Ilustrasi penambangan pasir. / Antara
Harianjogja.com JOGJA–Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (DPUPESDM) DIY mengungkapkan terdapat 16 tambang pasir ilegal yang beroperasi di sepanjang Kali Progo.
Ia menyebut bahkan telah memberikan teguran kepada para pelaku usaha tambang ilegal tersebut dan meneruskannya kepada berbagai pihak terkait agar segera ditindaklanjuti.
Hal ini merespons rusaknya groundsill Srandakan, Bantul beberapa waktu lalu yang dinilai salah satunya buntut maraknya aktivitas tambang pasir ilegal di kawasan itu.
"Di sepanjang Kali Progo, tambang yang ilegal ada 16 dan kami sudah menegur beberapa waktu lalu. Teguran itu juga kami tembuskan ke berbagai pihak terutama aparat penegak hukum (APH)," kata Kepala DPUPESDM DIY, Anna Rina Herbranti, Jumat (31/1/2025).
Anna menyebut, jawatannya tidak menghalangi aktivitas penambangan pasir selama hal itu dilakukan sesuai dengan ketentuan dan aturan tata ruang.
Beberapa aspek yang harus dipenuhi agar tambang pasir dapat beroperasi secara legal antara lain adalah lokasi yang diperbolehkan, volume pasir yang boleh diambil, serta izin resmi dari instansi terkait.
"Syarat supaya legal itu banyak, kami tidak menghalangi asal sesuai dengan ketentuan dan aturan tata ruang. Harus sesuai dengan zona yang boleh ditambang dan volume yang diperbolehkan," jelasnya.
Adapun untuk penambangan di sungai, izinnya dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) setempat.
Namun, rekomendasi utama tetap berasal dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO). BBWSSO akan mengkaji apakah volume pasir di lokasi yang diajukan masih mencukupi untuk ditambang. Jika dinilai sudah kritis, maka izin tidak akan diberikan.
Selain itu, peninjauan juga dilakukan terhadap lokasi penambangan. Jika lokasi tambang dekat dengan sarana dan prasarana vital, maka izin tidak akan diberikan.
Dari sejumlah aktivitas tambang yang ada di Kali Progo Anna menyebut bahwa hanya satu yang beroperasi secara legal.
Tambang ilegal yang menggunakan metode penyedotan dinilai mempercepat kerusakan lingkungan, termasuk berkontribusi pada rusaknya groundsill Srandakan beberapa waktu lalu.
"Yang legal hanya satu, lainnya ilegal. Tambang yang menggunakan metode penyedotan itu yang mempercepat kerusakan. Dampaknya seperti groundsill Srandakan yang jebol itu," ungkapnya.
Meskipun DPUPESDM DIY sudah melakukan pemantauan dan koordinasi, kewenangan untuk menutup tambang ilegal berada di tangan APH.
"Kewenangan menutup itu ada di APH. Kami berkoordinasi dengan mereka karena ini termasuk kriminal. Dari pantauan kami, memang masih ada yang beroperasi," ujarnya.
Untuk perbaikan infrastruktur yang terdampak akibat aktivitas tambang ilegal, seperti groundsill Srandakan, pihaknya masih menunggu keputusan dari BBWSSO terkait penganggaran.
"Perbaikannya itu dari BBWSSO. Kami koordinasi dulu dengan mereka bagaimana penganggarannya. Kemarin Pak Menteri sudah meninjau langsung, mudah-mudahan segera ada anggaran untuk perbaikan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News