Gabin sudah lama meninggalkan desa. Tidak ada satu pun kabar yang terdengar sejak ia pergi bertahun-tahun. Orang-orang hampir tak ingat lagi tentang dirinya. Tidak ada cerita yang tersisa tentang keberadaannya. Bahkan bagi sebagian warga desa, Gabin sudah dianggap hilang. Terlupakan. Namun, kini, pada saat yang begitu tak terduga, Gabin muncul kembali. Di tengah suasana desa yang hangat oleh agenda pemilihan kepala desa, sosoknya tiba-tiba kembali terlihat.
Kehadirannya tentu saja membuat perbincangan di antara warga desa. Tidak hanya karena ia telah pergi begitu lama tanpa kabar, tetapi juga karena kemunculannya di saat desa penuh dengan ketegangan politik dan antusiasme menjelang pemilihan.
Namun, satu hal yang membuat warga bertanya-tanya adalah kenyataan bahwa Gabin tidak kembali ke rumah Wika, bapaknya. Rumah di mana ia dibesarkan, justru tidak menjadi tempat ia menetap. Gabin memilih tinggal di rumah yang disewanya dari salah satu warga desa.
“Bapakku sudah membenciku sejak aku pergi dulu,” jawab Gabin dengan suara datar ketika ada warga yang nekat bertanya kepadanya. Jawaban yang sederhana, namun menyimpan banyak misteri dan meninggalkan beragam dugaan di benak warga.
Bagi beberapa orang, jawaban Gabin terdengar begitu dingin dan penuh kepahitan. Mereka mencoba menebak apa yang mungkin terjadi di antara Gabin dan Wika. Rumor pun mulai tersebar ke seantero desa. Ada yang mengatakan bahwa hubungan mereka telah retak sejak lama, bahkan sebelum Gabin meninggalkan desa bertahun-tahun yang lalu. Tak sedikit yang berspekulasi bahwa ada peristiwa besar yang memicu Gabin pergi dan tak pernah kembali hingga saat ini.
Keputusan Gabin untuk menyewa rumah lain semakin memperkuat anggapan bahwa hubungan antara dia dan Wika sangat buruk. Warga mulai menyusun cerita masing-masing tentang kemungkinan alasan di balik keputusan tersebut. Namun, desas-desus menyebar tentang pertemuan antara Gabin dan Wika di batas desa beberapa waktu lalu. Beberapa warga yang kebetulan lewat di sana mengaku melihat mereka bertemu dan saling tatap muka. Dan ada seorang warga yang penasaran lalu menanyakan hal itu kepada Gabin.
“Pertemuan itu tidak sengaja. Dan dia tidak mau kuajak bicara,” jawab Gabin dengan nada datar, tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya. Seolah-olah pertemuan itu tak lebih dari kebetulan biasa yang tak layak untuk diingat.
Jawaban Gabin menambah tanda tanya di benak warga. Mereka semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan antara ayah dan anak itu. Mereka melihat sikap Gabin yang begitu tenang, namun dingin, seperti menyiratkan kekecewaan yang mendalam terhadap ayahnya. Seperti tidak ada kerinduan seorang anak yang lama terpisah dengan orangtuanya.
Di tengah hiruk-pikuk pemilihan kepala desa, dua nama mulai mencuat sebagai calon yang mendaftar: Wika, bapaknya Gabin, dan Jarwi, seorang pendatang yang belum lama tinggal di desa. Meskipun baru saja menetap, Jarwi dengan cepat berhasil meraih simpati sebagian besar warga. Dengan sikapnya yang ramah dan mudah bergaul, ia cepat menjadi sosok yang disenangi oleh banyak orang. Tidak sedikit yang memujinya, bahkan menjadikannya calon favorit dalam pemilihan itu.
Namun, Wika tidak gentar. Meskipun ia tahu bahwa persaingan itu tidak mudah, Wika tetap maju dengan tekad kuat untuk memenangkan pemilihan tersebut. Tapi sayangnya, tekad saja tidak cukup untuk meraih hati warga. Wataknya yang keras dan cenderung kaku membuatnya sulit untuk diterima sebagian besar warga desa. Ia sering kali dianggap arogan dan tak punya rasa empati terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat. Padahal, kedatangan Gabin bisa saja menjadi kesempatan emas bagi Wika untuk memperbaiki citranya. Kehadiran Gabin dapat menjadi simbol bahwa Wika adalah sosok yang peduli dengan keluarga, orang yang pantas dijadikan pemimpin karena memiliki keluarga yang solid. Tapi sayangnya, Wika melewatkan kesempatan itu begitu saja.
“Seandainya Wika mau menurunkan egonya dan menerima Gabin kembali ke rumah, mungkin warga akan beralih mendukungnya,” gumam salah seorang warga, menyayangkan sikap Wika.
Namun, Wika tampaknya tidak menyadari pentingnya arti welas asih di mata warga. Baginya, pemilihan itu adalah pertarungan yang harus ia menangkan dengan caranya sendiri. Ia percaya bahwa kekerasan hati dan tekadnya sudah cukup untuk meyakinkan warga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sikap keras Wika terhadap Gabin menjadi bumerang baginya. Dengan menolak anaknya, Wika semakin terlihat buruk di mata warga, dan banyak yang mulai bersimpati pada Gabin.
Seiring berjalannya waktu, warga mulai melihat Gabin dengan pandangan yang berbeda. Mereka melihat Gabin sebagai sosok yang tenang dan penuh pengendalian diri, meskipun tampaknya ia memendam banyak luka batin. Banyak dari mereka yang mulai bersimpati dan menganggapnya sebagai korban dari sikap keras kepala Wika. Bahkan, beberapa orang mulai menyarankan agar Gabin ikut mencalonkan diri sebagai kepala desa.
“Mas Gabin itu terpelajar dan sukses di kota. Kenapa tidak mencalonkan diri saja?” tanya salah seorang warga kepada yang lain, mencoba memunculkan idenya.
Dukungan terhadap Gabin semakin hari semakin besar, terutama setelah warga mengetahui bahwa Gabin juga memiliki usaha yang sukses di kota. Berita tentang keberhasilannya menyebar dengan cepat di antara mereka. Banyak warga mulai berpikir bahwa Gabin lebih pantas memimpin desa dibandingkan ayahnya. Mereka mulai membayangkan bagaimana sosok Gabin yang muda, cerdas, dan kuat dari segi ekonomi dapat membawa perubahan bagi desa mereka.
Waktu terus berjalan, dan dukungan terhadap Gabin semakin meningkat. Warga mulai terang-terangan menyatakan bahwa mereka akan memilih Gabin, meskipun hal itu berarti melawan Wika yang sudah lama menjadi tokoh desa. Seperti sebuah ironi, sikap Wika yang keras kepala justru berbalik menjadi keuntungan bagi Gabin. Bahkan, ketika Gabin secara resmi mencalonkan diri, sikap Wika tidak berubah. Ia masih memandang rendah pencalonan anaknya, menganggapnya sebagai langkah yang sia-sia.
Hari pemilihan akhirnya tiba. Tiga nama terdaftar sebagai calon: Wika, Jarwi, dan Gabin. Suasana desa penuh dengan ketegangan dan antusiasme. Para warga berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara, masing-masing membawa harapan akan perubahan di desa mereka.
Sore hari, setelah semua suara dihitung, hasilnya menunjukkan bahwa prediksi warga benar adanya. Wika menempati urutan ketiga, sementara Gabin menjadi pemenang dengan perolehan suara lebih dari lima puluh persen. Kemenangan Gabin disambut dengan sorakan gembira oleh pendukungnya. Namun, ketika hasil penghitungan diumumkan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Wika, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang keras kepala dan penuh ego, tiba-tiba bersorak gembira. Di hadapan warga, ia melangkah mendekati Gabin dengan senyum kemenangan di wajahnya.
Dengan suara yang cukup rendah, namun jelas terdengar oleh orang-orang di sekitarnya, Wika berkata kepada Gabin, “Dari awal bapak sudah yakin, rencana ini pasti berhasil. Warga kita memang gampang dibohongi,” ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Kata-kata itu seketika membuat Gabin terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Rencana? Kebohongan? Gabin tak percaya bahwa apa yang baru saja ia dengar adalah bagian dari permainan licik ayahnya. Semua yang terjadi, termasuk hubungan dingin mereka, tampaknya telah menjadi bagian dari strategi Wika untuk menciptakan citra korban bagi Gabin.
Gabin menatap Wika dengan tatapan penuh kecewa. Semua kejadian kini terasa begitu jelas baginya. Wika tidak pernah benar-benar membencinya; semua ini hanyalah sebuah skenario, sebuah permainan yang dirancang untuk memenangkan simpati warga. Gabin, tanpa sadar, telah menjadi pion dalam permainan ambisius ayahnya.
Di tengah kerumunan yang masih bersorak, Gabin merasakan kehampaan yang mendalam. Kemenangan yang diidam-idamkannya kini terasa seperti beban berat di pundaknya. Ia merasa dipermainkan, disakiti oleh seorang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Gabin berdiri, diam di antara kerumunan yang memujanya, tetapi ia hanya merasakan kehampaan. Di matanya, kemenangan ini tak lagi bermakna.
Beberapa warga mencoba mendekatinya untuk memberi ucapan selamat, namun Gabin perlahan melangkah mundur. Gabin tidak lagi tahu siapa yang harus dipercaya, bahkan dirinya sendiri. Dalam kebingungan dan kemarahan, Gabin meninggalkan kerumunan. Ia tidak lagi peduli pada sorakan warga atau kebanggaan ayahnya. Yang ia tahu, hidupnya telah kembali diliputi oleh kebohongan, dan kali itu, ia merasa harus membuat pilihan yang lebih besar, untuk dirinya sendiri.***
Yuditeha
Lahir di Sragen dan sekarang tinggal di Karanganyar – Jawa Tengah. Telah menerbitkan 24 buku, di antaranya 11 kumcer, 7 novel, dan 6 buku puisi. Buku Puisinya berjudul Dolanan, menjadi nomine Anugerah Prasidatama Jawa Tengah, 2019. Kumcernya berjudul Tanah Letung menjadi nomine Anugerah Prasidatama Jawa Tengah, 2021. Cerpennya berjudul Biografi Luka menjadi salah satu cerpen terbaik pilihan Kompas, 2023. FB: Yuditeha, IG: @yuditeha2