HIKMAH RAMADAN: Ramadan 4.0: Menavigasi Islam di Ruang Maya

17 hours ago 2

 Menavigasi Islam di Ruang Maya Firly Annisa, Ph.D,Anggota Lembaga Penelitian & Pengembangan Aisyiyah Pusat (LPPA), danKetua Program Magister Media dan Komunikasi UMY

Ramadan bukan sekadar bulan puasa, melainkan momentum transformasi spiritual, sosial, dan intelektual. 

Di tengah arus digital yang mengubah cara manusia berinteraksi, memahami budaya digital—ekosistem dominan yang terbentuk dari interaksi manusia melalui teknologi jaringan—menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya menjadi muslim yang berkemajuan, sebuah istilah yang merujuk pada kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan dinamika zaman. 

Di sinilah Ramadan dan budaya digital bertemu. Keduanya menuntut refleksi kritis, disiplin diri, serta kesadaran kolektif untuk menciptakan kebaikan yang lebih luas. 

Era viral telah menggeser paradigma lama, di mana konten-konten yang menyebar cepat kini berpengaruh lebih besar dalam membentuk wacana publik, bahkan mengalahkan otoritas kebijakan formal dan institusional dalam mengarahkan perilaku masyarakat digital.

Fondasi Disiplin Diri

Puasa melatih pengendalian diri dari hal-hal yang bersifat fisik, seperti makan dan minum. Akan tetapi di era digital, tantangan justru datang dari kebiasaan mengonsumsi konten tanpa filter. 

Scroll media sosial berjam-jam, terpapar hoaks, atau terjebak dalam debat tidak produktif adalah bentuk "lapar" baru yang menggerus produktivitas dan ketenangan batin. Ramadan mengajak kita untuk “menahan” tidak hanya perut, tetapi juga jempol dan pikiran. 

Salah satu pesan utama Ramadan adalah memperkuat kepedulian sosial melalui zakat dan sedekah. Di dunia maya, konsep ini dapat diejawantahkan dengan menjadi produsen konten yang menebar manfaat. 

Sayangnya, ruang digital kerap dipenuhi konten provokatif, misinformasi agama, atau ujaran kebencian yang mengancam ukhuwah. Di sinilah pemahaman dalam ruang digital dibutuhkan: seorang muslim yang berkemajuan harus melek literasi digital untuk melawan narasi negatif. Misalnya, menggunakan platform seperti TikTok atau Instagram untuk menjelaskan konsep rahmatan lil ‘alamin dengan kreatif, atau meluruskan tafsir ayat yang sering disalahtafsirkan kelompok radikal. 

Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sampaikanlah ilmu walau satu ayat,” maka menyebarkan konten bermakna adalah bentuk “jihad literasi” di era algoritma.

Komunitas virtual yang inklusif perlu dibangun bersama-sama. Ramadan mengajarkan pentingnya kebersamaan, terlihat dari tradisi buka puasa bersama atau Tarawih berjemaah. 

Ruang digital menawarkan peluang mereplikasi kebersamaan ini secara virtual, tetapi dengan tantangan tersendiri. Komunitas muslim digital, seperti grup kajian online atau aplikasi pengingat salat, bisa menjadi ruang memperkuat ikatan spiritual. 

Namun, tanpa pemahaman mendalam tentang etika digital, ruang tersebut rentan menjadi eksklusif. Contohnya, kelompok yang mengklaim diri paling “benar” lalu menyebarkan sikap intoleransi. Muslim yang berkemajuan harus aktif menciptakan ruang dialog inklusif, menghargai perbedaan mazhab, dan menolak sikap judgemental. 

Nilai tawazun (keseimbangan) dalam Islam harus tercermin dari kemampuan berdiskusi dengan santun, bahkan saat berinteraksi dengan nonmuslim sekalipun.

Integrasi Nilai Ramadan

Ramadan menawarkan momentum refleksi mendalam tentang esensi keadilan dan kesejahteraan sosial yang seharusnya menjadi landasan bagi para pemimpin dan penyelenggara negara Indonesia. Bulan suci ini mengajarkan nilai empati melalui puasa, di mana seluruh umat merasakan lapar dan dahaga yang seringkali menjadi realitas sehari-hari bagi masyarakat kurang mampu. 

Pengalaman spiritual ini idealnya menginspirasi para pemimpin untuk menciptakan kebijakan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan dasar rakyat, khususnya dalam program perlindungan sosial dan pembangunan ekonomi inklusif. 

Ruang digital menawarkan kesempatan bagi pemimpin untuk menginisiasi dialog antariman tentang keadilan sosial, mengingat nilai-nilai universal yang diajarkan dalam Ramadan—seperti empati, solidaritas, dan moderasi—resonan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh berbagai tradisi spiritual. 

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Ramadan ke dalam tata kelola digital, para pemimpin dan penyelenggara negara Indonesia dapat menciptakan model pembangunan nasional yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga adil secara sosial dan berkelanjutan secara ekologis. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news