UU Kesehatan Digugat, Pendidikan Dokter Spesialis Dinilai Keluar dari Sistem Nasional

1 week ago 12

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil terhadap Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Senin (10/11).

Sidang yang terdaftar dengan Nomor Perkara 143/PUU-XXIII/2025 ini menggugat status Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama pendidikan dokter spesialis dan subspesialis yang dinilai keluar dari sistem pendidikan tinggi nasional.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat dokter dan mahasiswa kedokteran, yakni Razak Ramadhan Jati Riyanto, M. Abdul Latif Khamdilah, M. Hidayat Budi Kusumo, dan M. Mukhlis Rudi Prihatno.

Para pemohon menilai pasal tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dalam penyelenggaraan pendidikan profesi kedokteran.

Sidang dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak terkait, yakni Kemdiktisaintek dan ahli yang dihadirkan oleh para pemohon.

Dirjen Kemdiktisaintek Khairul Munadi menjelaskan bahwa pembahasan RUU Kesehatan sebenarnya telah mempertimbangkan model kolaboratif-integratif, di mana rumah sakit pendidikan (RSPPU) tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama dengan perguruan tinggi.

“Rumah sakit pendidikan bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam sistem pendidikan tinggi yang utuh dan akuntabel. Pendekatan ini dilakukan agar mutu akademik, profesionalisme klinik, dan pengembangan ilmu kedokteran berjalan secara terpadu,” ujar Khairul di ruang sidang pleno MK.

Menurut Khairul, RSPPU tetap harus berpegang pada prinsip nirlaba sebagaimana amanat UU Pendidikan Tinggi. Hal ini untuk mencegah potensi komersialisasi pendidikan dokter spesialis yang bertentangan dengan semangat dasar sistem pendidikan nasional.

“Rumah sakit yang didirikan oleh masyarakat wajib berbadan hukum yang hanya bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Pendidikan profesi yang diselenggarakan tetap harus berbasis nirlaba, berlandaskan tanggung jawab sosial, dan menjunjung tinggi otonomi akademik,” tegasnya.

Khairul juga menyoroti pentingnya harmonisasi antara UU Kesehatan dan UU Pendidikan Tinggi, agar reformasi pendidikan profesi tidak melahirkan sistem kelembagaan yang tumpang tindih dan tidak akuntabel.

Ia menambahkan, penyelenggaraan pendidikan kedokteran tidak hanya berfokus pada aspek klinik dan keterampilan, tetapi juga harus membentuk karakter profesional, etika, dan integritas akademik. Proses panjang pendidikan dokter dan dokter spesialis, katanya, berisiko melahirkan penyimpangan perilaku seperti perundungan, diskriminasi, maupun kekerasan verbal dan nonverbal.

“Fenomena itu tidak hanya terjadi di fakultas kedokteran, tetapi juga di rumah sakit pendidikan. Karena itu, pembenahan sistem pendidikan kedokteran harus dilakukan secara menyeluruh agar lingkungan belajar aman, inklusif, dan bermartabat,” jelas Khairul.

Sebagai langkah perbaikan, Kemdiktisaintek telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini, kata Khairul, sangat relevan dengan pendidikan kedokteran yang memiliki karakter hierarkis antara dosen, residen, dan tenaga kesehatan.

“Pembenahan pendidikan kedokteran bukan hanya kurikulum, tapi juga budaya kelembagaan yang menumbuhkan empati dan profesionalisme. Implementasi konsisten Permendikbudristek 55/2024 diharapkan memperkuat tanggung jawab moral semua pihak di fakultas kedokteran maupun rumah sakit pendidikan,” tambahnya.

Sementara itu, Slamet P.H., ahli yang dihadirkan para pemohon, menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Kesehatan tersebut telah mengaburkan peran negara dalam sistem pendidikan tinggi. Dengan memberi kewenangan utama kepada rumah sakit pendidikan, katanya, UU Kesehatan justru berpotensi menciptakan sistem pendidikan profesi di luar sistem nasional yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) dan UU Pendidikan Tinggi.

“Dengan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan bukan oleh kementerian yang berkompeten di bidang pendidikan, maka esensi profesionalisme dan mutu akademik bisa terancam. Ini berpotensi membahayakan masa depan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia,” terang Slamet secara daring.

Ia menegaskan, penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis oleh rumah sakit pendidikan menyeret persoalan otonomi akademik perguruan tinggi, karena rumah sakit tidak memiliki kewenangan dan kapasitas melakukan riset serta pengembangan ilmu pengetahuan.

“Rumah sakit memang tempat praktik klinik, tapi tidak memiliki fungsi riset akademik sebagaimana perguruan tinggi. Kalau rumah sakit menjadi penyelenggara utama, maka pendidikan kedokteran kehilangan fungsi riset yang justru menjadi fondasi profesionalisme kedokteran,” jelasnya.

Slamet juga menilai, model pendidikan yang diatur dalam UU Kesehatan dapat memperlebar jurang antara riset akademik dan praktik klinik, sehingga lulusan dokter spesialis berisiko tertinggal dari perkembangan ilmu kedokteran global.

“Jika pendidikan spesialis hanya dikelola rumah sakit, lulusan akan terjebak pada praktik tanpa riset. Dalam jangka panjang, ini berbahaya bagi mutu layanan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news