Diduga Langgar Aturan OJK, Nasabah Gugat BPR di PN Bantul

3 hours ago 1

Harianjogja.com, BANTUL – Adlerian Prastawa warga Palbapang, Bantul melayangkan gugatan ke salah satu bank perekonomian rakyat (BPR) di wilayah ini dengan tuduhan perbuatan melawan hukum.

Kasus perdata ini masuk ke meja hijau setelah tiga pegawai BPR tersebut mendatangi rumahnya tanpa janji, diduga di luar jam penagihan yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta memotret dirinya dan anaknya tanpa izin.

BACA JUGA: Pembiayaan Sertifikasi Halal di Bantul Dipangkas, UMKM Terdampak

Adlerian menilai tindakan itu telah merendahkan martabat keluarganya. “Tanggal 29 April 2025 tiga orang pegawai BPR datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Mereka mengambil foto saya dan anak saya tanpa izin. Bahkan ada ucapan yang bernada ancaman. Harga diri saya dan anak saya tercoreng,” ujarnya usai sidang yang digelar Kamis (11/9/2025) sore. 

Menurutnya, sehari sebelumnya ia sudah berkomunikasi langsung dengan manajer BPR itu mengenai kewajibannya, dan berkomitmen membayar di akhir bulan. “Saya tetap jalankan kewajiban angsuran, gugatan ini bukan untuk menghindari hutang. Tapi tindakan mereka sudah di luar batas,” katanya.

Dalam gugatannya, Adlerian menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp50 miliar. Ia menyebut nilai tersebut bukan untuk mengukur harga diri maupun anaknya, melainkan bentuk pertanggungjawaban hukum. “Anak saya tidak bisa diukur nilainya, berapa pun tidak sebanding. Tapi saya tetap harus mencantumkan kerugian materiil,” imbuhnya.

Kuasa hukum penggugat, Kennedy Hasudungan Manihuruk menyebut, tindakan pegawai bank itu jelas melanggar POJK No. 22/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, khususnya aturan mengenai jam kunjungan penagihan.

“Jam kunjungan yang sah hanya pukul 08.00 sampai 20.00, Senin sampai Sabtu. Di luar itu tidak boleh. Faktanya mereka datang di luar jam yang ditentukan, tanpa konfirmasi. Lebih parah lagi, foto anak klien kami masuk ke grup internal pegawai bank. Ini sangat berbahaya, apalagi menyangkut anak di bawah umur yang dilindungi undang-undang,” jelas Kennedy.

Ia menambahkan, sebelum melayangkan gugatan, pihaknya sempat mengadukan kasus ini ke OJK. Namun, tidak ada hasil mediasi yang memuaskan. “Akhirnya klien mencari kepastian hukum lewat PN. Intinya, kami ingin ini jadi pelajaran bagi semua pelaku usaha jasa keuangan agar patuh aturan,” katanya.

Perkara ini kini telah memasuki sidang ke-7 dengan agenda pemeriksaan bukti surat dari tergugat, tetapi lantaran tergugat tidak hadir dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Eko Arief Wibowo dengan hakim anggota Dwi Melaningsih Utami dan Silvera Sinthia Dewi itu, maka majelis sepakat menunda sampai pekan depan 18 September 2025. 

Sementara Ketua Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) DIY, Wulfram Margono menegaskan, mekanisme penagihan utang nasabah di lingkungan BPR sudah diatur jelas dalam POJK. Aturan itu antara lain mengatur batasan durasi jam penagihan serta menekankan pendekatan humanis dalam berinteraksi dengan debitur.

“Kalau soal teknis penagihan itu domain masing-masing BPR, bukan asosiasi. Perbarindo hanya wadah, sementara aturan dan sosialisasi terkait sudah langsung dilakukan oleh OJK,” kata Wulfram.

Ia menambahkan, Perbarindo tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi secara detail satu per satu praktik penagihan di lapangan. Namun, aturan yang sudah ditetapkan OJK bersifat mengikat dan wajib dijalankan oleh seluruh BPR di Indonesia. “Karena sudah aturan OJK, ya otomatis semua BPR harus melaksanakan. Itu bagian dari ketentuan perlindungan konsumen,” pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news