MK Bahas Lagi Gugatan Dana Pensiun DPR, Pemohon: Ini Pemborosan Pajak Rakyat

1 week ago 11
 Ini Pemborosan Pajak RakyatPara Pemohon saat Sidang Perbaikan Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (UU 12/1980), Senin (10/11).

Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 ini menyoroti ketentuan dana pensiun seumur hidup bagi anggota DPR RI yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan merupakan bentuk pemborosan pajak rakyat.

Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo itu beragenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan dari para pemohon, yakni dua dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, serta lima mahasiswa hukum UII, Muhammad Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, dan Muhammad Fajar Rizki.

Perbaikan permohonan disampaikan oleh Farhan Kamase, yang menjelaskan bahwa timnya telah memperkuat argumentasi hukum dan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon akibat keberlakuan UU 12/1980.

“Pemohon I dan II sebagai pengajar hukum mengalami kesulitan menjelaskan kepada mahasiswa tentang logika keadilan hukum dan sosial di balik pemberian dana pensiun seumur hidup bagi anggota DPR. Ini bukan hanya persoalan akademik, tapi juga moral dan integritas hukum negara,” ujar Farhan dalam sidang di Ruang Pleno MK.

Menurut para pemohon, pemberian pensiun seumur hidup bagi anggota DPR RI yang memiliki kemampuan finansial besar dan posisi ekonomi istimewa selama menjabat merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak proporsional.

Menurut para pemohon, skema ini jauh berbeda dengan sistem pensiun nasional yang diterapkan bagi pekerja biasa. “Selama ini dana pensiun DPR sepenuhnya dibiayai oleh APBN tanpa kontribusi pribadi dari penerima, sedangkan masyarakat umum harus menabung selama puluhan tahun untuk mendapatkan hak pensiun. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural yang bertentangan dengan asas keadilan sosial,” ujar Farhan.

Sementara itu, dalam catatan sidang sebelumnya pada 27 Oktober 2025, para pemohon telah memaparkan argumentasi konstitusional mereka bahwa pemberian dana pensiun seumur hidup bagi pejabat tinggi negara termasuk anggota DPR merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat pembayar pajak. Mereka berpendapat bahwa dana publik seharusnya difokuskan untuk kesejahteraan masyarakat luas, bukan untuk memberi privilese jangka panjang kepada elite politik.

“Ketika rakyat masih berjuang untuk biaya hidup dan jaminan sosial, pejabat yang telah selesai masa jabatannya justru mendapatkan pensiun seumur hidup. Ini adalah bentuk ketimpangan moral dan sosial yang harus dikoreksi Mahkamah,” tegas Farhan.

Mereka menilai, dana pensiun seharusnya diprioritaskan untuk kalangan pekerja publik nonpolitis atau masyarakat berpenghasilan rendah yang benar-benar membutuhkan jaminan sosial di hari tua.

“Pemberian pensiun kepada anggota DPR RI yang sudah mapan secara ekonomi adalah bentuk penyalahgunaan keuangan negara dan bertentangan dengan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 tentang keadilan sosial. Di tengah kenyataan bahwa 55 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal tanpa jaminan pensiun, kebijakan ini sangat melukai rasa keadilan publik,” kata Zidan Patra Yudistira, salah satu pemohon.

Para pemohon juga menilai, beban keuangan negara yang timbul akibat pemberian pensiun seumur hidup kepada pejabat tinggi negara tergolong tidak wajar. Berdasarkan data yang mereka paparkan, rata-rata dana pensiun anggota DPR yang diterima setiap bulannya mencapai 42 kali lipat dari upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebesar Rp5,39 juta.

“Besaran dana pensiun yang diterima anggota DPR tidak sebanding dengan asas keadilan dan semangat efisiensi penggunaan APBN. Pajak rakyat seharusnya digunakan untuk membangun pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik bukan untuk membiayai pensiun seumur hidup pejabat politik yang sudah menikmati berbagai fasilitas negara,” tegas Zidan.

Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU 12/1980 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945, khususnya sepanjang mencakup pejabat publik hasil pemilihan umum seperti anggota DPR. Mereka juga memohon agar MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU yang sama, terutama pada frasa “meninggal dunia” yang masih memungkinkan janda atau duda pejabat menerima dana pensiun setengah dari total nilai pensiun seumur hidup.

Sidang lanjutan ini menjadi sorotan publik karena menyangkut transparansi penggunaan anggaran negara dan integritas pejabat publik dalam sistem kesejahteraan nasional. MK dijadwalkan akan melanjutkan pembahasan perkara ini dengan menghadirkan pihak pemerintah dan ahli konstitusi pada sidang berikutnya.

Jika permohonan ini dikabulkan, maka putusan MK berpotensi mengubah secara mendasar skema hak keuangan anggota DPR dan pejabat tinggi negara lainnya, khususnya terkait pemberian tunjangan dan pensiun seumur hidup yang selama ini dinilai menimbulkan beban fiskal dan ketimpangan sosial.

“Negara harus adil. Tidak boleh ada satu golongan yang hidup dari pajak rakyat tanpa batas waktu, sementara rakyat sendiri terus berjuang tanpa jaminan hidup yang layak,” pungkas Zidan.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news