Bus listrik Trans Jogja saat mengisi daya di depan Bandara Adisucipto, beberapa waktu lalu. - Harian Jogja / Ujang Hasanudin
Harianjogja.com, JOGJA—Pemda DIY terus mengupayakan penambahan becak listrik dan bus listrik sebagai moda transportasi alternatif yang menggantikan becak motor (bentor) dan bus konvensional. Upaya ini dilakukan melalui kerja sama dengan negara-negara yang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan.
Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menjelaskan bahwa becak listrik sudah dicanangkan oleh Dinas Perhubungan DIY sejak dua tahun terakhir dan saat ini jumlahnya mencapai 90 unit.
“Memang belum efektif, karena tahun pertama dan kedua itu baru kita lihat ada kelemahannya atau tidak. Ini yang kami monitoring terus,” ujarnya, Rabu (22/10/2025).
Masyarakat juga diimbau menggunakan kendaraan tradisional, salah satunya becak listrik, untuk menuju kawasan Malioboro yang telah menjadi zona rendah emisi (low emission zone).
“Kami juga ada kerja sama dengan UKPACT (UK Partnering for Accelerated Climate Transitions) dari Inggris untuk mengkaji implementasi program tersebut,” katanya.
Menurutnya, jika hanya mengandalkan Pemda DIY saja, peralihan dari bentor ke becak listrik tidak akan terpenuhi dengan cepat.
“Maka kami sounding, kalau memang ada stakeholder lain yang punya keinginan untuk memenuhi itu, silakan, sepanjang spesifikasinya sesuai, yaitu becak kayuh bertenaga listrik,” paparnya.
Pemda DIY juga telah berdiskusi dengan Forum Infrastruktur untuk mengupayakan bantuan dari pihak internasional, terutama negara-negara yang memiliki misi lingkungan.
“Kami mengajukan program bus listrik dan becak listrik. Yang kami ajukan cukup besar, 1.000 becak dan bus listrik, tapi belum tahu yang disetujui berapa,” ungkapnya.
Untuk bus listrik, ia mengaku belum mengajukan jumlah pastinya. Namun, bus listrik dinilai lebih efisien karena operasionalnya lebih hemat dibandingkan bus konvensional.
“Kalau bus berbahan bakar fosil lifetime-nya lima tahun, tapi kalau bus listrik bisa 10 tahun,” katanya.
Saat ini Pemda DIY baru memiliki dua unit bus listrik. Jika pengajuan ini berhasil, diharapkan seluruh bus yang beroperasi di kawasan low emission zone merupakan bus listrik.
“Tapi kita masih menghitung berapa jumlah yang kita mampu. Jadi bukan sekadar bisa mendapatkan, tapi juga harus bisa menjaga keberlanjutannya,” ujarnya.
Terkait penertiban bentor, ia mengaku secara teknis Pemda DIY tidak memiliki kewenangan untuk menertibkan langsung karena hal itu berada di ranah kepolisian. Meski demikian, pihaknya sudah berupaya melalui regulasi dan koordinasi dengan perwakilan bentor.
Secara regulatif, hal ini sudah diatur melalui Perda No. 5/2016 tentang Penggunaan Kendaraan Tradisional.
“Sementara secara koordinatif, kami sudah beberapa kali bertemu sejak awal pencanangan becak listrik. Namun, hasilnya sejauh ini masih belum efektif,” terangnya.
“Mereka di depan kita oke, mau begini-begini, tapi komitmennya susah. Mungkin perlu cara-cara yang lebih implementatif. Dulu ada istilah sithik eding, 100-100, tapi suplai di lapangan tidak segitu. Itu yang kemudian agak sulit,” katanya.
Ia menegaskan bahwa Pemda DIY tidak bermaksud menghilangkan sumber mata pencaharian pengemudi bentor. Karena itu, inovasi becak listrik menjadi solusi yang terus diupayakan.
“Supaya itu yang digunakan, dengan syarat becak lamanya dimusnahkan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News