wanita, terkhususnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan dan kesetaraan.

Penetapan Hari Kartini sebagai hari peringatan nasional dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Hal tersebut secara resmi diatur melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei tahun 1964.

Dalam keputusan presiden tersebut, Kartini ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tidak hanya itu, keputusan tersebut juga menetapkan bahwa tanggal lahir Kartini, yakni 21 April, dijadikan sebagai hari besar nasional yang terus diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Indonesia.

Peringatan Hari Kartini memiliki makna yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Salah satu alasannya adalah karena Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam perjuangan emansipasi wanita di tanah air. Perjuangannya terutama difokuskan pada bidang pendidikan bagi kaum perempuan, yang kala itu masih sangat terbatas aksesnya.

Gagasan-gagasan Kartini tentang emansipasi wanita tidak muncul begitu saja, melainkan berkembang melalui proses yang panjang. Ia mulai memiliki pandangan yang kritis serta terbuka setelah melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan teman-temannya yang berasal dari Belanda. Melalui komunikasi itu ia kemudian mengetahui bagaimana kehidupan perempuan di Eropa yang jauh lebih bebas dan memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki, terkhususnya dalam hal pendidikan dan peran sosial.

Ketertarikannya terhadap pola pikir perempuan Eropa semakin tumbuh seiring dengan kebiasaannya membaca berbagai sumber bacaan. Ia memperoleh banyak informasi melalui surat kabar, majalah, hingga buku-buku berbahasa Belanda yang ia baca secara mandiri. Dari bacaan-bacaan tersebut, maka Kartini mulai membandingkan kondisi perempuan di Indonesia dengan perempuan di Eropa, dan timbullah keinginan dalam dirinya untuk membawa perubahan bagi kaum wanita pribumi.

Dilansir dari Kemdikbud, berikut disertakan sejarah Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April di Indonesia.

Pada tanggal 21 April tahun 1879, lahirlah seorang perempuan pribumi yang kelak dikenal sebagai tokoh penting dalam perjuangan hak-hak perempuan di Indonesia. Perempuan tersebut berhasil menggugah dan mengubah cara pandang masyarakat yang sebelumnya sangat tertutup terhadap peran perempuan dalam kehidupan sosial. Perempuan hebat itu bernama Raden Adjeng Kartini.

Kartini lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah, dan berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, menjabat sebagai Bupati Jepara pada masa itu. Sementara ibunya, M.A Ngasirah, merupakan kalangan rakyat biasa, sehingga membuat Kartini lahir dari latar belakang keluarga yang cukup beragam secara sosial.

Sejak kecil, Kartini tumbuh dalam lingkungan yang masih kental dengan budaya patriarki serta penuh diskriminasi terhadap perempuan. Ia menyadari bahwa adat istiadat yang berlaku pada waktu itu tidak memberi ruang serta kesempatan bagi perempuan, terutama perempuan pribumi, untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya kaum laki-laki.

Tetapi, karena ia berasal dari keturunan bangsawan, Kartini mempunyai hak istimewa yang tidak dimiliki oleh banyak perempuan lain pada zamannya. Keistimewaan itu memberinya peluang untuk bersekolah di ELS atau Europese Lagere School, yakni sebuah sekolah dasar khusus untuk anak-anak Eropa dan kaum elit pribumi.

Selama bersekolah di sana, Kartini sempat mempelajari berbagai pelajaran, salah satunya adalah bahasa Belanda. Walau begitu, pendidikan formalnya harus terhenti ketika usianya baru menginjak 12 tahun. Hal tersebut karena terdapat aturan adat yang masih membatasi ruang gerak perempuan dan mewajibkan mereka untuk menjalani masa pingitan sebagai persiapan menuju pernikahan.

Berbeda dengan Kartini, sebagian besar teman-teman sebayanya tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Pada usia yang seharusnya mereka habiskan untuk bermain serta belajar, banyak gadis justru harus menerima kenyataan pahit, mereka dipingit juga dipersiapkan untuk menjadi istri. Kondisi sosial tersebut tentu sangat memprihatinkan dan menjadi salah satu alasan kuat mengapa Kartini ingin memperjuangkan perubahan.

Setelah masa pendidikan Raden Adjeng Kartini selesai

Usai menyelesaikan pendidikan formalnya, Kartini tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena keterbatasan budaya dan aturan adat. Ia selanjutnya menghabiskan waktunya di rumah, tetapi hal itu tidak menghentikan semangat belajarnya.

Di rumah, Kartini terus belajar secara otodidak. Ia pun mulai aktif menulis surat dan menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabat pena yang sebagian besar berasal dari Belanda. Melalui surat-surat itu, ia kemudian bertukar pikiran, berbagi pandangan, dan menyampaikan perasaannya tentang kondisi perempuan di tanah air.

Dari relasi korespondensi tersebut, Kartini mendapat banyak akses terhadap buku-buku, surat kabar, serta majalah dari Eropa. Bacaan-bacaan itu banyak membahas mengenai kemajuan cara berpikir perempuan Eropa, terkhususnya terkait peran mereka dalam masyarakat, pendidikan, dan hak-hak yang mereka perjuangkan. Informasi-informasi baru itu memperluas wawasannya serta menumbuhkan semangat baru dalam dirinya.

Tulisan-tulisan yang ia baca menjadi pemicu munculnya kesadaran baru dalam hatinya. Ia mulai memiliki keinginan kuat untuk membantu kaum perempuan pribumi yang kala itu berada dalam posisi sosial yang sangat lemah dan kurang mendapatkan perhatian. Kartini ingin agar perempuan Indonesia mempunyai akses yang sama terhadap pendidikan dan kesempatan, sebagaimana yang dinikmati oleh perempuan-perempuan di Eropa.

Semangatnya itu kemudian ia tuangkan melalui berbagai tulisan yang ia kirimkan ke media. Salah satu majalah yang sering menjadi tempat ia menyalurkan gagasannya adalah De Hollandsche Lelie, yaitu sebuah majalah Belanda yang cukup terkenal pada masa itu. Melalui media inilah, ide-ide Kartini tentang perempuan serta keadilan sosial mulai dikenal.

Semakin banyak buku-buku berbahasa Belanda yang ia baca, semakin terbuka pula pemikirannya. Pengetahuannya tentang ilmu pengetahuan, kebudayaan, juga kehidupan sosial semakin berkembang pesat. Kartini tidak hanya fokus pada isu emansipasi wanita saja. Ia turut memperhatikan berbagai permasalahan sosial lain yang terjadi di sekitarnya.

Kartini melihat bahwa perjuangan perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi, juga persamaan hak di hadapan hukum merupakan bagian dari perjuangan sosial yang lebih luas yang harus diperjuangkan bersama-sama.

Saat Raden Adjeng Kartini menikah

Ketika usia Kartini menginjak 24 tahun, ia memasuki babak baru dalam hidupnya, yakni pernikahan. Ia menikah dengan seorang bangsawan bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Rembang.

Pernikahan tersebut berlangsung pada tanggal 12 November 1903. Suaminya merasa beruntung mampu menikahi Kartini, seorang perempuan cerdas, progresif, dan memiliki semangat yang tinggi untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Walau telah menikah, Kartini tidak berhenti memperjuangkan cita-citanya untuk memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap aktif menyuarakan hak-hak wanita, terkhususnya dalam bidang pendidikan. Bahkan, sang suami memberikan dukungan penuh terhadap gagasan serta perjuangan Kartini.

Salah satu bentuk nyata dukungan dari sang suami adalah dengan memberikan izin kepada Kartini untuk mendirikan sebuah sekolah khusus bagi perempuan. Sekolah tersebut dibangun di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, tempat sang suami menjalankan tugas sebagai bupati.

Kehidupan rumah tangga Kartini pun berjalan dengan penuh harapan. Tidak lama setelah menikah, ia dan suaminya dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Kehadiran sang buah hati menjadi kebahagiaan tersendiri dalam kehidupan mereka.

Tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Hanya berselang empat hari setelah melahirkan, tepatnya pada tanggal 19 September 1904, Kartini pun meninggal dunia. Kepergiannya yang begitu cepat tentu menyisakan duka mendalam, baik bagi keluarganya maupun bagi bangsa Indonesia yang telah ia inspirasi.

Walau begitu, wafatnya Kartini tidak menghapus jejak perjuangannya. Warisan pemikirannya terus hidup serta menjadi sumber inspirasi bagi gerakan perempuan di Indonesia sampai saat ini.

Pemikiran Raden Adjeng Kartini

Salah satu sahabat pena Kartini yang berasal dari Belanda adalah Mr. J. H. Abendanon. Ia tidak hanya sekadar teman korespondensi, tetapi juga seorang tokoh penting karena menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan di pemerintahan Hindia Belanda pada masa tersebut.

Abendanon sangat terkesan dengan isi surat-surat yang dikirimkan oleh Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa. Surat-surat itu tidak hanya mencerminkan kecerdasan Kartini, namun juga menggambarkan pemikirannya yang maju tentang kebebasan perempuan juga kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan hukum.

Karena menganggap surat-surat itu amat berharga dan memiliki nilai pemikiran yang tinggi, Abendanon memutuskan untuk mengumpulkan seluruh surat yang pernah ditulis Kartini. Kemudian setelah melalui proses penyusunan, surat-surat tersebut lalu dibukukan dan diterbitkan.

Buku tersebut kemudian diberi judul Door Duisternis tot Licht, yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Judul tersebut mencerminkan semangat Kartini dalam mengangkat derajat perempuan dari keterbelakangan menuju pencerahan.

Buku karya Abendanon itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang sastrawan Indonesia terkenal, yakni Armijn Pane. Dalam versi terjemahannya, buku tersebut diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang kini telah dikenal luas sebagai karya yang merekam semangat perjuangan Kartini serta menjadi simbol kebangkitan kaum perempuan di Indonesia.

Perjuangan Kartini turut mendapat dukungan dari tokoh-tokoh politik etis pada masa itu. Salah satunya ialah Van Deventer, seorang tokoh penting dalam Politik Etis Belanda yang mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan bagi rakyat jajahan. Berkat semangat Kartini dan gagasan-gagasannya, Van Deventer pun mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang berfokus pada kaum perempuan.

Dari yayasan tersebut, lahirlah sejumlah sekolah wanita yang dibangun pertama kali di Semarang pada tahun 1912. Selain Semarang, sekolah-sekolah serupa turut didirikan di berbagai kota besar lainnya, misalnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan sejumlah wilayah lain di Indonesia.

Kartini sudah memberikan sumbangsih besar terhadap perubahan cara pandang masyarakat mengenai perempuan. Ia berhasil membuka jalan pikiran bagi kaum wanita untuk berani melangkah maju serta tidak lagi merasa kalah atau lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kartini dikenang sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. Sosoknya pun tetap hidup dalam semangat perempuan-perempuan Indonesia sampai saat ini. Dialah Kartini, pelita bagi kaum wanita.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news