Siswa melakukan tes kesehatan mata di Sekolah Rakyat Menengah Pertama, Sentra Paramita Mataram, Desa Bengkel, Lombok Barat, NTB, Senin (14/7/2025). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi - rwa.)
MATARAM—Di banyak wilayah Indonesia, kemiskinan masih hadir sebagai bayangan panjang yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Anak-anak tumbuh dalam segala keterbatasan, berjuang di tengah minimnya akses pendidikan, dan kemudian memasuki usia dewasa, tanpa bekal yang memadai untuk memutus lingkaran yang membelenggu keluarga mereka selama puluhan tahun.
Pola ini tak hanya tampak di kota-kota besar atau daerah terpencil, tetapi juga di kawasan yang sedang bertumbuh, tempat pembangunan fisik sering kali berlari lebih cepat daripada pembangunan manusianya.
Ketika akses pendidikan tidak merata, peluang untuk mobilitas sosial ikut mengecil, dan jurang kesenjangan semakin melebar.
Kondisi tersebut terlihat jelas di Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi yang masih menghadapi tantangan kemiskinan cukup tinggi, meski akhir-akhir ini menunjukkan perbaikan peringkat secara nasional.
Banyak rumah tangga di berbagai dusun masih bertumpu pada bantuan sosial, sementara akses pendidikan yang berkualitas belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Dalam konteks inilah gagasan Sekolah Rakyat hadir sebagai angin segar. Program ini menempatkan pendidikan sebagai jalan utama untuk memutus rantai kemiskinan ekstrem, terutama bagi anak-anak yang berada di desil satu dan dua.
Dengan pendekatan berasrama, integrasi pembinaan karakter, serta jaminan kebutuhan dasar, Sekolah Rakyat menawarkan kesempatan nyata bagi mereka yang selama ini berada di pinggir peluang.
Di NTB, beberapa sekolah rintisan telah mulai berjalan, dan pembangunan fasilitas permanen tengah dipacu. Namun seiring upaya percepatan tersebut, berbagai kendala muncul, mulai dari ketersediaan lahan di daerah perkotaan, hingga sarana-prasarana yang belum merata.
Semua itu menunjukkan perlunya evaluasi lebih mendalam agar program ini benar-benar menjawab tantangan akar dan memberi dampak jangka panjang bagi anak-anak NTB.
Hambatan
Gagasan Sekolah Rakyat dari Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, dengan fasilitas gratis berasrama untuk anak-anak keluarga miskin, termasuk di NTB, bukan semata proyek pendidikan. Ia juga membawa dimensi sosial yang lebih luas karena menyentuh inti dari persoalan kemiskinan ekstrem.
Sekolah Rakyat menawarkan pola baru yang tidak hanya memberi akses ruang belajar, tetapi juga asrama, makanan bergizi, pendampingan, serta lingkungan terkontrol yang dirancang untuk memperbaiki kualitas hidup secara menyeluruh.
Fasilitas sementara, seperti di Sentra Paramita, Gunung Sari, Lenek, Sakra, hingga Sumbawa, sudah menunjukkan betapa besar minat masyarakat. Di Paramita, misalnya, 100 peserta didik dari keluarga miskin menempati asrama, memperoleh pembinaan akademik dan karakter, serta akses gizi harian.
Model ini memberi ruang bagi anak miskin untuk tumbuh, tanpa beban biaya, tanpa kekhawatiran perangkat sekolah, dan tanpa tekanan ekonomi yang sering membuat anak drop out.
Namun kebermanfaatan itu tidak datang tanpa tantangan. Banyak daerah menghadapi kendala lahan. Kota Mataram, misalnya, tidak memiliki kawasan seluas 6 hingga 10 hektare sebagai prasyarat pembangunan sekolah baru.
Opsi menggabungkan sekolah eksisting ataupun memisahkan asrama dan ruang belajar juga tidak dapat diterima karena konsep Sekolah Rakyat menuntut tempat terpadu dalam satu kawasan. Ini menggambarkan tantangan perencanaan urban di wilayah yang padat dan terfragmentasi.
Beberapa kabupaten berada di jalur yang lebih siap. Lombok Barat mampu mengoperasikan Sekolah Rakyat rintisan, sambil menunggu fasilitas permanen di Kuripan.
Lombok Timur mengusulkan 152 calon siswa, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional yang telah diverifikasi. Sementara Kabupaten Bima tidak hanya menyiapkan lahan 7,2 hektare, tetapi juga membentuk pokja dan tim teknis agar semua persyaratan terpenuhi secara cepat.
Di sisi lain, pembangunan fasilitas permanen di Gumantar, Lombok Utara, memberi tanda bahwa kebijakan ini memasuki tahap lebih mapan. Anggaran Rp250 miliar dialokasikan untuk membangun kawasan pendidikan terpadu dari SD hingga SMA, lengkap dengan asrama, lapangan olahraga, laboratorium, dan fasilitas umum lainnya.
Proyek multiyears ini menjadi pondasi kebijakan jangka panjang, sekaligus simbol keseriusan pemerintah dalam menghadirkan pendidikan inklusif.
Kendala berikutnya adalah ketersediaan tenaga pendidik. Beberapa daerah masih menunggu pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga pendamping. Ini penting karena Sekolah Rakyat menuntut kombinasi kurikulum reguler, pembinaan karakter, dan vokasi, terutama pada jenjang SMA. Tanpa pengajar berkualitas, konsep pendidikan berasrama tidak akan optimal.
Sementara itu, kesiapan data siswa menjadi aspek yang tidak kalah penting. Data terpadu yang digunakan oleh kabupaten, termasuk pendataan berdasarkan nama dan alamat, memberikan kepastian bahwa program tepat sasaran.
Penyaringan ini menjadi penting karena minat masyarakat sangat tinggi dan risiko salah sasaran bisa mencoreng tujuan besar program pengentasan kemiskinan.
Di luar kendala administratif, keberadaan Sekolah Rakyat memberi dampak sosial yang mulai terasa. Di daerah yang telah beroperasi, banyak siswa hadir dengan semangat baru karena merasa mendapatkan kesempatan, yang sebelumnya hanya milik kelompok yang lebih mampu.
Mereka merasakan ruang aman untuk belajar, hidup tertib di asrama, mendapat fasilitas memadai, dan berada dalam lingkungan positif yang menumbuhkan harapan.
Pengalaman NTB menunjukkan bahwa Sekolah Rakyat menjadi wadah mobilitas sosial baru. Anak-anak miskin dapat belajar tanpa biaya, disiapkan dengan keterampilan hidup, dan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan atau memasuki dunia kerja secara lebih layak.
Dalam jangka panjang, program ini dapat mempersempit kesenjangan edukasi antara kaya dan miskin di NTB, yang sebelumnya sangat lebar.
Menata Kebijakan
Sekolah Rakyat menghadirkan optimisme baru bagi NTB, tetapi keberlanjutannya bergantung pada penataan kebijakan yang konsisten dan terukur.
Tantangan pertama adalah sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak persoalan teknis, seperti lahan, perizinan, dan infrastruktur hanya dapat diselesaikan jika koordinasi berjalan tanpa hambatan.
Pemerintah kabupaten/kota perlu lebih proaktif karena merekalah pemilik wilayah dan pihak pertama yang berinteraksi dengan masyarakat.
Kedua, percepatan pembangunan fasilitas permanen di Lombok Utara harus menjadi contoh bagi daerah lain. Pembangunan sekolah terpadu yang lengkap akan menjadi model implementasi ideal Sekolah Rakyat, sehingga kelak sekolah rintisan dapat dipindahkan ke lokasi yang lebih representatif.
Ketiga, pembenahan data tunggal sosial ekonomi nasional (DTSEN) harus terus dilakukan. Validasi mendalam penting untuk memastikan penerima manfaat benar-benar berasal dari keluarga miskin ekstrem. Ketika data akurat, kepercayaan publik meningkat dan kebijakan berjalan efektif.
Keempat, kualitas tenaga pengajar dan pendamping harus menjadi prioritas. Mereka memegang peran utama dalam membentuk karakter, disiplin, dan motivasi anak.
Guru yang profesional akan memastikan bahwa Sekolah Rakyat bukan hanya tempat tinggal anak miskin, tetapi lembaga pendidikan yang membentuk masa depan mereka.
Kelima, konsep Sekolah Rakyat perlu dilengkapi pendekatan pemberdayaan keluarga. Pendidikan anak akan lebih kuat jika lingkungan rumah juga mengalami perubahan melalui pendampingan sosial, pelatihan kerja, dan program ekonomi lainnya yang saling terhubung.
Pada akhirnya, Sekolah Rakyat menjadi investasi jangka panjang. Program ini tidak hanya membangun sekolah, tetapi membangun struktur sosial baru yang memberi ruang bagi anak miskin untuk bermimpi setinggi-tingginya, tanpa dibatasi kondisi ekonomi. NTB yang selama ini menghadapi persoalan kemiskinan akut, kini memiliki jalan strategis untuk memutus rantai itu secara sistematis.
Menjaga konsistensi program, mempercepat pembangunan sarana, memastikan ketepatan sasaran, dan merawat dukungan sosial akan menentukan apakah Sekolah Rakyat benar-benar menjadi jalan keluar kemiskinan atau hanya menjadi episode kebijakan yang berjalan setengah hati.
NTB punya peluang besar untuk membuktikan bahwa transformasi pendidikan dapat mengubah masa depan. Sekolah Rakyat adalah salah satu pintu itu. Yang dibutuhkan sekarang adalah memastikan pintu tersebut tetap terbuka bagi setiap anak miskin di NTB yang ingin mengubah hidupnya melalui pendidikan.
Sumber : Antara

2 hours ago
1
















































