Sejumlah pemeran film Singsot: Siulan Kematian berfoto bersama seusai menonton di Cinepolis, Lippo pLaza, Jogja, Jumat (7/3/2025). - Istimewa.
Harianjogja.com, JOGJA—Anda tentu pernah mendengar atau bahkan merasakannya sendiri ketika singsot atau bersiul di waktu tertentu khususnya Maghrib atau jelang malam dilarang oleh orang tua. Tidak ada dasar yang jelas, namun mitos ini sudah menjadi tradisi turun temurun, bahwa bersiul di waktu malam dianggap kurang baik.
Mitos ini diangkat dalam sebuah film horor dengan konsep kearifan lokal tersebut bertajuk Singsot: Siulan Kematian. Film ini sebelumnya digarap dalam format pendek, 14 menit dan mendapatkan penghargaan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2016.
BACA JUGA : Film Djuanda Pemersatu Laut Indonesia, Serukan Semangat Nasionalisme untuk Generasi Muda
Film besutan sutradara Wahyu Agung Prasetyo ini kemudian diproduksi ulang melalui versi panjang yang akan tayang perdana di bioskop pada 13 Maret 2025. Masyarakat berkesempatan menonton perdana pada Jumat (8/5/2025) di Cinepolis, Lippo Plaza, Jogja.
Deretan aktor teater asal Jogja terlibat dalam film ini. Di antaranya Ardhana Jovan berperan sebagai Ipung, Landung Simatupang dan Sri Isworowati memerankan Mbah Lanang dan Mbah Wedok, Siti Fauziah sebagai Wiwik, Jamaludin Latif berperan sebagai Agus Pete, Teguh Mahesa berperan sebagai Mbah Darmo dan Fajar Suharno sebagai Mbah Marno.
Secara umum menceritakan seorang anak bernama Ipung yang tinggal bersama kakek dan neneknya. Ipung selalu diingatkan agar tidak bersiul saat senja. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, siulan di waktu Magrib diyakini dapat menarik makhluk gaib.
"Film ini diadaptasi dari pengalaman yang tumbuh di masyarakat, khususnya orang Jawa. Bahwa ada mitos jangan bersiul atau singsot di saat Magrib. Bahkan dulu, saya sendiri sering diingatkan oleh orang tua saya terkait ini [mitos larangan bersiul]," katanya kepada wartawan di Jogja, Jumat.
Oleh karena itu ada alasan basis kearifan lokal budaya yang kuat di balik film tersebut. Oleh karena itu tentu ada pesan moral dan budaya yang ingin disampaikan lewat film tersebut terutama agar menghormati dan menjaga tradisi yang sudah turun temurun.
Menurutnya film tersebut mengangkat tentang kepercayaan yang hidup di tengah masyarakat. Karena banyak orang mungkin menganggapnya larangan bersiul itu hanya sekadar mitos, tetapi di balik itu ada nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Meski dikemas dalam bentuk horor namun Singsot: Siulan Kematian tidak semata-mata menampilkan ketakutan. "Bahwa ada pesan moral yang ingin disampaikan. Ini juga tentang bagaimana orang tua berusaha melindungi anak-anak mereka," katanya.
BACA JUGA : 1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
Landung Simatupang menilai film ini menarik perhatian karena menyuguhkan elemen budaya kearifan lokal Jawa yang kental. Mulai dari dialek, latar tempat, hingga filosofi dalam ceritanya. Oleh karena itu ia pun bangga kearifan lokal budaya diangkat dalam layar lebar.
"Harapannya pengalaman horornya tidak hanya menakutkan, tetapi juga memiliki kedalaman makna. Di Jawa, kita mengenal konsep gugon tuhon, kepercayaan turun-temurun. Mitos seperti larangan bersiul ini bisa saja memiliki makna lebih dalam yang belum kita pahami," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News