Belajar Bahasa Inggris untuk Generasi Digital Native

10 hours ago 6

Belajar Bahasa Inggris untuk Generasi Digital Native Sucipto, M.Pd, B.I., Ph.D., Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan

Anak-anak hari ini belajar alfabet bukan dari papan tulis, melainkan dari layar sentuh. Mereka mengenal kata “apple” bukan dari buku gambar, tetapi dari video YouTube atau aplikasi permainan bahasa.

Generasi ini yang disebut digital native, tumbuh di dunia yang bergerak cepat, visual, dan interaktif.

Karena itu, ketika pemerintah menetapkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di Sekolah Dasar mulai 2027, tantangan utamanya bukan hanya pada kurikulum, tetapi juga, siapkah para guru memahami cara belajar anak-anak yang hidup di dunia digital?

Penelitian pendidikan menunjukkan bahwa anak-anak generasi digital memiliki cara berpikir dan belajar yang sangat berbeda. Mereka berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain dengan cepat, lebih fokus pada visual dan suara ketimbang teks panjang, dan belajar lebih efektif melalui pengalaman langsung.

Sejak awal 2000-an, Marc Prensky memperkenalkan istilah digital native untuk menggambarkan generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi. Mereka bukan sekadar pengguna alat, melainkan bagian dari ekosistem digital itu sendiri.

Di usia sekolah dasar, kemampuan otak anak masih lentur dan terbuka terhadap pola bahasa baru. Inilah masa di mana anak mampu menyerap bunyi, struktur, dan makna bahasa secara alami bila lingkungan belajarnya mendukung.

Namun, kemampuan alami ini tidak akan berkembang jika metode pengajaran masih kaku dan menakutkan. Anak-anak tidak bisa hanya diminta menghafal daftar kata atau menyalin teks.

Mereka belajar bahasa dengan cara mengalaminya, berbicara, bernyanyi, bercerita, dan bermain peran bersama teman-teman mereka.

Stephen Krashen, pakar pemerolehan bahasa, menegaskan bahwa suasana belajar yang menyenangkan dan bebas tekanan membantu anak menyerap bahasa dengan lebih baik. Dalam suasana yang penuh tawa dan rasa aman, anak-anak belajar tanpa beban karena tidak takut salah. Bahasa pun menempel secara alami dalam pikiran mereka melalui pengalaman sehari-hari yang menggembirakan.

Ketika anak merasa bahagia dan terlibat penuh, mereka bukan hanya mengingat kata, tetapi memahami maknanya. Di sinilah terjadi pembelajaran mendalam atau yang disebut John Hattie sebagai deep learning: proses belajar yang menghubungkan pengetahuan, perasaan, dan makna.

Suasana yang menyenangkan atau joyful learning menjadi pintu masuk bagi deep learning, karena kegembiraan membuat anak berani mencoba, berpikir, dan berimajinasi tanpa takut salah. Dalam ruang belajar yang penuh makna dan kebahagiaan seperti ini, bahasa tumbuh sebagai bagian dari kehidupan.

Desainer Pengalaman Belajar

Menghadapi generasi digital native, guru Bahasa Inggris SD tidak cukup hanya menjadi pengajar. Mereka harus berperan sebagai desainer pengalaman belajar, orang yang menciptakan ruang kelas yang hidup, kolaboratif, dan bermakna.

Guru perlu mengubah kelas menjadi ruang komunikasi yang natural: anak-anak diajak berbicara, bernyanyi, dan bermain dalam Bahasa Inggris tanpa rasa takut dinilai salah. Teknologi bisa menjadi sahabat baru dalam proses ini.

Aplikasi seperti Canva for Education, Kahoot, atau Wordwall dapat membantu menciptakan aktivitas yang interaktif dan menyenangkan.

Namun, teknologi hanyalah alat. Nilai yang ditanamkan melalui proses belajar itulah yang menentukan arah pendidikan.

Guru perlu memastikan anak tidak hanya pandai menggunakan aplikasi, tetapi juga memahami empati, tanggung jawab, dan etika berkomunikasi di dunia digital.

Teknologi dan Hati

Kebijakan wajib Bahasa Inggris di SD membuka peluang besar, tetapi juga menuntut kesiapan besar. Pemerintah perlu memastikan pelatihan guru tidak hanya fokus pada kemampuan bahasa, tetapi juga pada digital pedagogy, kemampuan mengajar dengan teknologi secara kreatif dan manusiawi.

Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan guru harus mempersiapkan calon pendidik yang memahami karakter anak digital native. Guru di era ini perlu menjadi jembatan antara dunia digital anak dan nilai-nilai kehidupan nyata: kerja sama, empati, dan tanggung jawab sosial.

Bahasa Inggris hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan sejati pendidikan bahasa adalah menumbuhkan manusia yang mampu berkomunikasi dengan akal dan hati, baik di ruang kelas maupun di dunia digital.

Anak-anak generasi digital native memang tumbuh di dunia layar, tetapi tugas kita adalah memastikan mereka tidak kehilangan sentuhan manusiawi di balik layar itu. Guru yang peka terhadap dunia anak zaman sekarang bukan hanya mengajarkan kata, tetapi juga makna: bagaimana berbahasa dengan sopan, empatik, dan beradab di dunia yang kian tanpa batas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news