Pakar UNISA: Restorasi Konflik Jadi Solusi Redam Amarah Publik

12 hours ago 1

 Restorasi Konflik Jadi Solusi Redam Amarah Publik Dr. Komarudin, M.Psi., Psikolog. - Istimewa.

JOGJA—Gelombang demonstrasi yang memuncak di penghujung Agustus 2025 menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Dosen program studi Psikologi UNISA Yogyakarta, Dr. Komarudin, M.Psi., Psikolog, menilai kondisi ini merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan kontroversial pemerintah dan perilaku elit politik yang dinilai kurang pantas diteladani. Hal tersebut disampaikan pada paparannya di UNISA Yogyakarta, Senin (1/9/2026).

Sejak 2024, tanda-tanda keresahan publik sebenarnya sudah terlihat lewat tagar viral seperti #PeringatanDarurat dan #IndonesiaGelap. Namun, peringatan itu justru dianggap remeh bahkan dijadikan bahan lelucon. Kebijakan pemerintah yang menuai kritik, seperti larangan jual elpiji 3 kg subsidi, kenaikan PPN, hingga rencana penyitaan tanah, semakin memperkeruh suasana.

BACA JUGA: Demo 1 September: Sekolah di Jogja Terapkan Pembelajaran Daring

Situasi makin memanas ketika publik disuguhi gaya hidup mewah dan pameran kenaikan gaji anggota legislatif, di tengah krisis ekonomi dan gelombang PHK. “Fenomena ini memperlihatkan distorsi moral para elit, yang bahkan menormalisasi umpatan pada rakyatnya,” ujar Komarudin.

Tragedi 28 Agustus 2025, yang menewaskan seorang pengemudi ojek online akibat dilindas kendaraan lapis baja saat aksi, menjadi titik balik kemarahan masyarakat. Aksi solidaritas merebak di berbagai daerah, disertai kerusuhan dan bentrokan dengan aparat. Menurut Komarudin, permintaan maaf elit politik tidak cukup menyembuhkan luka sosial rakyat.

Sebagai solusi, Komarudin menawarkan kerangka Restorasi Konflik yang menyeluruh. Tahap awal dimulai dengan penghentian kekerasan dan stabilisasi keamanan, yakni dengan menarik pasukan dan mengurangi tindakan represif, sementara masyarakat diimbau untuk menahan diri agar dialog dapat berlangsung.

Setelah itu, perlu dibuka ruang dialog politik yang inklusif dengan melibatkan berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, komunitas ojek online, tokoh masyarakat, akademisi, hingga perwakilan legislatif dan eksekutif. Dialog ini ditujukan untuk menemukan kesepakatan politik yang adil dan saling mengakomodasi.

Langkah berikutnya adalah rekonsiliasi melalui pembentukan tim pencari fakta, pemulihan korban, serta pencegahan balas dendam dari pihak manapun. Reformasi institusi juga mendesak dilakukan, khususnya di sektor keamanan dan lembaga legislatif yang kerap dipandang sebagai sumber konflik. Di saat yang sama, pemerintah harus hadir dengan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat, menciptakan lapangan kerja, dan meninjau ulang kebijakan nonpopulis yang selama ini menimbulkan keresahan.

Tak kalah penting adalah pemulihan sosial melalui program trauma healing, pendidikan perdamaian, dan pemberdayaan komunitas. Kampus, kata Komarudin, perlu kembali berfungsi sebagai pusat ekosistem demokrasi, sementara para pendidik harus diberi ruang untuk menanamkan pemikiran kritis dan moralitas pada mahasiswa. Semua itu harus ditutup dengan upaya menjaga perdamaian berkelanjutan melalui sinergi politik, hukum, ekonomi, dan budaya damai, sehingga lahir kondisi yang benar-benar bebas dari kekerasan struktural maupun kultural.

“Restorasi konflik urgent dilakukan secara komprehensif, dimulai dari penghentian kekerasan hingga pemulihan sosial. Perdamaian hanya tercapai jika negara dan masyarakat bekerja sama konsisten,” katanya.

Komarudin menutup dengan ajakan agar semua pihak menahan diri dan menurunkan emosi. “Jangan biarkan Ibu Pertiwi bersusah hati, berdemokrasilah secara dewasa,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news