Tak Ada Arsik Untukku

2 weeks ago 15

Program MEDAL Of Honda Klikpositif

Benarkah masih ada aku di dalam hati Mamak, kalau ya, mengapa sekali saja Mamak tidak pernah membuat arsik khusus untukku?

“Lusia 2 tahun belum pernah pulang,” Mama berujar. Dengan pipi berseri-seri ia menghampirimu yang sedang mencuci piring bekas masak, lalu berkata lagi, “Kita akan memasak arsik!”

Ompung, paman, bibi, dan para sepupu gayung bersambut. Kamu tak ada kata, hanya mengelap-lap permukaan telapak tangan pada permukaan rok pudar yang kamu kenakan. Tak ada keluhan yang patut diutarakan kecuali kamu sudah tidak tahu diri. Kamu berusaha agar tidak sampai tercetus protes terperam dengan mengingatkan dirimu: jangan bikin Mamak sedih. Cukup sekali. Tidak peduli kejadian itu telah berlangsung belasan tahun lalu, akibat perbuatan itu kamu hampir membuat Mamak mati. Kamu tidak mau kejadian itu terulang lagi. Karena itu, kamu berusaha sekeras mungkin untuk selalu menyenangkan hati Mamak.

Lusia tiba disambut kegembiraan. Setiap pulang, ia disambut seperti prajurit dari medan perang. Mamak berdiri paling depan. Ompung, paman, bibi, dan para sepupu membentuk barisan di belakang Mamak. Orang-orang berdatangan dari kiri dan kanan. Lusia berdiri anggun di halaman tepat sebelum tangga rumah. Anak-anak kecil bergerombol di dua sisinya. Kamu tidak turut dalam prosesi itu. Tanggung jawab di dapur tak memberimu peluang. Segala rempah berserak. Bekas belanjaan menumpuk. Kulit bawang, batang cabai, serta lainnya terlihat di mana-mana. Bukan itu intinya, Mamak memang tidak mengajakmu serta. Aroma arsik olahan tercium sampai ke depan.

“Lusia! Anak Mamak,” Suara Mamak sarat rindu. Mamak meraup beras dari piring marmer lalu mengucurkan ke atas kepala Lusia. Kamu mengintip dari celah punggung saudara yang ikut menyambut. Setelahnya kamu berlari menghampiri kuali yang hampir kering.

“Lusia sudah di ruang tamu. Apa arsiknya sudah matang?” Mamak tiba-tiba hadir di belakangmu. Memintamu untuk bergeser dari depan kuali. Air dalam kuali sudah meresap dengan baik. Ikan mas kuning tertata cantik di dalamnya.

“Sudah matang rupanya. Ayo, tata semua peralatan makan ke depan. Cepat!”

Kamu mampunya mengangguk. Padahal dalam dua hari ini badanmu terasa remuk rasanya. Kamu bahkan menelantarkan rumahmu sendiri demi menyenangkan Mamak. Kamu menempati rumah kecil warisan dari Ompung bersama malaikat kecilmu. Kamu memberi pengertian pada malaikatmu bahwa sampai Tua Lusia datang, kamu harus masak arsik untuk dirinya. Beruntung malaikat kecilmu mengerti.

“Ya?” sahutmu menekan perasaan. Piring kamu angkat perlusin ke depan. Meletakkan di atas meja yang sudah kamu siapkan sejak dua hari lalu. Ekor matamu melirik orang-orang mengerumuni Lusia. Kehadiranmu tidak dianggap. Kamu berbalik puluhan kali sampai meja itu penuh untuk menjamu Lusia juga semua saudara.

Piring marmer putih bentuk oval kamu keluarkan dari bufet. Piring kebanggaan keluarga. Piring kesayangan Mamak. Piring itu kamu angsurkan hati-hati. Mamak menerimanya setengah membungkuk. Mamak sangat mengagungkan piring itu. Piring spesial. Dipakai untuk situasi penting saja. Lusia beruntung menikmati makanan dari piring itu. Mamak tak mengizinkanmu menyajikan arsik di atas piring itu. Tidak boleh asal-asal! Tegas Mamak seakan mengerdilkan dirimu. Ya, kamu memang sudah kerdil sejak belahan tahun itu.

Penuh hati-hati Mamak mengangkat ikan mas utuh ke atas piring. Posisi ikan layaknya sedang berenang. Kepala ikan harus menghadap pada orang yang menerimanya. Lusia tentunya. Agar letupan di dadamu tak menjelma kesalahan, kamu menyibukkan diri membersihkan sekitar dapur. Sampah bekas belanjaan. Bumbu tertumpah di lantai. Talenan kayu, pisau, parutan kelapa, sendok, dan mangkok kamu bawa ke tempat cucian. Tempatmu memang di sini. Mamak sudah pergi dengan membawa seekor ikan di piring oval kebanggaan itu.

Pelan. Amat pelan. Melalui pintu dapur kamu melangkah amat pelan kemudian berlari sekencang-kencangnya. Kamu lewati pagi berawan melewati batang ubi dan daun talas layu. Meloncati parit kering penuh kerak lumut sekali loncat, lalu menerobos ladang tak terurus oleh pemiliknya. Ladang itu berubah tempat pembuangan sampah liar oleh orang-orang usil. Pemiliknya sering mencaci maki setiap kali mendapati ladangnya penuh sampah-sampah rumah tangga. Walau sudah dipasang plang besar, tetap saja orang melempar sampah di sana. Bau menyengat sering menguar. Mengingatkan dirimu akan “bau” yang menguar dari perutmu yang kian membulat. Kamu tiada henti membuat Mamak menangis. Menjadikan Mamak kurus mendengar rumah tanggamu kandas padahal baru seumur jagung.

Sungai kecil persis di samping dangau adalah tujuanmu. Dangau ini tempatmu menumpahkan sesak di dada. Andai saja waktu mau diputar ulang kamu pasti memperbaiki ketololan ini. Kamu memang pemberani. Sering mandi di sungai ini. Secuil pun tak ada ketakutan dalam dirimu. Kamu meloncat dari pipa air lalu terjun tanpa takut. Lusia hanya menonton dari atas bukit. Percuma kamu memintanya turun, Lusia lebih menjaga kulitnya dari sengatan matahari. Kamu tidak mau dikalahkan dari anak laki-laki. Setelah melewati usia 15 tahun, Lusia tidak lagi mau menemanimu ke sungai. Lusia lebih aktif pada kegiatan sekolah.

Prestasi dan prestasi Lusia hadiahkan untuk Mamak di rumah. Kamu tak peduli. Terjun dari pipa air ke dalam sungai adalah kesenanganmu. Padahal Mamak berulang kali melibasmu dengan pengibas kasur. Kamu tetap mengulangi kesukaanmu. Di sungai itu kamu berkenalan dengan Togi. Perkenalan yang kian menyesatkan tiap langkahmu. Sekarang kamu tentu tidak ingin cebur ke dalam sungai. Kamu hanya bersila di dangau. Menghitung angka demi angka berharap hati Mamak berubah. Kamu tidak ingin kejadian seperti Bapak. Meninggal karena stroke akibat ulahmu. Tanpa maaf, kamu tak ingin itu terulang.

Kamu memutuskan tidak kembali ke rumah Mamak. Kamu sudah berbuat banyak demi menyambut Lusia kakakmu sekaligus putri kebanggaan Mamak. Dasar hatimu pun ikut bangga. Memiliki kakak menjadi Jaksa di kota. Sebagian besar hidup Lusia berada di kota. Lusia hanya pulang di saat tentu saja. Tidak menjadi soal bagi Mamak. Tanggung jawab itu tertimpa padamu. Bahkan Mamak selalu berpesan tidak perlu menambah pikiran Lusia di kota. Tidak peduli sakit, Mamak selalu merahasiakan dari Lusia. Kamu adalah tumpuannya. Walau tetap kamu dianggap anak tak layak. Selama-lamanya tak layak. Kamu memutuskan meninggalkan dangau. Teringat Ruth, malaikat kecilmu.

“Mamak!” Ruth berlari memelukmu di halaman. Kamu melebarkan kedua tangan.

“Mamak dari mana?” celoteh mulut mungilnya. Kamu tersenyum.

“Dari rumah Ompung terus sebentar ke sungai. Ayo kita masuk?” Kamu menuntun tangan putrimu.

Kamu meninggalkan Ruth di ruang tamu. Lalu menyeret kaki ke dapur. Setelah tudung saji kamu angkat, sesuatu membuatmu terkejut. Piring marmar bentuk oval Mamak ada di sana. Lengkap dengan seekor ikan mas utuh. Mulut ikan itu menghadap ke arahmu. (*)


Ricardo Marbun, datang dari Pematang Siantar, menetap di Surabaya walau lahir di Jakarta. Lulusan Universitas Negeri Surabaya, sangat mengidolakan Budi Darma. Bahkan menganggap dirinya adalah Budi Darma berikutnya. Belajar menulis secara Otodidak sejak tahun 2010. Banyak karya sederhananya dimuat media nasional seperti Femina, Pesona, Kartini, Gadis, Hai, Aneka, Nova, Jawa Pos, Suara Pembangunan, Jurnal Nasional, Republika, Detik, Kompas Digital, dan media online. Berencana ingin menulis sampai ujung usia. Boleh ditemui pada IG @ricardo_mrb.

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news