Beban Pendidikan danamp; Digital Picu Masalah Mental Anak

6 hours ago 2

Beban Pendidikan & Digital Picu Masalah Mental Anak Foto ilustrasi kesehatan mental. / Freepik

Harianjogja.com, JOGJA—Kementerian Kesehatan menyebutkan berdasarkan data Cek Kesehatan Gratis (CKG), dua juta anak di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Psikolog melihat beberapa faktor memicu tingginya masalah kesehatan mental pada anak.

Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Indria Laksmi Gamayanti, menjelaskan tren saat ini beberapa penyebab masalah kesehatan mental pada anak. Pertama, beban sekolah yang tinggi.

"Jika tidak disertai dengan dukungan sosial dan emosi akan berpotensi memberikan tekanan yang tinggi pada anak," ujarnya, Jumat (31/10/2025).

Kedua, model pendidikan dan pengasuhan yang kurang berkesadaran rasa dan cenderung menitikberatkan pada hasil atau nilai akhir dan capaian prestasi. Ketiga, paparan digital yang berlebihan dari gawai yang membuat anak kecanduan.

"Kemampuan konsentrasi terpengaruh, kurang terasah rasa, terpapar dunia luar secara berlebihan, takut berbeda, FOMO [fear of missing out], fenomena cyberbullying, dan lainnya menjadikan kemampuan regulasi emosi tidak berkembang dengan baik," ungkapnya.

Lalu ada juga dampak pascapandemi Covid-19, yang menjadikan anak terbiasa dengan isolasi sosial, kemampuan interaksi sosial tidak terasah, dan mungkin ada pengalaman traumatis. Kemudian, kondisi keluarga yang kurang mendukung kesehatan mental anak.

"Menurunnya kohesivitas keluarga, komunikasi yang kurang, orang tua sibuk, singkat kata anak kurang terdampingi atau dibersamai oleh orang tua. Bahasa orang tua tanpa disadari, dirasakan anak lebih menuntut daripada membimbing," paparnya.

Untuk mengantisipasi hal ini, orang tua berperan dengan meningkatkan komunikasi, kebersamaan, dan kehangatan. "Menerapkan pola asuh yang berkesadaran rasa. Gunakan bahasa memotivasi yang hangat, dengan menerima anak sebagaimana adanya, tidak dalam bahasa yang menuntut," katanya.

Orang tua perlu menjadi model bagi anak untuk kemampuan regulasi diri dan coping atau pengatasan masalah, menjalin kerja sama dengan pihak sekolah, dan tidak menuntut anak secara akademis. "Memberikan banyak kegiatan yang lebih mengasah keterampilan dan pengolahan rasa atau regulasi diri," ujarnya.

Puskesmas kini menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan jiwa anak dan remaja, sesuai Permenkes No. 19/2024 yang menetapkan psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan wajib di fasilitas pelayanan primer.

"Pelayanan psikolog klinis di puskesmas akan sangat bisa membantu, untuk melakukan asesmen dan intervensi dini. Perlu ditingkatkan agar layanan psikolog di puskesmas lebih efektif dengan melakukan layanan secara integratif, menghubungkan keluarga, sekolah, dan komunitas, bukan sekadar individual case management," kata dia.

Pemerintah juga perlu mengambil peran dengan penguatan layanan kesehatan mental primer. "Memastikan ketersediaan psikolog klinis di puskesmas, mendorong pendidikan profesi psikolog klinis. Psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan yang sah dan diakui oleh undang-undang kesehatan perlu ditingkatkan produksinya," katanya.

Pemerintah juga bisa mengevaluasi sistem pendidikan yang kurang melihat pada pembentukan karakter bangsa dan kesehatan mental anak. "Evaluasi pada penggunaan digital pada anak, pembatasan akses digital pada anak tanpa pemantauan atau bimbingan orang tua," paparnya.

Di sisi lain juga mendorong inovasi pada pelayanan kesehatan digital yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memperluas jangkauan. Kajian dan riset pada kesehatan mental anak dikaitkan dengan kondisi sosial terkini.

Plt. Kepala Dinas Kesehatan DIY, Akhmad Akhadi, menuturkan data CKG DIY ada di puskesmas, dan tidak semua CKG termasuk pemeriksaan kesehatan mental. "Masalah kesehatan mental sangat luas spektrumnya, mulai dari gangguan tidur sampai gangguan emosional. Butuh waktu untuk mengompilasi data hasil CKG di DIY," ungkapnya.

Adapun beberapa tantangan kesehatan mental di DIY di antaranya tingginya stigma di masyarakat terhadap Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) dan belum semua puskesmas memiliki tenaga psikolog klinis, terutama di Kulonprogo dan Gunungkidul.

"Sementara ini, penanganan Kesehatan Jiwa di Puskesmas ditangani oleh tenaga terlatih kesehatan jiwa terpadu, bukan psikolog. Masih perlu peningkatan kapasitas terkait penanganan kesehatan jiwa," kata Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti.

Beberapa hal yang menjadi catatan Pemda DIY yakni pertama, pemenuhan tenaga kesehatan jiwa atau tenaga psikolog klinis di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Kedua, perlu peningkatan program kesehatan jiwa remaja/anak di sekolah. Ketiga, penyediaan anggaran kesehatan jiwa di setiap kelurahan serta adanya pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news