Suasana Sidang Komisi Irigasi DIY di DPUPESDM DIY, pada Kamis (16/10/2025). Harian Jogja - Ariq Fajar Hidayat
BANTUL—Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman dan bangunan komersial menjadi salah satu tantangan utama dalam menjaga keberlanjutan sistem irigasi di DIY.
Persoalan ini mencuat dalam Sidang Komisi Irigasi ketiga yang digelar Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (DPUPESDM) DIY dengan tema Sinergitas Perencanaan, Peningkatan, Pemeliharaan, dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Menuju Sistem Irigasi DIY yang Efektif dan Berkelanjutan.
Kabid Sumber Daya dan Drainase DPUPESDM DIY, Subarjo, mengatakan tekanan terhadap lahan pertanian semakin besar akibat tingginya nilai ekonomi lahan ketika dialihfungsikan menjadi kos-kosan, warung, atau bangunan lainnya. “Lahan pertanian sudah tergerus dan tergusur oleh pemukiman karena secara ekonomi lebih menjanjikan,” ujarnya seusai Sidang Komisi Irigasi, Kamis (16/10/2025).
Menurut Subarjo, situasi ini dilematis karena sekadar mengandalkan aturan atau imbauan tidak cukup efektif menahan laju konversi lahan. Ia menilai perlu ada langkah kreatif dari pemerintah, salah satunya dengan skema penyewaan lahan produktif.
“Pemerintah bisa menyewa lahan pertanian teknis yang produktif, tapi pengelolaannya tetap dilakukan pemilik. Kalau hanya mengandalkan imbauan, masyarakat merasa tidak cukup, apalagi kalau lokasinya dekat kampus,” jelasnya.
Dia menyebut wilayah yang paling rawan tergerus pembangunan berada di kawasan perbatasan Kota Jogja, terutama di sekitar Ring Road. Beberapa titik yang mengkhawatirkan antara lain Maguwoharjo, Sleman, serta daerah Sewon di Bantul.
Selain tekanan alih fungsi lahan, persoalan anggaran juga menjadi tantangan tersendiri. Subarjo mengungkapkan bahwa dalam dua tahun ke depan, yakni 2025 dan 2026, DPUPESDM DIY masih menghadapi situasi efisiensi anggaran.
Keterbatasan anggaran membuat beberapa saluran irigasi yang seharusnya direhabilitasi hanya bisa diperbaiki secara terbatas. “Banyak saluran yang mestinya direhab total, tapi karena dana terbatas akhirnya hanya ditambal-tambal. Meski begitu, secara fungsi tetap kita pastikan air bisa mengalir,” ujar dia.
Subarjo menegaskan, kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan sistem irigasi di DIY agar jaringan irigasi tetap berfungsi optimal meski menghadapi tekanan konversi lahan dan keterbatasan anggaran.
Fungsional Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Hanugerah Purwadi, menekankan pentingnya indikator keberhasilan pemeliharaan jaringan irigasi untuk memastikan sistem berjalan optimal.
Menurutnya, indikator tersebut antara lain kesesuaian kapasitas saluran dengan rencana, terjaganya kondisi fisik bangunan dan saluran, minimnya biaya rehabilitasi, serta tercapainya umur rencana jaringan irigasi. “Irigasi yang baik bukan hanya airnya cukup, tapi juga tepat waktu dan merata ke seluruh petak yang diairi. Selain itu, sistem harus lentur terhadap perubahan kebutuhan di lapangan,” ucap dia. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News