Penampakan stoomwals, alat berat pengeras jalan buatan Inggris yang telah ditetapkan jadi Benda Cagar Budaya (BCB) di depan kantor DPUPKP Bantul belum lama ini. Dokumentasi Istimewa
Harianjogja.com, BANTUL — Di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Kabupaten Bantul, berdiri sebuah stoomwals tua berwarna hitam dan kuning. Alat berat tersebut menjadi saksi bisu pembangunan jalan di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Bagi masyarakat yang melintas di depan kantor DPUPKP Bantul, Jalan Panembahan Senopati, Dagaran, Palbapang, alat berat yang terpajang di belakang papan nama kantor itu mungkin tampak seperti mesin tua biasa. Padahal, stoomwals itu menyimpan kisah panjang tentang sejarah konstruksi jalan di Bumi Projotamansari dan sekitarnya.
Stoomwals adalah kendaraan berat yang berfungsi untuk memadatkan, meratakan, dan menghaluskan permukaan jalan. Alat yang kini terpajang di depan kantor DPUPKP Bantul tersebut merupakan buatan perusahaan Marshall Sons & Co. Ltd, Gainsborough, Lincolnshire, Inggris, dan menggunakan bahan bakar kayu untuk pengoperasiannya.
Secara umum, bentuk stoomwals ini tidak jauh berbeda dari alat pemadat jalan modern. Perbedaannya terletak pada roda baja bagian depan yang berukuran lebih kecil, serta ban belakang yang masih terbuat dari besi, belum menggunakan karet seperti saat ini.
Dari Inggris ke Bantul: Jejak Panjang Sebuah Mesin Uap
Kepala Seksi Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan (Disbud) Bantul, Elfi Wachid Nur Rahman, menjelaskan bahwa stoomwals tersebut merupakan buatan Inggris yang diproduksi sekitar tahun 1870. Mesin itu kemudian diimpor oleh perusahaan Maatschappij T.V.D.Z Ruhaak & Co. pada tahun 1898, salah satu perusahaan peralatan terbesar di Hindia Belanda kala itu.
“Kalau alasan mengapa stoomwals itu bisa sampai di Bantul belum ada data empiriknya, tapi jelas alat ini berperan penting dalam pengerasan jalan di masa kolonial,” kata Elfi.
Tulisan “RUHAAK” yang tertera di bodinya menjadi jejak sejarah impor tersebut. Kini, benda bersejarah yang menandai awal revolusi industri berbasis tenaga uap itu dijadikan simbol edukasi bahwa pembangunan di Bantul berakar dari teknologi mesin uap.
Tenaga Uap dan Waktu: Cara Menghidupkan Stoomwals
Bagi sebagian orang, stoomwals mungkin tampak seperti rongsokan logam tua. Namun bagi para teknisi masa lalu, mesin ini merupakan karya teknik rumit yang “hidup” berkat panas, tekanan, dan kesabaran.
Mantan Kepala Seksi Peralatan Bidang Jasa Konstruksi DPUPKP Bantul, Supandri, masih mengingat betul bagaimana dulu mesin tersebut dioperasikan.
“Kalau mau dipakai jam sembilan pagi, apinya harus dinyalakan sejak jam empat subuh. Lima jam pemanasan dulu,” ujarnya, dikutip dari laman Cagar Budaya Dinas Kebudayaan DIY.
Stoomwals ini menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memanaskan ketel uap, yang kemudian menghasilkan tekanan besar guna menggerakkan roda-rodanya.
Secara fisik, stoomwals terdiri dari tiga roda: dua di belakang dan satu roda depan berbentuk tabung. Roda depan berdiameter 86 sentimeter, sedangkan roda belakang berdiameter 132 sentimeter. Seluruh bagian utama seperti kabin, bodi, dan ketel uap terbuat dari besi, sementara kursi dan rangka atapnya dibuat dari kayu.
Menariknya, beberapa komponen ternyata tidak seluruhnya berasal dari pabrik Marshall Sons & Co. Ltd. Pada salah satu roda terdapat cap “Braat”, merek pabrik mesin besar di Surabaya yang berdiri pada tahun 1901. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian bagian alat tersebut kemungkinan sudah dimodifikasi atau diperbaiki di masa kolonial akhir.
“Dulu stoomwals itu benar-benar masih bisa dijalankan. Waktu kantor PU pindah ke Palbapang, alat ini pun ikut dipindahkan dengan cara dijalankan sendiri,” kenang Supandri.
Dari Alat Berat ke Cagar Budaya
Kini, stoomwals tua tersebut tidak lagi berfungsi sebagai alat pemadat jalan, namun tetap memegang peran penting sebagai penanda sejarah teknik dan infrastruktur di Bantul.
Elfi menuturkan, stoomwals di depan kantor DPUPKP Bantul merupakan satu-satunya yang tersisa di wilayah DIY, sementara sisanya banyak ditemukan di Jawa Tengah.
“Yang di Bantul ini unik, masih terlindungi dan punya cerita lengkap. Itu sebabnya kami dorong untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya,” ujarnya.
Upaya tersebut membuahkan hasil pada tahun 2017, ketika Bupati Bantul menetapkan stoomwals itu sebagai Benda Cagar Budaya melalui Surat Keputusan No. 416/2017. Sejak saat itu, alat ini tak hanya menjadi bagian dari sejarah teknik sipil, tetapi juga warisan budaya yang dilestarikan keberadaannya.
Bagi masyarakat yang melintas di Jalan Panembahan Senopati, Palbapang, alat itu mungkin sekadar benda antik di halaman kantor. Namun bagi Bantul, stoomwals adalah simbol perjalanan panjang pembangunan — saksi bahwa sebelum hadir buldoser, ekskavator, dan mesin aspal modern, ada mesin uap yang dipanasi dengan kayu sejak subuh demi membangun jalan pertama di tanah ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News