Heboh Kampus Akan Diberi Izin Mengelola Tambang

12 hours ago 5

Harianjogja.com, JOGJA—Pertengahan Januari 2025, muncul wacana bahwa Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membuka peluang bagi Pemerintah untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM). Sebelumnya, aturan yang sama sudah berlaku untuk organisasi masyarakat keagamaan.

Baleg DPR RI berniat untuk menambahkan pasal dalam UU Minerba, yakni Pasal 51 A ayat (1) yang menyatakan bahwa WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Berikutnya Pasal 51 A ayat (2) mengatur soal pertimbangan pemberian WIUP ke perguruan tinggi, dan ayat (3) menyampaikan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP kepada perguruan tinggi diatur berdasarkan peraturan pemerintah (PP).

Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (27/1), menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

Ketua DPR RI Puan Maharani menilai pemberian izin tambang ke kampus berdasarkan yang diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) juga akan memberikan manfaat bagi rakyat. Puan mengatakan bahwa DPR akan membuka ruang seluas-luasnya untuk mendengar aspirasi dari seluruh elemen masyarakat hingga perguruan tinggi untuk pembahasan rancangan undang-undang tersebut.

BACA JUGA : Marak Tambang Pasir Ilegal di Kali Progo, DPUPESDM DIY Sebut Sudah Beri Teguran

"Saling mendengarkan dan memberikan masukan. Begitu juga DPR harus memberikan tanggapan apa yang kami bahas di DPR," kata Puan, belum lama ini.

Wakil rakyat ini mengatakan bahwa ruang-ruang aspirasi tersebut dibuka agar tidak ada salah persepsi atau kekeliruan komunikasi. Terkait dengan dugaan pemberian izin tambang ke kampus untuk membungkam kritik dari akademisi, dia mengatakan bahwa penyusunan RUU tersebut jangan sampai menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak. "Jadi, jangan belum apa-apa kita saling curiga, kita bicarakan bersama dahulu, poin-poin apa saja. Semoga ada jalan tengah, titik temu, supaya ini kelak bermanfaat bagi masyarakat," katanya.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Fauzan, mengatakan kementeriannya belum membahas secara formal terkait pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi. "Secara formal, internal kementerian belum pernah membahas tentang itu. Jadi, itu kan masih di tingkat DPR, sehingga terkait kesiapannya seperti apa kami belum melakukan pembahasan secara khusus," kata Fauzan.

Terkait dengan Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba), Fauzan menjelaskan bahwa hal ini bukan soal setuju atau tidak, melainkan masih perlu adanya kajian yang komprehensif terlebih dahulu. "Kalau sudah ada kajian secara komprehensif baru di situ dikeluarkan satu statement," katanya.

Meskipun demikian, Fauzan memastikan kementeriannya akan melakukan kajian mendalam mengenai potensi dampak pemberian WIUP terhadap perguruan tinggi. Hal ini penting untuk menilai kesiapan kampus dalam mengelola izin usaha pertambangan. Soal kemampuan perguruan tinggi untuk mengelola WIUP, Fauzan mengingatkan bahwa istilah "mampu" perlu dipahami dengan jelas.

"Pengertian mampu ini harus diterjemahkan. Kalau yang dimaksudkan mampu ini adalah mandiri, tentu investasinya juga tidak sedikit, tidak hanya secara finansial tapi tata kelolanya perlu adaptasi juga," ujarnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengharapkan perguruan tinggi tetap independen dan wacana memberikan izin usaha pengelolaan (IUP) tambang dapat melemahkan kemerdekaannya, karena itu meminta DPR RI tidak melanjutkan wacana tersebut. Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friyatna, mengingatkan universitas bukanlah badan hukum yang fokus utamanya mendapatkan keuntungan semata tapi seharusnya berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyiapkan generasi yang cerdas, handal dan berprestasi.

BACA JUGA : Tambang Pasir Picu Kerusakan Bangunan di Sungai Progo, Warga: Penegakan Hukum Solusinya

"Biarlah kampus tetap independen, jangan dirusak. Memasukkan perguruan tinggi sebagai pengelola tambang sama dengan menjerumuskan dan melemahkan kemerdekaan itu sendiri," ucapnya.

Menerima dan Menolak

Meski masih sebatas wacana, beberapa kampus di Indonesia mulai memerlihatkan kecenderungannya tentang potensi mengelola tambang. Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Mohammad Nasih, menyambut baik wacana pemerintah memberikan izin konsesi tambang untuk perguruan tinggi.

"Kalau kemudian niatan baik ini direalisasikan, tentu dengan berbagai macam syarat, kami juga akan menyambut dengan baik," katanya, belum lama ini.

Nasih mengatakan bisnis tambang bukanlah urusan yang mudah. Terlebih, jika tempat untuk mengelola tambang terpencil, akan lebih sulit. Sehingga, menurutnya, di tahap awal mengelola tambang, bisa saja perguruan tinggi belum bisa menghasilkan keuntungan atas bisnis tersebut.

"Tidak ada bisnis yang langsung tiba-tiba untung, pasti tidak ada. Paling tidak, diperlukan 3-4 tahun baru untung. Itu pun kalau kondisinya dalam tanda kutip ya, kandungan tambang dan lain-lainnya itu masih normal," kata Nasih.

Melihat izin konsesi tambang yang diterima oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, ia mengatakan tambang yang didapat adalah bekas atau yang sudah ditinggalkan oleh pengelola pendahulunya. Kondisi tersebut, kata dia, juga harus menjadi perhatian, termasuk harus ada identifikasi lebih lanjut mengenai bagaimana hasil dari pertambangannya hingga urusan konservasinya.

"Apa iya yang di dalam itu masih ada tambangnya atau tidak? Tidak ada yang tahu kan? Kalaupun ada jaraknya sudah di mana? Yang dekat-dekat dengan kota, yang di permukaan-permukaan udah habis. Kemudian, diperlukan penggalian yang sangat dalam lagi, yang itu investasinya mesti sangat-sangat besar," katanya.

Tetapi, lanjut dia, kalau nanti diidentifikasi itu benar-benar bisa memberikan manfaat, karena tujuannya adalah untuk meringankan PTN, tentu akan disambut baik. Dalam pengelolaan tambang ini, menurutnya, yang juga sangat penting adalah investasi, karena akan memerlukan investasi yang tidak sedikit, apalagi jika pengerukan tambang dilakukan cukup dalam.

"Tinggal kemudian hitung-hitungannya nanti nyucuk [sepadan] atau tidak. Kalau nggak nyucuk ya mohon maaf, tapi kalau masih nyucuk ya tentu perguruan tinggi akan dengan senang hati bisa menerima kesempatan yang sangat baik ini," kata Nasih.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, Fathul Wahid, mengatakan pengelolaan bisnis pertambangan bukan wilayah perguruan tinggi. "Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," kata Fathul.

Kendati ada sebagian kampus di Indonesia yang mendidik ahli di bidang pertambangan, menurut dia, perguruan tinggi lebih baik tidak terlibat langsung dalam pengelolaan tambang. Perguruan tinggi, lanjut Fathul, tetap fokus pada misi utamanya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa terjun langsung dalam bisnis tambang. "Hilirisasi bisa ditangani oleh pihak yang lain terkait dengan pertambangan," katanya.

Menurut dia, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang berpotensi menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral. Apalagi, dia menyebut banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.

"Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," kata Fathul.

Upaya Mengontrol Para Pengontrol

Pemerintah yang memberikan izin tambah pada ormas keagamaan, serta wacana yang sama pada kampus, dianggap sebagai cara merangkul para pengontrol. Unsur keagamaan dan intelektual merupakan pilar yang seharusnya mengontrol pemerintahan.

Sosiolog Pedesaan, Eko Cahyono, melihat tiga fenomena penting yang bisa menjadi perhatian. Pertama, kondisi banalitas kejahatan. Istilah yang Sejarawan dan Filsuf Hannah Arendt populerkan ini merupakan kondisi saat kejahatan menjadi hal normal. “Si pelaku kejahatan ini tidak bisa lagi merasakan bagaimana di posisi korban… ini terjadi ketika tidak ada yang nyemprit, tidak ada yang mengkritik,” kata Eko, yang juga Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) University.

Dalam politik, katanya, banalitas kejahatan juga bisa terjadi ketika kejahatan dilakukan bersama-sama. Sistem pemerintahan yang demokratis menjadi tidak terkontrol ketika mereka menggandeng berbagai pihak untuk melakukan hal yang salah. Dengan demikian, praktik pertambangan yang selama ini memberikan dampak negatif akan kabur. “Ya wong semua melakukan hal yang sama, kok. Ini jadi lumrah, ini jadi wajar,” katanya.

Apabila kondisi ini terus berlanjut di berbagai lini, dampak terburuknya akan mengarah pada kekerasan pembangunan. Negara tidak akan segan menggunakan berbagai instrumen kekuasaan, termasuk militer, untuk menjaga kepentingan politik mereka. “Karena itu, sebenarnya konsep negara modern itu butuh penyeimbang dari kalangan masyarakat sipil, hingga akademisi,” kata Eko.

Kedua, terjadi demoralisasi terhadap kampus. Demoralisasi, katanya, terjadi ketika satu lembaga atau otoritas tertentu runtuh karena masyarakat menilai tidak lagi sesuai dengan standar yang seharusnya. Kampus, katanya, merupakan lembaga yang seharusnya berfungsi untuk mengajar. Kalau ikut-ikutan menambang, maka kepercayaan publik akan turun terhadap kaum intelektual yang seharusnya bisa jadi kontrol kekuasaan di negara demokrasi.

BACA JUGA : Jadi Biang Kerusakan Lingkungan, Kontribusi Tambang Pasir Progo untuk APBD Bantul cuma Rp20 Jutaan

“Kalau kampus mengalami demoralisasi, kita kehilangan benteng moral. Kepada siapa kita mengadu?” katanya.

Eko tidak menampik ada  ilmu pertambangan di beberapa kampus. Meskipun demikian, tambang erat kaitan dengan korporasi, yang kerap anti sains. “Kalau kampus bermain di isu ini, maka siapa yang akan menjaga independensi kampus?” kata Eko.

Hal ketiga berupa munculnya benih otoritarianisme. Berdasarkan risetnya di wilayah pertambangan, tidak ada suara kritis terhadap pertambangan merusak ketika semua pihak sudah dirangkul. Pilar-pilar demokrasi menjadi tidak bertaji ketika sudah dirangkul perusahaan pertambangan. “Ketika jurnalis sudah dibeli, kampus dikasih CSR, pemerintah daerah dikasih revisi tata ruang dengan uang besar, maka tidak ada yang berani mengkritik,” katanya.

Dia pun mengkritik isu populis yang dimainkan untuk membenarkan pemberian izin tambang bagi kampus. Salah satunya, demi kesejahteraan pegawai kampus dan keringanan uang kuliah tunggal (UKT), sebagaimana Forum Rektor ungkapkan.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratman, mengatakan kampus harus tetap mempertahankan maruah akademiknya. Forum Rektor seharusnya bisa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20% anggaran belanja mereka untuk pendidikan.

Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 20/2003, tentang Pendidikan Nasional yang tidak selalu terpenuhi secara konsisten selama ini. “Forum Rektor ini jangan sembarangan. Kalau ingin menguatkan pendidikan harusnya dorong aturan 20% sesuai mandat konstitusi. Pendidikan itu tanggung jawab negara,” katanya.

Konsentrasi melayani Pendidikan, lanjut Herlambang, akan terganggu lewat wacana pengelolaan tambang oleh kampus. Sebab, mengelola tambang bukan perkara mudah. “Mengelola kampus saja belum bener, ditambah lagi mau mengelola tambang,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news