Foto ilustrasi BBM. / Freepik
Harianjogja.com, JOGJA—Pakar Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Wahyudi menyebut kebijakan pencampuran 10 persen etanol dalam bensin (E10) mencerminkan keseriusan pemerintah mewujudkan transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
"Dari sisi energi terbarukan, kebijakan ini sangat baik. Artinya, ke depan kita memang harus semakin banyak menggunakan energi yang dapat diperbarui, dan bioetanol merupakan salah satu bentuknya," ujar Wahyudi, Kamis (10/10/2025).
Menurut Wahyudi, langkah tersebut sejalan dengan kebijakan pencampuran biodiesel pada mesin diesel yang kini telah mencapai 30-40 persen dan ditargetkan meningkat hingga 50 persen dalam waktu dekat.
Penerapan E10, kata dia, menunjukkan arah konsisten pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan di sektor transportasi. Selain mendukung transisi energi, penerapan E10 juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas bahan bakar.
Wahyudi menjelaskan etanol memiliki angka oktan lebih tinggi dibandingkan bensin murni sehingga mampu menghasilkan proses pembakaran yang lebih bersih, efisien, dan beremisi rendah.
Kendati demikian, ia menilai kebijakan itu memerlukan kesiapan, baik dari sisi pengguna maupun produsen.
Sebagian besar kendaraan keluaran baru, menurut dia, sudah siap menggunakan bahan bakar campuran E10 tanpa perlu modifikasi mesin.
"Untuk kendaraan keluaran tahun 2001 ke atas, hampir semuanya sudah bisa menggunakan bioetanol E10. Jadi, sekitar 80 persen kendaraan yang beredar saat ini sudah kompatibel. Hanya sebagian kecil kendaraan lama yang mungkin masih menghadapi kendala teknis karena perbedaan karakteristik bahan bakar," ujar dia.
Wahyudi menyebut penerapan E10 tidak bisa direalisasikan secara tergesa-gesa. Pemerintah perlu memastikan uji coba menyeluruh sebelum implementasi massal dilakukan.
Tahap awal, sebaiknya difokuskan pada uji performa berbagai jenis kendaraan, baik roda dua maupun roda empat dari berbagai merek, untuk memastikan keamanan dan efisiensi bahan bakar tersebut.
"Masyarakat perlu diperlihatkan hasil data uji penggunaannya. Selain itu, kita juga harus memastikan kesiapan dari sisi produksi bioetanol dalam negeri. Jika supply-nya belum memadai, tentu penerapannya masih membutuhkan waktu," kata dia.
Sebagai langkah strategis, Wahyudi mendorong pemerintah tidak hanya menyiapkan infrastruktur dan meningkatkan kapasitas produksi bioetanol, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam proses pengembangannya.
Ia menilai produksi bioetanol tidak harus bergantung pada industri besar, melainkan dapat dilakukan secara lokal dengan memanfaatkan bahan baku seperti tebu atau singkong.
"Bioetanol bisa menjadi peluang ekonomi masyarakat jika dikelola dengan baik. Namun tentu saja, hal ini membutuhkan kebijakan yang matang dan dukungan dari hulu hingga hilir," ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa pemerintah masih menyusun peta jalan atau roadmap implementasi E10 sebagai bagian dari kebijakan energi nasional.
Menurut Bahlil, rencana tersebut berangkat dari keberhasilan program biodiesel yang berkembang dari B10 hingga B40, dan ditargetkan mencapai B50 pada 2026.
Ia menegaskan, penerapan E10 masih menunggu kesiapan pabrik etanol berbahan baku tebu maupun singkong, selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto terkait pembangunan industri etanol nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara