Ngadiyono sedang memimpin upacara tradisi wiwitan di area persawahan Padukuhan Donoasih, Kalurahan Donokerto, Turi, Sleman, Sabtu (15/3/2025). - Harian Jogja - Andreas Yuda Pramono
Harianjogja.com, SLEMAN—Perkembangan teknologi yang pesat membawa arus modernisasi di segala lini. Teknologi membawa masyarakat ke gelanggang dunia digital. Arus modernisasi tak dapat dibendung. Ia merangsek masuk hingga pelosok perdesaan.
Modernisasi tak jarang membawa konsekuensi turunan. Berbagai bentuk kebudayaan yang bersifat tradisional, yang eksis secara turun-temurun, perlahan hilang. Apabila tidak ada upaya intervensi, adat dan tradisi dapat lenyap begitu saja.
Padahal, ada pesan yang mendalam dan kuat di balik suatu praktik kebudayaan tersebut. Pesan ini biasanya merupakan pijakan dan tuntunan bagi masyarakat dalam mengarungi rimba kehidupan. Pendek kata, ia adalah kompas.
Dalam sekian menit, jarum jam akan genap menunjukkan pukul 07.30 WIB. Pada suatu papan di sebuah perempatan kecil tertera jarak Desa Wisata Gabugan hanya 0,5 kilometer (km) ke utara dan Desa Wisata Srowalan 3 km ke timur.
Selain mengikuti informasi papan itu, wisatawan bisa juga mengambil jalan selebar 2,5 meteran ke barat.
Di sepanjang jalan ini, wisatawan bisa menikmati hamparan lahan persawahan dan pertanian melon yang berada dalam green house. Sungai kecil yang mengalirkan air jernih menghijaukan tanaman di sekitarnya.
Apabila hari sedang cerah, Gunung Merapi akan tampil secara megah bersama mega-mega dan birunya langit. Maka begitulah penampakan Merapi dari Padukuhan Donoasih, Donokerto, Turi pada Sabtu (15/3/2025) pagi.
Di halaman Warung Sajian Kembang Turi, orang-orang berpakaian lurik dan lainnya bercaping tampak ke sana ke mari. Satu orang melengos dan kembali membawa dua melon. Seorang lain datang membawa daun pohon kluwih.
Daun pohon kluwih ini wajib dibawa untuk memulai rangkaian tradisi wiwitan. Kata wiwitan berasal dari kata dasar wiwit yang artinya memulai. Tradisi ini digelar sebelum petani membabat tanaman padi. Wiwitan merupakan ikhtiar untuk selalu bersyukur atas rejeki yang diberikan Sang Empunya Kehidupan.
Ngadiyono berada di baris ketiga dari depan. Sebuah nampan berisi buah dan makanan ia sunggi. Di depannya, seorang perempuan membawa dedauan. Satu orang paling depan mengambil daun itu dan menyenderkannya di rumpun padi yang doyong. Di bawahnya ada uba rampe dan kemenyan.
Selesai menata tempat, mereka mulai menggelar wiwitan. Ngadiyono mulai membakar kemenyan. Asapnya hitam membubung dan lenyap di ketinggian tertentu.
Tangannya secara perlahan memetik batang-batang padi, menekuk, dan mengikat secara bersamaan batang tersebut. Ia kemudian merapal doa. Tak butuh waktu lama upacara yang ia lakukan. Setelahnya, peserta wiwitan berdoa bersama dengan ingkung, melon, pisang, nasi, dan makanan lain berada di tengah-tengah mereka.
Di bawah siraman sinar Matahari, mereka kemudian membagi-bagikan buah dan makanan secara merata. Wiwitan pun selesai.
“Sebelum panen, wiwitan dulu. Minta kepada Allah agar hasil panen bagus dan dapat banyak. Semua yang membantu juga membawa pulang padi mendapat kesehatan dan keselamatan,” kata Ngadiyono ditemui, Sabtu.
Selain daun pohon kluwih, ada juga daun dadap. Menurut Ngadiyono, daun pohon dadap menjadi semacam filter imajiner. Daun ini dapat menyerap penunggu sawah. Ia tak mau secara tegas menyebut dedemit.
“Mungkin Yang Mbau Rekso-lah [sosok atau roh leluhur masyarakat setempat] istilahnya,” katanya dengan pelan.
Ngadiyono menyinggung mengenai Dewi Sri. Sepenuturannya, Dewi Sri merupakan dewi penunggu tanaman padi yang sering dilambangkan sebagai simbol kesuburan. Sebab itu, tanaman padi yang telah diikat akan diletakkan di gudang gabah agar menjaga butiran padi sebelum diolah menjadi beras.
Biasanya, anak-anak akan mendekat ketika ada wiwitan. Petani kemudian membagikan makanan kepada anak-anak. Hanya, kali ini mereka tidak dapat melakukannya sebab bulan puasa masih berlangsung. Makanan yang mereka bawa pulang pun baru akan dimakan setelah buka puasa.
“Kalau yang panen baru di sini. Kalau mau panen ya wiwitan lagi. Tapi kalau bidang tanah hanya sedikit ya tidak, nanggung,” katanya.
Bentuk Rasa Syukur
Pengelola Warung Sajian Kembang Turi, Bayu Widagdo, menceritakan wiwitan menjadi bentuk rasa syukur manusia kepada Alam dan Tuhan. Ia dan rekannya percaya bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa kebaikan alam dan Tuhan. Segala wujud rezeki tidak datang dengan sendirinya. Ada kekuatan transendental yang menyertai.
Warung Sajian Kembang Turi sebenarnya adalah ruang berdinamika bagi seluruh masyarakat. Petani, karyawan perusahaan, hingga pelaku seni. Kata Bayu, petani sekitar juga menggunakan warung untuk berdiskusi. Di tempat yang sama, ada juga pendopo yang dapat masyarakat manfaatkan.
Sebagaimana penjelasan Bayu, warung tersebut sejatinya ruang. Ruang ini dibentuk untuk menarik kalangan muda agar mau mengenal dan terjun di dunia pertanian.
“Dari awal memang kami fokus ke pengembangan sektor pertanian. Kami merintis green house melon itu pada 2020. Kami punya consern ingin mendekatkan anak muda ke pertanian. Perlu ada daya tarik biar anak muda mau masuk,” kata Bayu.
Dalam kultur masyarakat agraris di Jawa, praktik kebudayaan selalu mengikuti setiap usaha pengembangan pertanian. Sektor pertanian tidak dapat dijalankan begitu saja secara kaku. Tanam, papras, giling.
Pelestarian dan pengembangan kebudayaan penting. “Bukan sekadar atraksi, nanti soalnya seolah-olah sekadar jadi tontonan saja. Nanti buat tempat diskusi atau tempat untuk mengenalkan budaya Jawa ke anak-anak. Nembang juga kalau mau, mau menjadikan sanggar untuk menari juga bisa di sini, ada pendoponya,” katanya.
Tanaman padi yang ditanam menggunakan metode minapadi. Metode ini mengombinasikan antara budi daya padi dengan ikan dan diyakini meningkatkan kandungan nutrisi pada padi.
Bayu menunjukkan kepada Harian Jogja sebuah video yang menampilkan anak-anak sedang bermain air di sungai. Hal semacam inilah yang Bayu inginkan. Anak dapat mengenal dan akrab dengan alam. Semakin mengenal alam, anak semakin memahami karakteristik lingkungannya. Ia akhirnya memiliki kepekaan dalam mendeteksi situasi atau marabahaya.
Hampir pukul 10.00 WIB. Petani-petani yang tadi ikut wiwitan terlihat sibuk membabat padi. Rumpun demi rumpun habis, menyisakan pangkal batang berongga. Merapi sudah tak kelihatan. Kemegahan Merapi tadi telah sepenuhnya tertutup awan putih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News