Sidang pembacaan putusan majelis hakim terkait kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Rabu (3/12/2025). (ANTARA - Agatha Olivia Victoria)
Harianjogja.com, JAKARTA— Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan bahwa penggunaan uang suap untuk kegiatan sosial tidak dapat dijadikan alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat meringankan hukuman terdakwa.
Penegasan itu disampaikan saat majelis menanggapi pembelaan hakim nonaktif Djuyamto dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode 2023–2025.
Hakim anggota Andi Saputra menyatakan tidak ada justifikasi atas penggunaan dana haram untuk tujuan sosial atau keagamaan.
“Tidak dibenarkan hasil korupsi digunakan untuk membangun pusat dakwah, masjid, atau sarana keagamaan lainnya. Hal itu sejalan dengan pesan kullu maa jaa'a minal-haraami fahuwa haraam, artinya segala yang berasal dari yang haram maka hukumnya haram,” ujarnya dalam sidang pembacaan putusan, Rabu.
Dalih Tidak Serakah Dinilai Keliru
Dalam pleidoinya, Djuyamto mengklaim bahwa sebagian besar uang suap yang diterima dipakai untuk kegiatan sosial, budaya, dan kemasyarakatan. Namun Majelis Hakim memandang alasan tersebut tidak memiliki relevansi yuridis.
Hakim Ketua Effendi menegaskan bahwa penggunaan uang hasil kejahatan, apa pun bentuknya, tidak menghapus sifat melawan hukum.
“Pada konteks Pasal 6 ayat (2) UU Tipikor, delik suap kepada hakim telah selesai ketika hakim menerima pemberian atau janji yang bertujuan mempengaruhi putusan,” ujarnya.
Effendi menambahkan bahwa delik pada pasal tersebut merupakan delik formal, sehingga tidak bergantung pada tujuan penggunaan uang setelah diterima.
Majelis bahkan menilai dalih bahwa uang dipakai untuk tujuan sosial justru kontraproduktif.
“Alasan tersebut mengandung cacat logika, bagian dari modus pencucian uang, serta menunjukkan kesadaran untuk menyembunyikan perbuatan,” tegasnya.
Majelis mencatat bahwa sejumlah pelaku korupsi sebelumnya juga pernah berdalih hal serupa—menggunakan dana hasil kejahatan untuk kegiatan sosial atau amal—namun secara konsisten ditolak pengadilan karena bertentangan dengan asas dasar hukum pidana.
Lima Hakim dan Panitera Divonis Bersalah
Kasus suap ini menyeret lima orang terdakwa, yakni:
Muhammad Arif Nuryanta, Ketua PN Jakarta Selatan periode 2024–2025
Djuyamto, hakim nonaktif
Ali Muhtarom, hakim nonaktif
Agam Syarief Baharuddin, hakim nonaktif
Wahyu Gunawan, mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara
Kelima terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap secara bersama-sama.
Daftar Hukuman
Pidana penjara:
Djuyamto: 11 tahun
Ali Muhtarom: 11 tahun
Agam Syarief Baharuddin: 11 tahun
Muhammad Arif Nuryanta: 12 tahun 6 bulan
Wahyu Gunawan: 11 tahun 6 bulan
Denda:
Masing-masing sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Uang pengganti:
Djuyamto: Rp9,1 miliar
Ali: Rp6,4 miliar
Agam: Rp6,4 miliar
Arif: Rp14,73 miliar
Wahyu: Rp2,36 miliar
Jika tidak dibayar, uang pengganti diganti dengan pidana:
4 tahun penjara untuk Djuyamto, Agam, Ali, dan Wahyu
5 tahun penjara untuk Arif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara

3 days ago
9

















































