Kawasan karst Gunung Sewu selama ini menjadi salah satu aset wisata alam terbesar di DIY, dengan potensi jasa budaya, rekreasi, dan ekowisata yang sangat luas. Berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi, kawasan ini menyumbang lebih dari 42.000 hektare jasa lingkungan rekreasi, atau sekitar 54% dari total bentang karst di wilayah tersebut.
Keindahan perbukitan karst dan garis pantai selatan sepanjang 73 kilometer menjadi magnet utama pertumbuhan wisata. Namun, melonjaknya aktivitas wisata massal mulai menimbulkan persoalan lingkungan yang tak bisa diabaikan. Sampah pengunjung yang tidak tertangani serta pembangunan amenitas yang mengabaikan ekosistem menjadi masalah yang paling sering muncul.
Kepala Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan (Biro PIWPP) Sekretariat Daerah DIY, Agnes Dhiany Indria Sari, menilai aktivitas wisata di kawasan karst perlu dikendalikan secara serius. “Saat ini wisata memang berkembang, tapi ada daya dukung dan daya tampung lingkungan yang harus dipatuhi. Kami perlu memastikan bahwa lingkungan karst tidak rusak hanya karena tekanan pariwisata,” ujarnya, Jumat (14/11).
Agnes menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat dan investor harus dibangun secara seimbang, tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Karst, menurutnya, adalah ekosistem yang harus dijaga agar tetap memberi manfaat bagi generasi berikutnya.
Muncul pula persoalan alih fungsi lahan pertanian yang berubah menjadi area pendukung pariwisata seperti akomodasi dan amenitas. Hal ini turut memicu persaingan pemanfaatan air antara sektor pertanian dan wisata. “Karena ini juga menyangkut ekosistem flora dan fauna yang harus kita jaga. Kita perlu memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan ketika pariwisata makin marak,” kata Agnes.
Biro PIWPP mencatat nilai jasa rekreasi berbasis komunitas di kawasan karst mencapai sekitar Rp42 miliar per tahun. Potensi tersebut dinilai dapat memberi manfaat lebih besar bagi masyarakat apabila pengelolaan ekowisata dilakukan secara terarah dan tetap menjaga karakteristik karst. (Advertorial)

Tekanan Semakin Terasa
Hingga kini, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tekanan terhadap lingkungan karst semakin kuat. Kapasitas kunjungan yang melebihi daya tampung, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata, serta minimnya standar keselamatan bagi wisatawan menjadi sejumlah tantangan yang harus segera diatasi. Bahkan, gangguan monyet ekor panjang di kawasan pertanian disebut meningkat akibat pembukaan lahan secara besar-besaran.
Pemda DIY bersama pemerintah kabupaten diminta memperketat aturan aktivitas wisata di seluruh bentang karst. Wisata massal hanya diperbolehkan di zona tertentu sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DIY 2023–2043. Sementara itu, pengembangan wisata di luar zona tersebut diarahkan pada wisata minat khusus yang menyesuaikan daya dukung ekosistem.
Seluruh kegiatan wisata di luar zona wisata massal wajib mengacu pada konsep minat khusus, termasuk penelusuran karst, wisata edukasi geologi, atau ekowisata berbasis komunitas. Kegiatan komersial berskala besar yang mengubah bentang alam karst tidak diperbolehkan demi menjaga keseimbangan ekologis.
Pengaturan teknis mengenai penanganan kerusakan lingkungan karst juga perlu segera disusun. Pengelolaan wisata berbasis minat khusus diwajibkan memiliki SOP keselamatan, perlengkapan pendukung, serta pemandu tersertifikasi untuk memastikan keamanan pengunjung tanpa mengabaikan aspek ekologis.
Menurut Kepala Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan (Biro PIWPP) Sekretariat Daerah DIY, Agnes Dhiany Indria Sari, dengan regulasi yang lebih terarah, Pemda DIY berharap kawasan karst tetap terjaga sebagai ruang ekowisata berkualitas dan memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

17 hours ago
10
















































